Konten [Tampil]
Bagi masyarakat Solo dan sekitarnya, terutama
Wonogiri, keberadaan Waduk Gajah Mungkur memang bukanlah hal yang asing lagi.
Waduk dengan luas genangan maksimum sekitar 8.800 hektare ini memang bukan lagi
sekadar waduk biasa, tetapi juga merupakan ikon dari Kabupaten Wonogiri.
Peninggalan Masa Lalu di Dasar Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri |
Terletak sekitar enam kilometer di sebelah selatan
Kota Wonogiri, Waduk Gajah Mungkur memang terbentang begitu luas. Bahkan jika
dilihat dari ketinggian seperti dari SOKO GUNUNG, waduk ini seakan terlihat
seperti lautan saking luasnya. Keberadaannya pun penting untuk sektor
pertanian, perikanan, pembangkit listrik, hingga pariwisata.
Sejarah singkat Waduk Gajah Mungkur
Waduk Gajah Mungkur
dibangun pada akhir tahun 1976 hingga 1984 yang memiliki fungsi utama sebagai
pengendali debit air Sungai Bengawan Solo karena sebelumnya sungai tersebut
kerap banjir sehingga menggenangi kota di sekitarnya seperti Kota Solo. Usai
pembangunan selesai, waduk ini mulai beroperasi pada tahun 1982.
Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri |
Pembangunan waduk ini harus menenggelamkan 51
desa dan sekitar tujuh kecamatan di Kabupaten Wonogiri, yakni Kecamatan
Wonogiri, Kecamatan Ngadirojo, Kecamatan Giriwoyo, Kecamatan Nguntoronadi,
Kecamatan Wuryantoro, Kecamatan Baturetno, dan Kecamatan Eromoko.
Peta Waduk Gajah Mungkur |
Sekitar 67.515 jiwa yang terdampak pembangunan
waduk direlokasi pemerintah melalui transmigrasi bedol desa pada 1976 ke
berbagai daerah di Sumatra seperti Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatra
Selatan. Namun menurut salah seorang warga sekitar, relokasi berlangsung hingga
waduk diairi karena sebagaian tidak percaya rumahnya akan tergenang.
Peninggalan Masa Lalu di Waduk yang Surut: Nguntoronadi
Pada Hari Sabtu
terakhir di Bulan September 2018, saya berkesempatan untuk menemukan kembali peninggalan
masa lalu yang ada di Waduk Gajah Mungkur. Rasa penasaran saya disebabkan oleh
berita di suatu media bahwa ada daerah permakaman yang muncul kembali karena
air waduk yang surut di musim kemarau.
Solo-Nguntoronadi
Hampir di saat yang bersamaan, saya melihat
postingan seseorang di media sosial bahwa kemarau menyebabkan puing jembatan kereta
api Wonogiri-Baturetno kembali terlihat, tepatnya di Kecamatan Nguntoronadi.
Saya pun memulai penelusuran sehingga bisa melakukan NAPAK TILAS JALUR KERETA API WONOGIRI-BATURETNO BAGIAN 2.
Namun ternyata peninggalan masa lalu yang bisa
saya temukan tidak hanya puing jembatan kereta api saja. Saat melaju di
semacam jalan setapak menuju pinggir waduk yang surut, saya melintasi jalan
dengan sedikit lapisan aspal. Awalnya saya mengira jalan ini hanyalah jalan
kampung yang sudah tidak terawat.
Jalan yang Dulunya Jalur Utama Wonogiri-Baturetno |
Saya sempat berhenti sebentar di warung tepi
sawah untuk minum sekaligus mengobrol dengan warga. Dari obrolan tersebut,
terkuaklah bahwa jalan dengan lapisan aspal itu dulunya merupakan jalan utama
Wonogiri-Baturetno sebelum adanya Waduk Gajah Mungkur. Mereka bercerita bahwa
truk hingga bus besar dulu lewat jalan ini.
Masih Ada Sisa Aspal |
Usai berpamitan dan tidak lupa mengucapkan
terima kasih, saya kembali melanjutkan perjalanan ke tepi waduk melalui jalan
tersebut. Di samping kanan-kiri jalan tampak warga yang sedang menggarap
sawahnya. Memang di musim kemarau, area waduk yang surut difungsikan warga
sebagai area perswahan karena tanah endapannya yang subur.
Tepi Waduk Gajah Mungkur yang Surut |
Saya pun akhirnya sampai di tepi waduk. Usai
memarkir motor, saya dipanggil oleh seorang warga yang sedang bertani. Ternyata
bapak itu mengira saya datang untuk memancing, sehingga ia memanggil saya untuk
memberi tahu lokasi memancing yang banyak ikannya, yakni bagian tengah waduk.
Siang itu di Waduk Gajah Mungkur |
Saya pun menjelaskan bahwa kedatangan saat itu
adalah untuk mencari peninggalan masa lalu di waduk yang kering ini. Ternyata
bapak itu saat kecil adalah saksi mata ketika kawasan waduk masih berupa
perkampungan. Bahkan ia menjelaskan kalau tempat kami berpijak saat itu dulunya
adalah kantor polisi.
Reruntuhan Bangunan di Waduk Gajah Mungkur |
Memang di sekitar tempat kami berdiri tampak
susunan batuan yang tidak alami bagaikan reruntuhan masa lalu. Peninggalan yang
paling jelas ialah bekas dinding bangunan dan juga tiang dan fondasi. Sementara
itu masih tampak jelas bekas sumur warga yang bentuknya masih dapat dikenali.
Dulunya Sebuah Sumur di Kantor Polisi |
Peninggalan masa lalu di Kecamatan Nguntoronadi
ini bisa ditemukan dengan jelas. Tentu sangat terasa bedanya susunan
batuan/bata yang memang buatan manusia dengan yang alami. Jika menyusuri tepian
waduk yang kering menuju bekas jembatan kereta api, maka tampak bonggol-bonggol
pohon kelapa yang masih awet hingga sekarang.
Fondasi Bangunan di Dasar Waduk Gajah Mungkur |
Usai menjelajah peninggalan di Nguntoronadi,
saya pun memutuskan untuk menemukan peninggalan masa lalu Waduk Gajah Mungkur
lebih banyak lagi di lokasi yang letaknya berseberangan dengan Kecamatan
nguntoronadi, yakni di Kecamatan Wuryantoro yang membutuhkan waktu sekitar satu
jam untuk sampai ke sana.
Makam Tua yang Muncul Kembali
Sekitar pukul 16.00
WIB, saya pun sampai di Kecamatan Wuryantoro. Perjalanan saya cukup lama karena
sebelumnya saya mampir ke suatu tempat terlebih dahulu. Meski hari sudah sore, cuaca yang cerah saat itu membuat suasana di Wuryantoro masih begitu terang.
Nguntoronadi-Wuryantoro
Sebenarnya saya tidak tahu di mana letak bekas
reruntuhan masa lalu di Kecamatan Wuryantoro ini. Saya hanya mengandalkan
feeling yang mengatakan kalau rute jalannya ialah dari Pasar Wuryantoro ke
selatan. Saya mengambil jalan yang berada di sisi timur Pasar Wuryantoro dan
mengikutinya lurus ke selatan.
Ternyata benar feeling saya karena tak lama
kemudian kuda besi saya sudah melaju di area Waduk Gajah Mungkur yang
mengering. Tujuan utama saya di sini pertama-tama adalah menemukan kompleks
permakaman tua yang menurut beberapa kabar di media, kembali muncul akibat air
waduk yang mengering.
Melewati Jalan Setapak di Pinggir Sawah |
Awalnya saya tidak tahu di mana letak permakaman
tersebut. Namun setelah mencari dan mengamati, saya melihat ada formasi
bebatuan yang terlihat cukup mencolok. Perjalanan saya pun berlanjut dengan
menyusuri jalan setapak menuju lokasi tersebut melalui jalan setapak dengan
sawah di samping kanan dan kiri jalan.
Sama seperti di
Nguntoronadi, area waduk yang mengering di Kecamatan Wuryantoro ini juga
difungsikan warga menjadi lahan pertanian. Meski berada di tengah area
persawahan, jalan setapak yang saya lalui dengan motor masih cukup padat,
lebar, dan tidak becek. Saya masih mengandalkan feeling, meski beberapa kali
menyapa warga setempat.
Sampai di Kompleks Permakaman Tua yang Muncul Kembali di Waduk Gajah Mungkur |
Syukur Alhamdulillahsaya
pun bisa menemukan jalan menuju lokasi yang saya tuju. Dan meman benar kalau
tempat yang terlihat seperti formasi bebatuan unik itu merupakan pemakaman masa
lalu ketika wilayah ini masih merupakan permukiman masyarakat sebelum
pembangunan Waduk Gajah Mungkur.
Makam Tua yang Tampak Kembali saat Waduk Gajah Mungkur Surut |
Saya mulai memarkir sepeda motor kemudian
berjalan kaki untuk mencari tahu lebih dekat tentang makam tersebut. Seperti
lazimnya makam-makam lainnya, masih tampak jelas batu-batu nisan yang masih
berdiri kokoh, meski beberapa di antaranya sudah terkikis dan hancur karena
selalu terendam air di musim penghujan oleh air waduk.
Nisan yang Masih Utuh |
Bahkan beberapa batu nisan masih ada yang
tulisan namanya masih terukir dengan jelas. Kompleks makam tua yang ada di
Waduk Gajah Mungkur pun tidak hanya d tempat saya berada. Masih ada beberapa
kompleks permakaman lainnya karena banyak perkampungan yang terdampak
proyek pembangunan waduk dulunya.
Kompleks Makam Lain yang Muncul Ketika Waduk Gajah Mungkur Surut |
Meski saya berada di area permakaman tua,
suasananya tidak menyeramkan sama sekali. Sore yang cerah ditambah lalu-lalang
masyarakat yang bertani membuat kondisi cukup ramai dan mendamaikan. Bahkan
saat air waduk belum begitu surut, banyak orang yang memancing di area makam
tua ini karena banyak ikannya.
Sore Hari Dasar Waduk Gajah Mungkur
Usai puas menjelajah
area permakaman tua, saya pun berencana untuk kembali ke Pasar Wuryantoro.
Ternyata di tengah perjalanan, tak jauh dari kompleks permakaman sebelumnya,
tampak beberapa peninggalan permukiman di masa lalu, yakni beberapa sumur yang
masih tegak berdiri.
Ketika memarkir motor, saya bertemu dengan seorang warga
yang usianya cukup tua dan berbincang dengannya. Ia menjelaskan kalau memang
benar dulunya di tempat kami berada saat itu merupakan permukiman dan merupakan
dasar Waduk Gajah Mungkur ketika puncak musim penghujan seperti Januari atau
Februari.
Sumur Warga di Masa Lalu |
Ia juga membenarkan
kalau bekas sumur-sumur yang masih berdiri tersebut merupakan bekas sumur warga
di masa lalu sebelum menjadi waduk. Melalui obrolan ini pun saya menjadi tahu
kalau transmigrasi bedhol desa tidak dilakukan serentak karena masih ada
sebagian warga yang tidak mau pindah dan tidak percaya kalau air akan
menggenangi rumahnya.
Di Antara Reruntuhan Masa Lalu Waduk Gajah Mungkur saat Kemarau |
Hingga akhirnya saat waduk sudah diairi dan air
mencapai perumahan, barulah mereka mau untuk dipindahkan. Ternyata tidak hanya
perumahan warga saja yang terendam. Beberapa infrastruktur saat itu pun ikut
terendam yang salah satunya merupakan jalan utama Wonogiri-Pracimantoro, tempat
saya melintas tadi.
Dulunya Jembatan Penghubung Jalan Utama Wonogiri-Pracimantoro |
Menurut penjelasan beliau, ketinggian air waduk saat
di puncak musim hujan yakni mencapai kawasan pepohonan di selilingnya. Bahkan
menurut penjelasan warga yang saya temui, ketinggian air waduk di musim hujan
tujuh meter dari bekas jalan utama Wonogiri-Pracimantoro.
Usai berpamitan, saya
meneruskan perjalanan dan berhenti lagi di bekas jembatan utama
Wonogiri-Pracimantoro. Jembatan tersebut masih berdiri dengan kokoh karena
konstruksinya terbuat dari beton sehingga mampu bertahan dari kerusakan karena
air waduk yang merendamnya di setiap musim hujan.
Bekas Jembatan Penghubung Jalan Utama Wonogiri-Pracimantoro yang Muncul Kembali |
Selain jembatan, peninggalan bekas permukiman di
masa lalu juga cukup banyak yang masih bisa ditemukan di sini. Sama seperti
sebelumnya, kebanyakan peninggalan permukiman ialah berupa sumur dan fondasi bangunan.
Tampak berserakan pula batu-batu yang dulunya merupakan bagian konstruksi
bangunan.
Kembali ke Surakarta
Sore itu suasana
begitu sejuk di tempat saya berpijak. Ternyata selain untuk bertani, banyak
pula masyarakat sekitar yang turut menikmati suasana sore di tempat yang pada
saat musim hujan menjadi dasar waduk ini. Panorama menawan ada di sebelah
barat, ketika matahari oranye perlahan mulai tenggelam ditelan jajaran
pegunungan kaki langit sebelah barat.
Sore Hari di Dasar Waduk Gajah Mungkur |
Sebelum suasana sepenuhnya gelap, saya pun kembali ke
Surakarta. Dengan diiringi oleh lantunan adzan dari masjid-masjid sekitar, saya
melaju melintasi jalan utama Wonogiri terus ke utara menuju Surakarta. Namun
tentu saja saya tidak terus melaju, melainkan berhenti dulu untuk salat maghrib
di masjid pinggir jalan.
Penelusuran saya
untuk menemukan peninggalan masa lalu di Waduk Gajah Mungkur pun telah selesai.
Syukur Alhamdulillah saya masih bisa
menyaksikan beberapa peninggalan yang ada di sana. Entah sampai kapan peninggalan
tersebut bisa terus disaksikan setiap kemarau, mengingat air Waduk Gajah
Mungkur selalu menggenanginya ketika penghujan tiba.
7 komentar
Posting Komentar