Konten [Tampil]
Gelaran Dieng Culture Festival 2019 |
Malam hari pun menjadi saat yang ditunggu karena rangkaian acara bertajuk Senandung Negeri di Atas Awan akan menghadirkan para penampil papan atas Nusantara.
Sayangnya, saya salah perhitungan. Karena malam sebelumnya cukup lengang, saya pun agak bersantai-santai untuk menuju venue acara, Lapangan Dieng Kulon.
10.000 Orang...!
Saya mulai berjalan ke lokasi acara sekitar pukul 18.30 WIB. Tidak disangka, ternyata jumlah pengunjung saat itu sudah sangat membludak. Jumlahnya jauh lebih banyak dari rangkaian acara Jazz Atas Awan malam sebelumnya.
Saya pun harus berdesak-desakan dengan pengunjung lain untuk bisa masuk ke Lapangan Dieng Kulon. Ternyata pengunjung yang datang banyak juga yang tidak memiliki tiket.
Keramaian Pengunjung Dieng Culture Festival 2019 |
Mereka tetap datang untuk menikmati DCF 2019 dan memenuhi area sekitar lapangan yang diberi pagar pembatas, sehingga cukup menghalangi jalan menuju lapangan.
Akhirnya saya berhasil masuk. Penonton di dalam area Lapangan Dieng Kulon pun jauh lebih banyak dari malam sebelumnya. Saya pun tetap berharap agar tempat ngetem saat rangkaian acara semalam tidak ditempati orang.
Tempat favorit saya itu adalah di depan tenda sound dan di samping petugas lighting. Alasannya adalah, saya bisa duduk tanpa harus menghalangi pandangan orang lain di belakang.
Lokasi favorit nonton konser |
Terlebih saya membawa lensa zoom 55-250 mm sehingga memotret panggung dari kejauhan bukan suatu masalah. Syukurlah area itu masih bisa saya tempati, meski tidak selonggar malam sebelumnya.
Itu karena ternyata ada beberapa orang yang berpikiran sama dengan saya dan memilih lokasi ngetem di samping petugas lighting. Diperkirakan jumlah penonton malam itu lebih dari 10.000 orang.
Malam yang Lebih Dingin
Jumlah penonton memang lebih banyak. Namun, udara Dieng saat itu ternyata juga lebih dingin. Saya bersyukur karena tetap mengenakan jaket gunung untuk berjaga-jaga, meski sebelumnya sempat berpikir jika udara akan lebih hangat karena banyaknya perserta.
Lapangan Dieng Kulon yang dipadati pengunjung nyatanya tidak berpengaruh terhadap dinginnya udara Dieng. Saya beberapa kali memasukkan tangan ke dalam kantong agar lebih hangat.
Tak lama kemudian, acara Senandung Negeri di Atas Awan pun dimulai. Dinginnya udara juga dirasakan MC yang sama dengan malam sebelumnya. Meski demikian, acara tetap berlangsung seperti seperti seharusnya.
Api Unggun di Tengah Kerumunan Pengunjung Senandung Negeri di Atas Awan 2019 |
Satu hal yang harus diperhatikan adalah, udara dingin membuat mereka yang kebanyakan minum menjadi ingin ke toilet. Hal itu jelas merepotkan saat harus berjalan ke toilet dari tengah kerumunan Lapangan Dieng Kulon.
Syukurlah saya sudah mengatisipasi hal itu dengan tidak minum terlalu banyak sebelum acara Senandung Negeri di Atas Awan dimulai.
Mengenang Mas Djaduk Ferianto
Kua Etnika menjadi salah satu penampil acara pada malam hari itu yang dipimpin seniman besar asal Yogyakarta Djaduk Ferianto.
Bagi saya, Pak Djaduk bukan seniman biasa. Memang saya tidak pernah berproses dengan beliau dalam suatu pementasan. Namun, beberapa kali beliau hadir saat saya bersama tim sedang melakukan pementasan.
Saya pun sempat bersalaman dengan beliau dahulu, yakni saat pementasan bertajuk Jagad Pangkur di Taman Budaya Yogyakarta tahun 2016 lalu.
Bagi saya, Pak Djaduk bukan seniman biasa. Memang saya tidak pernah berproses dengan beliau dalam suatu pementasan. Namun, beberapa kali beliau hadir saat saya bersama tim sedang melakukan pementasan.
Saya pun sempat bersalaman dengan beliau dahulu, yakni saat pementasan bertajuk Jagad Pangkur di Taman Budaya Yogyakarta tahun 2016 lalu.
Pementasan Jagad Pangkur 2016 Saya yang Dihadiri Mas Djaduk Ferianto |
Saat Senandung Negeri di Atas Awan, terlebih dahulu Mas Djaduk mengajak seluruh peserta untuk berdiri dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Alunan lagu ciptaan WR Supratman itu lantas menggema di tengah dinginnya langit malam Dataran Tinggi Dieng.
Selanjutnya, ia membawakan lagu-lagu berkelas yang memadukan alat musik modern seperti gitar dan drum dengan alat musik tradisional, salah satunya gamelan.
Alunan lagu ciptaan WR Supratman itu lantas menggema di tengah dinginnya langit malam Dataran Tinggi Dieng.
Selanjutnya, ia membawakan lagu-lagu berkelas yang memadukan alat musik modern seperti gitar dan drum dengan alat musik tradisional, salah satunya gamelan.
Penampilan Kuaetnika |
Dan itulah saya menyaksikan pementasan dari tim yang langsung dipimpin Mas Djaduk Ferianto. Saya tidak menyangka jika malam itu sekaligus menjadi terakhir kali pula saya menyaksikan pementasan beliau.
Ya, Rabu (13/9/2019) lalu, seniman besar itu telah tiada. Selamat jalan Mas Djaduk, terima kasih atas peranmu selama ini dalam melestarikan budaya tradisional kita…
Tak lama kemudian, MC akhirnya memberi tahu penonton siapa bintang tamu pada malam itu. Ternyata bintang tamunya adalah penyanyi cantik Isyana Sarasvati. Tentu ini menjadi kesempatan saya untuk bisa menyaksikan Mbak Isyana secara langsung.
Meski begitu, jujur saya tidak tahu lagu-lagu Mbak Isyana. Maklum sehari-harinya saya merupakan pendengar setia dangdut koplo yang dinyanyikan Mbak Nella Kharisma melalui Youtube.
Ya, Rabu (13/9/2019) lalu, seniman besar itu telah tiada. Selamat jalan Mas Djaduk, terima kasih atas peranmu selama ini dalam melestarikan budaya tradisional kita…
Bintang Tamu Rahasia
Acara pun terus berlanjut sampai penampilan bintang tamu pada gelaran Senandung Negeri di Atas Awan DCF 2020 itu. Namun, panitia acara ternyata menyembunyikan bintang tamu yang akan tampil.Tak lama kemudian, MC akhirnya memberi tahu penonton siapa bintang tamu pada malam itu. Ternyata bintang tamunya adalah penyanyi cantik Isyana Sarasvati. Tentu ini menjadi kesempatan saya untuk bisa menyaksikan Mbak Isyana secara langsung.
Meski begitu, jujur saya tidak tahu lagu-lagu Mbak Isyana. Maklum sehari-harinya saya merupakan pendengar setia dangdut koplo yang dinyanyikan Mbak Nella Kharisma melalui Youtube.
Penampilan Mbak Isyana Sarasvati pada Dieng Culture Festival 2019 |
Saya pun memutuskan untuk fokus memotret Mbak Isyana yang menyanyi di atas panggung. Kapan lagi saya bisa memotret langsung penyanyi cantik yang terkenal macam dia?
Sayang setelan pakaian Mbak Isyana adalah serba hitam, sehingga ia cukup sulit untuk difoto karena panggung yang juga cukup gelap.
Ditambah lagi, pementasan itu dilakukan malam hari sehingga setelan hitam tidak cukup kuat memantulkan cahaya lighting.
Dengan dikomando MC, para penonton langsung mengeluarkan lampion mereka masing-masing dan mulai menyalakan apinya. Lampion itu memang diterbangkan dengan udara panas dari api.
Sementara itu, saya tidak memiliki lampion karena tiket masuk saya berbeda dengan pengunjung lain sehingga lampion terbang tidak menjadi fasilitas yang didapat.
Sayang setelan pakaian Mbak Isyana adalah serba hitam, sehingga ia cukup sulit untuk difoto karena panggung yang juga cukup gelap.
Ditambah lagi, pementasan itu dilakukan malam hari sehingga setelan hitam tidak cukup kuat memantulkan cahaya lighting.
Lampion terbang terakhir?
Usai penampilan Mbak Isyana, rangkaian acara selanjutnya merupakan yang ditunggu para pengunjung DCF, yakni festival lampion terbang.Dengan dikomando MC, para penonton langsung mengeluarkan lampion mereka masing-masing dan mulai menyalakan apinya. Lampion itu memang diterbangkan dengan udara panas dari api.
Sementara itu, saya tidak memiliki lampion karena tiket masuk saya berbeda dengan pengunjung lain sehingga lampion terbang tidak menjadi fasilitas yang didapat.
Lampion Terbang pada Dieng Culture Festival 2019 |
Saya pun fokus menyiapkan kamera untuk mengabadikan momen saat ratusan lampion terbang menghiasi langit Dieng malam itu.
Tak lama kemudian, satu per satu lampion peserta mulai terbang membumbung tinggi ke langit malam yang cerah saat itu. Keindahan malam DCF 2020 semakin syahdu dengan nyanyian lagu Tanah Airku yang mengiringi terbangnya ratusan lampion.
Saya pun takjub dengan keindahan malam tersebut. Mungkin karena saya yang baru pertama kali menyaksikan festival lampion terbang semacam itu.
Tak lama kemudian, satu per satu lampion peserta mulai terbang membumbung tinggi ke langit malam yang cerah saat itu. Keindahan malam DCF 2020 semakin syahdu dengan nyanyian lagu Tanah Airku yang mengiringi terbangnya ratusan lampion.
Saya pun takjub dengan keindahan malam tersebut. Mungkin karena saya yang baru pertama kali menyaksikan festival lampion terbang semacam itu.
Lampion Terbang Menghiasi Langit Dieng Culture Festival 2019 |
Namun keindahan malam yang disertai nyanyian lagi Tanah Airku seolah membuat saya sangat bersyukur memiliki negeri seindah Indonesia tercinta ini. Keindahan malam itu bahkan membuay saya cukup terharu.
Sayangnya, sepertinya malam itu kemungkinan menjadi terakhir kalinya diadakan festival lampion terbang. Itu karena adanya pro dan kontra terhadap acara tersebut.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun telah mengirim surat resmi yang menyatakan jika lampion terbang menyebabkan risiko kebakaran dan pencemaran sampah.
Sayangnya, sepertinya malam itu kemungkinan menjadi terakhir kalinya diadakan festival lampion terbang. Itu karena adanya pro dan kontra terhadap acara tersebut.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun telah mengirim surat resmi yang menyatakan jika lampion terbang menyebabkan risiko kebakaran dan pencemaran sampah.
Penerbangan Lampion pada Dieng Culture Festival 2019 |
Jika benar lampion terbang di acara DCF kala itu adalah yang terakhir, maka bisa dibilang saya merupakan salah satu dari sekian banyak orang beruntung karena masih sempat menyaksikannya.
Akan tetapi kalau sudah berbicara tentang alam, sepertinya semua pihak harus berbesar hati untuk menerima kennyataan tersebut. Bagaimanapun juga, Dieng tetaplah menawan, meski tanpa lampion terbang.
Saya mengira kondisi jalan akan lancar seperti malam sebelumnya. Sempat optimis kalau jalan akan lancar karena manajemen/rekayasa lalu-lintas yang makin profesional.
Nyatanya, ternyata tidak. Keputusan kembali ke Wonosobo ternyata salah besar. Saya pun terjebak di tengah kemacetan jalan yang ada di sebelah barat Candi Arjuna.
Akan tetapi kalau sudah berbicara tentang alam, sepertinya semua pihak harus berbesar hati untuk menerima kennyataan tersebut. Bagaimanapun juga, Dieng tetaplah menawan, meski tanpa lampion terbang.
2 menit=90 menit
Saya mulai meninggalkan venue usai momen lampion terbang berakhir. Sayangya, saya tidak mempertimbangkan dampak dari banyaknya pengunjung malam itu. Mungkin, ini dikarenakan malam sebelumnya, semua lancar-lancar saja.Saya mengira kondisi jalan akan lancar seperti malam sebelumnya. Sempat optimis kalau jalan akan lancar karena manajemen/rekayasa lalu-lintas yang makin profesional.
Nyatanya, ternyata tidak. Keputusan kembali ke Wonosobo ternyata salah besar. Saya pun terjebak di tengah kemacetan jalan yang ada di sebelah barat Candi Arjuna.
Macet Parah Usai Dieng Culture Festival 2019 |
Bahkan untuk mencapai Terminal Aswatama dari Museum Kailasa yang biasanya hanya butuh waktu dua menit, malam itu menjadi 90 menit.
Saya benar-benar berhenti di tengah jalan, tidak bisa maju sama sekali. Untuk kembali ke Museum Kailasa pun mustahil. Hanya sabar yang bisa saya lakukan, sambil sesekali menonton film di layar smartphone.
Akhirnya, saya tidak kembali ke Wonosobo, melainkan bermalam di Museum Kailasa yang tentunya cukup dingin.
Saya benar-benar berhenti di tengah jalan, tidak bisa maju sama sekali. Untuk kembali ke Museum Kailasa pun mustahil. Hanya sabar yang bisa saya lakukan, sambil sesekali menonton film di layar smartphone.
Akhirnya, saya tidak kembali ke Wonosobo, melainkan bermalam di Museum Kailasa yang tentunya cukup dingin.
Harusnya cuma 2 menit
Hadehh, tau begitu saya langsung saja ke Museum Kailasa, daripada harus bermacet-macet ria seperti itu. Meski demikian, pengalaman terjebak macet ini seolah menjadi bumbu pelengkap perjalaan saya pada DCF 2019.
Malam itu pun seolah berjalan begitu lambat. Menunggu pagi pun seolah abadi di tengah udara dingin yang kian menggigit. Perjalanan saya di DCF 2019 masih berlanjut.
7 komentar
-traveler paruh waktu
sek jaman kapan lah iku
Posting Komentar