Konten [Tampil]
Foto Didi Kempot
Ia “kembali” dikenal publik usai acara Ngobrol Bareng Musisi (Ngobam) salah satu Youtuber Tanah Air Gofar pada pertengahan 2019 lalu. Video itu pun viral dan melambungkan nama beserta karya-karya Sang Maestro ke pelosok negeri.
Sejak saat itu, mulai banyak fans Mas Didi Kempot yang bermunculan. Jika sebelum momen itu fans beliau disebut Kempoters, maka setelah itu muncul fans dengan nama Sobat Ambyar.
Lalu, bagaimana dengan saya? Jelas saya merupakan fans Didi Kempot. Mungkin, berbeda dengan kebanyakan orang yang sekarang ngefans sama beliau. Karena saya sudah mendegarkan lagu-lagunya sejak SD.
Jika diingat-ingat, lagu pertama Mas Didi Kempot yang saya kenal adalah Stasiun Balapan. Sejak saat itu, saya pun mengoleksi album-albumnya. Zaman dulu, mendengarkan lagu masih harus menggunakan walkman dengan kaset di dalamnya.
Masih ingat pula, zaman dulu saya hampir selalu menunggu acara pemutaran video klip Mas Didi Kempot di salah satu acara TVRI Jogja. Meski lagunya tidak lengkap, rasanya sudah senang bisa menyaksikannya melalui layar kaca.
Lagu-lagu zaman itu pun masih setia tersimpan dalam file mp3 saat ini. Mungkin juga, ini berbeda dengan para Sobat Ambyar saat ini yang familiar dengan lagu-lagu seperti Banyu Langit, Bojo Anyar, atau Cidro dan Kalung Emas (versi baru).
Daftar putar saya masih menyimpan lagu-lagu Sang Maestro zaman dulu yang mungkin kurang familiar bagi kebanyakan fans saat ini, seperti Parangtritis, Sewu Kutho, Pasar Klewer, Tanjung Mas Ninggal Janji, Dina Jumat, Cidro dan Kalung Emas (versi lama), atau bahkan Teles Kebes (mesti pada gak tau).
Lagu paling legendaris sepanjang masa
Dari sekian banyak lagu lawas itu, ada satu lagu yang paling berkesan bagi saya. Lagu itu berjudul Sewu Kutho. Lagu itu senantiasa berada di top papan atas daftar putar saya sejak pertama kali memiliki ponsel yang bisa diisi lagu.
“Wis tak coba..
Nglalekake…
Jenengmu Saka Atiku…
Saktenane aku ora ngapusi…
Isih tresna sliramu…”
Bagi saya, itulah lirik lagu paling legendaris dari Mas Didi Kempot. Masih ingat dalam pikiran saya video klip pertama saat awal-awal lagu itu rilis, saat beliau mengenakan jas merah panjang atau naik sepeda motor.
Video klip Sewu Kutho Didi Kempot Versi Jadul
Kalau tidak salah, saat itu saya masih SD (cah SD wis dadi Sobat Ambyar). Dulu kalau mau nonton video klip itu, saya harus sabar menanti di TVRI Jogja. Biasanya, video klip akan diputar saat jeda antaracara.
Meski secara kualitas video klip itu masih kalah kelas dari yang baru-baru ini. Tapi itulah video klip Mas Didi Kempot yang paling legendaris bagi saya.
Bahkan, video klip itulah yang menginspirasi saya menjadi pencinta travelling dan penjelajahan dengan sepeda motor. Dulu saat menonton video itu, saya kepikiran sepertinya menyenangkan menjelajah 1.000 kota di Indonesia dengan kuda besi.
Sekarang pun lagu Sewu Kutho itu masih setia menjadi teman perjalanan saya saat berkendara, bersama dengan lagu-lagu dangdut Mbak Nella Kharisma. Lagu Sewu Kutho rasanya paling ngena, apalagi sewaktu ditinggal seseorang pas sayang-sayange pada 2016 silam.
Oiya, khusus yang satu ini jangan ditiru ya. JANGAN BERKENDARA (MOTORAN) SAMBIL DENGERIN LAGU..!!! Demi keselamatan Anda semuanya.
Bertemu Sang Legenda
Setelah sekian lama mengidolai Mas Didi Kempot, saya akhirnya bisa bertemu dengan Sang Legenda. Hari itu, Kamis (18/7/2019) menjadi hari bersejarah yang tidak akan pernah saya lupakan.
Singkat cerita, pekerjaan saya di salah satu media nasional membuat saya bisa mendapat kesempatan emas itu. Kamis itu, saya bersama beberapa teman bertemu Sang Legenda di Hotel Novotel Solo.
Tugas yang saya dapatkan saat itu pun tidak main-main, yakni merekam wawancara teman saya Ayu dengan Mas Didi Kempot. Bagi saya, itu merupakan tugas yang berat. Bagaimana tidak, sekali saja gagal, entah karena kamera mati di tengah proses wawancara atau file terhapus, selesai sudah.. Habislah sudah.
Sesi Wawancara dengan Lord Didi Kempot
Saat itu, saya harus menyiapkan perlengkapan, mulai dari tripod, hingga kamera Canon Powershot SX720S yang saat ini fokusnya sudah rusak. Entah mengapa, saat itu menjadi waktu tersulit saya menyiapkan tripod.
Mungkin karena grogi, saat harus berhadapan dengan musisi idola sejak kecil. Tripod seakan menjadi berat. Saya harus memastikan tripod tak roboh di tengah sesi wawancara. Saya tak ingin membuang waktu Sang Legenda yang tentunya sangat sibuk.
Selama wawancara berlangsung, saya pun tak pernah berhenti memanjatkan doa. Jangan mati please, wahai kamera.. Jangan roboh please, wahai tripod.. Semoga file-nya enggak corrupt, dan sebagainya.
Syukur Alhamdulillah, sesi wawancara bisa berjalan lancar. Saya cek filenya pun bisa dibuka, sehingga harus segera diamankan. Usai sesi wawancara, saya pun mendapat kesempatan tak terlupakan, yakni memotret Sang Legenda.
“Duh Gusti, napa tenanan niki..?” ujar saya dalam hati saat itu. Saya pun mencoba memotret sebagus mungkin. Tangan yang gemetar saya tahan, sembari memberi aba-aba.. 1..2..3.. Cekrek. Yey, saya telah memotret Mas Didi Kempot.
Selanjutnya, kami melakukan sesi foto bersama. Sayang karena kondisi ruangan cukup gelap, hasil fotonya agak blur. Yah, setidaknya muka-muka kami dan Mas Didi Kempot tetap terlihat cukup jelas, bisa untuk kenang-kenangan.
Sesi foto bareng Lord Didi Kempot
Sebenarnya, saya ada keinginan untuk bisa berfoto sendiri dengan beliau. Namun sayang, sepertinya Mas Didi Kempot cukup sibuk dan harus kembali menjalankan agendanya. Kami pun berpamitan. Dalam hati, saya berharap:
Semoga suatu saat saya bisa berfoto sendiri dengan Mas Didi Kempot..
Sebuah harapan yang takkan pernah terwujud.......
Selamat jalan Sang Legenda
Selasa (5/5/2020), awan hitam seolah menyelimuti Negara Kesatuan Republik Indonesia. Belum selesai wabah coronavirus disease 2019 (Covid-19), negeri ini harus kehilangan salah satu musisi terbaiknya, Mas Didi Kempot.
Kabar ini bagaikan petir yang langsung menyambar hati saya dan para Sobat Ambyar di seluruh dunia tentunya. Bagaimana tidak, kabar ini sangatlah mendadak.
Bahkan belum lama ini beliau masih menggelar konser menggalang dana untuk penanganan Covid-19 di Indonesia yang disiarkan Kompas TV dan sukses mengumpulkan donasi Rp 7,6 miliar.
Jelas, sebuah kenyataan yang sulit diterima pastinya. Apalagi, saat ini karier The Godfather of Broken Heart sedang ada di puncaknya. Banyak orang yang kangen untuk bisa ber-Ambyar ria di konsernya usai pandemi Covid-19 selesai.
Namun, takdir berkata lain. Sang Legenda kini telah berpulang, kembali ke hadapan Allah SWT. Berbagai harapan yang ada pun sirna, yang ada tinggal kenangan semata.
Selamat jalan Sang Legenda. Terima kasih atas sajian karya-karyamu yang sungguh luar biasa. Karyamu akan abadi sepanjang masa.
4 komentar
-traveler paruh waktu
Posting Komentar