Cerahnya langit memang memunculkan daya pikat
tersendiri untuk melakukan sebuah perjalanan. Kisah pendakian di
tahun 2017 pun kembali berlanjut usai pendakian pembuka di MERBABU pada catatan
pendakian sebelumnya. Tujuan dari pendakian kali ini adalah di gunung yang
sebenarnya sudah pernah saya kunjungi sebelumnya yaitu Gunung Sumbing.
Puncak Rajawali Gunung Sumbing
PENDAKIAN TERAKHIR DI GUNUNG SUMBING saya
terjadi pada tahun 2015 silam usai lebaran. Tentunya setahun tidak
menyambanginya membuat saya merindukan betapa kejamnya medan dan tanjakannya.
Pendakian kali ini pun berbeda dengan pendakian-pendakian saya ke Sumbing sebelumnya.
Pendakian
yang nyaris sendiri
Awalnya saya berniat
untuk melakukan pendakian seorang diri pada pendakian kali ini. Sebenarnya
cukup ragu juga sebenarnya karena Gunung Sumbing sendiri memiliki medan yang
berat. Terlebih rute pilihan saya pilih adalah melalui Banaran yang belum
pernah saya lewati sebelumnya. Seluruh pendakian saya ke Gunung Sumbing sebelumnya
adalah lewat Jalur Garung.
Namun malam hari sebelum pendakian, akhirnya
saya mendapat teman perjalanan. Sebenarnya awalnya pun tidak ada rencana
mengajaknya, tetapi setelah saya racuni dia akhirnya bersedia menjadi teman
perjalanan esok hari. Teman pendakian saya kali ini bernama Galuh, bergender
sama seperti Rani yang menjadi partner pendakian saya kala di Merbabu.
Gass
Sebenarnya Galuh sendiri
pernah melakukan beberapa kali pendakian, termasuk juga di Gunung Sumbing
sehingga sebenarnya dia cukup tangguh. Sayangnya saat itu bisa dibilang agak
memaksa karena kurangnya olah raga dalam beberapa waktu membuatnya agak
kelebihan berat badan. Sebenarnya hal ini juga bertentangan dengan apa yang
selama ini saya lakukan untuk tidak mengajak teman mendaki dengan mendadak.
Jangan Percaya..!!
Pagi itu Hari Rabu tanggal 24 Mei 2017,
pendakian kami menuju Gunung Sumbing akan dimulai. Namun kami tidak memulainya
dari base camp, melainkan dari Yogyakarta. Perjalanan kami dimulai sekitar
pukul 06.30 WIB dari Gelanggang Mahasiswa UGM. Sebenarnya waktu tersebut juga
termasuk molor karena rencana sebelumnya kami berangkat pukul 06.00 WIB.
Menuju
Banaran
Selain molor, perjalanan
kami menuju Base Camp juga semakin diperparah dengan sempatnya kami tersesat.
Memang sudah ada aplikasi Google Map yang menunjukkan arah menuju Sumbing East Route, akan tetapi ternyata
jalur via layar smartphone tersebutmelewati medan berat sehingga motor
hanya bisa dipacu dengan kecepatan rendah.
Jalur yang Benar dari Temanggung
Sebenarnya rute termudah menuju Base Camp
Banaran adalah searah menuju Kota Temanggung. Nantinya di perempatan Terminal
Temanggung perjalanan berlanjut dengan berbelok ke arah kiri. Memang cukup
membingungkan karena base camp terletak jauh dari jalan utama sehingga bertanya
kepada warga mutlak harus dilakukan agar tahu jalan sampai ke sana.
Perjalanan
Dimulai
Kami akhirnya sampai di
Base Camp pendakian Gunung Sumbing via Banaran sekitar pukul 09.00 WIB. Kami
juga tidak menyangka mengapa waktu tempuh kami begitu cepat, padahal perjalanan
kami tidak melewati rute semestinya. Kami sarapan terlebih dahulu untuk mengisi
tenaga sebelum mendaki. Tidak lupa kami membeli perbekalan untuk dimakan di
atas nanti.
Sarapan Dulu
Kami memulai perjalanan usai menyelesaikan
urusan administrasi. Perjalanan kami dengan berjalanan kaki tidak dimulai dari
base camp karena kami memilih untuk menggunakan jasa ojek sampai ke pos pertama
yaitu Pos 0. Rute dari base camp hingga Pos 0 adalah melewati jalan berbatu di
tengah perkebunan warga sehingga menggunakan ojek adalah pilihan terbaik karena
menghemat 2 jam perjalanan. Tarif ojek adalah Rp20.000,00 untuk sekali jalan.
Pemandangan dari Pos 0 Gunung Sumbing via Banaran
Usai sampai di Pos 0 pendakian yang sebenarnya
pun dimulai. Jalan batu sudah benar-benar habis dan digantikan dengan jalan
setapak. Kami pun mulai selangkah demi selangkah menapaki jalan setapak tersebut.
Area perkebunan masih ada, tetapi lekas berlalu karena memang tidak begitu
banyak lagi. Rute awal usai perkebunan adalah kawasan hutan dengan tanjakan
yang merupakan khas pendakian Gunung Sumbing.
Seribu
tangga
Sebenarnya rute
awal-awal meski sudah berat, masih berada di kawasan peradaban karena bahkan
masih bisa ditemukan warung makan. Rute sudah mulai meninggalkan peradaban usai
gerbang kedua. Untungnya rute pendakian usai gerbang kedua sedikit terbantu
dengan kondisi jalurnya yang sudah ditata sehingga berbentuk semacam tangga.
Jalur Tangga Gunung Sumbing via Banaran
Kondisi tersebut memudahkan kaki untuk
melangkah, tetapi tetap saja kaki harus menapaki tangga yang menanjak dan
jumlahnya begitu banyak. Terjalnya tanjakan cukup terbantu dengan rimbunnya
pepohonan yang mampu melindungi dari teriknya sengatan matahari siang. Kami
sampai di Pos I hampir tengah hari dikarenakan perjalanan kami dengan berjalan
kaki yang baru dimulai sekitar pukul 10.00 WIB.
Pos 1 Gunung Sumbing via Banaran
Terdapat sebuah makam di pos I ini yang merupakan
makam tokoh sesepuh masyarakat setempat. Mengenai siapa namanya, saya sendiri
sudah lupa. Kami hanya sejenak berhenti di sini kemudian melanjutkan
perjalanan. Rute masih sama seperti sebelumnya yaitu semacam tangga menanjak
yang begitu panjang. Perjalanan kami menuju pos II cukup cepat karena kami
sampai di sana sekitar 50 menit kemudian. Pos II ini bernama Siwel-iwel.
Pos 2 Gunung Sumbing via Banaran
Sebuah pohon besar di samping jalur pendakian
yang dipagari oleh kayu sederhana seakan menyambut kedatangan kami di Pos II.
Entah kenapa aura di sini cukup suram meski hari itu sebenarnya cukup cerah.
Perlu diketahu bahwa sebelumnya kami diimbau oleh orang-orang di base camp agar
tidak bermalam di Pos II ini. Entah apa itu sebabnya hingga kini saya sendiri
belum tahu.
Pos 2 Siwel-iwel
Jalur
yang mulai berat
Sama seperti di Pos I,
kami juga hanya sesaat berhenti di Pos Siwel-iwel ini. Perjalanan kami segera
berlanjut kembali. Kawasan hutan yang kami lalui dari pos II ini cukup lebat
sehingga tidak perlu mengkhawatirkan sengatan matahari siang. Perjalanan akan
sampai di Pos III jika rute perndakian sudah melewati kawasan hutan lamtoro.
Kami sampai di Pos III bernama Punthuk Barah sekitar pukul 14.15 WIB.
Kawasan Hutan Lamtoro
Tidak lupa kami melaksanakan ibadah sholat
dzuhur di sini sembari beristirahat dengan minum dan memakan makanan ringan
untuk mengisi energi. Pos III ini juga merupakan percabangan dengan jalur
pendakian lain di sebelah Banaran. Perjalanan kami berlanjut sekitar 15 menit
kemudian. Ternyata usai Pos Punthuk Barah, rute pendakian menjadi tak lagi
mudah.
Pos 3 Gunung Sumbing via Banaran
Kami masih melewati kawasan hutan lamtoro usai
pos III, tetapi jalur pendakian selain semakin menanjak, tidak ada lagi jalan
setapak berbentuk tangga yang sebelumnya memudahkan kaki untuk melangkah.
Pijakan kaki yang miring dan licin pun menjadi tantangan kami selanjutnya.
Membutuhkan waktu sekitar satu jam bagi kami untuk melewati medan tersebut.
Pos 3 Punthuk Barah
Watu
Ondho dan setengah perjalanan
Sekitar pukul 15.30 WIB
kami akhirnya kami sampai di ujung tanjakan terjal dari medan yang kami lalui
sebelumnya. Setibanya kami di atas, pemandangan terbuka mulai menyambut kami.
Ternyata di sinilah perbatasan antara kawasan hutan dengan jalur medan terbuka
berupa padang rumput luas yang menjadi ciri khas Gunung Sumbing.
Medan Mulai Terbuka Menjelang Pos 4
Perjalanan menuju Pos IV memang tidak jauh lagi
dari sini, akan tetapi sebuah rintangan menghadang kami sebelum mencapainya.
Rintangan tersebut juga harus dilalui oleh pendaki lain yang mendaki Gunung
Sumbing melalui rute timur. Kami dihadapkan oleh dinding batu setinggi sekitar empat
meter yang sudut kemiringannya hampir tegak lurus bernama Watu Ondho. Nama
tersebut memiliki arti batu tangga apabila diterjemahkan ke bahasa Indonesia.
Watu Ondho Gunung Sumbing via Banaran
Kami sempat bingung untuk naik ke atasnya
sebelumnya. Beruntung karena pihak pengelola telah memasang tali dan rantai
untuk membantu berpegangan saat menaikinya. Memang tingginya hanya sekitar
empat meter, tetapi jika sampai terjatuh tetap akan menyakitkan. Belum lagi
risiko terjatuh ke dalam jurang di samping kanan dan kiri jalur karena lebar
jalur di bawa Watu Ondo hanya sekitar 1,5 meter saja.
Memanjat Watu Ondho
Kondisi tersebut semakin diperparah dengan
permukaan jalur yang tidak rata di bawah Watu Ondho sehingga bisa saja kaki
menjadi kesleo andai selamat dari terjatuh ke jurang. Kami pun memberanikan
diri menaikinya dengan Bismillah.
Ternyata cukup menyeramkan juga rasanya sehingga tangan ini benar-benar
berpegangan erat pada tali dan rantai yang tersedia. Selain itu pijakan juga
harus benar-benar pas agar jangan sampai terpeleset.
Syukur Alhamdulillah
akhirnya kami berhasil melalui Watu Ondho dengan selamat. Selanjutnya kami
tiba di pos IV pada sekitar jam yang sama dengan pos tersebut. Kami memang
sudah berjalan begitu jauh melewati rute dan tanjakan yang tinggi, akan tetapi
ternyata di hadapan masih terbentang jauhnya rute menuju puncak. Bisa dibilang perjalanan kami baru melalui
setengah rute menuju puncak Sumbing.
Menembus
gelapnya malam
Melewati Watu Ondho
ternyata cukup melelahkan, meski sebenarnya kondisi fisik tidak cukup banyak
terkuras untuk melaluinya. Mungkin adrenalin yang meningkat juga ikut menyedot
stamina. Kami pun kembali beristirahat di pos IV sekaligus sholat ashar sebelum
melanjutkan perjalanan kembali sekitar pukul 16.20 WIB.
Pos 4 Gunung Sumbing via Banaran
Saat kami melangkah kembali memang masih sore,
tetapi suasana sudah cukup gelap karena cahaya matahari terhalang oleh lereng
sebelah barat. Tentu kami ingin agar perjalanan ini segera sampai di tempat camp sebelum terlalu malam. Namun
sayangnya kami sempat salah jalur untuk mengambil air sehingga selain waktu
terbuang sekiat setengah jam, air pun tidak kami dapatkan.
Jalur ke Sumber Air..??
Syukur Alhamdulillah
kami bisa kembali lagi ke jalur sebenarnya tanpa terlalu jauh melenceng dan
kembali melanjutkan perjalanan. Suasana sudah semakin gelap menjelang sampainya
kami di antara dua celah tebing sehingga senter harus kami gunakan. Kembali
sebuah kesialan menghampiri kami karena ternyata salah satu senter kami tidak
bisa menyala. Entah apa itu sebabnya karena saat pengecekan senter tersebut
bisa menyala.
Bentang Timur
Jadilah hanya ada satu senter saja untuk
menerangi jalan. Saya yang memegang senter, sementara Galuh berjalan di depan
dengan diterangi oleh cahaya senter saya. Suasana begitu sepi saat itu di
tengah gelapnya malam, hanya ada kami berdua yang berjalan menapaki jalan
setapak sembari berharap jalur yang kami tapaki benar. Selain jarak pandang
yang terbatas karena gelap, kondisi fisik kami pun mulai kelelahan.
Foto Terakhir Hari itu
Entah mengapa rasanya perjalanan kami begitu
lama dan tidak sampai-sampai. Berdasarkan saran petugas base camp, area camp terbaik adalah di dekat kawah
karena terdapat tanah datar yang luas. Meski terasa jauh, syukurlah kami masih
berada di jalur yang benar. Hal tersebut ditunjukkan dengan masih adanya plang
penunjuk jalan. Perasaan bertambah lega saat kami menjumpai plang besar
bertuliskan “Segara Banjaran”.
Segara Banjaran Gunung Sumbing via Banaran (siang) Terlihat Puncak Rajawali yang Menjulang Tinggi
Menurut peta yang kami bawa, lokasi camp berada adalah usai Segara Banjaran
ini. Kami pun semakin bersemangat untuk segera sampai sehingga bisa segera
beristirahat. Perjalanan menapaki Segara Banjaran usai setelah kami berbelok
kanan menapaki tanjakan sesuai plang yang menunjukkan arah ke kawah. Samar-samar
bau belerang mulai tercium di hidung, menandakan bahwa kawasan kawah semakin
dekat. Awalnya kami mengira tidak ada lagi orang lain
yang mendaki selain kami. Namun tiba-tiba samar-samar tercium bau bumbu khas
mie instant di hidung sehingga perasaan saya bertambah lega karena ada orang
lain selain kami yang mendaki malam ini. Benar juga, terlihat cahaya api unggun
dari area camp, lengkap dengan
tenda-tenda yang berdiri. Alhamdulillah akhirnya
kami sampai juga di area camp.
Menuju
singgasana Sang Rajawali
Puncak Rajawali dari Kawasan Kawah Gunung Sumbing
Sebenarnya kami
berencana untuk melakukan summit attack pukul
04.00 WIB, tetapi sayangnya dinginnya suhu udara membuat kami enggan beranjak
dari sleeping bag yang masing-masing
kami kenakan. Kami akhirnya mulai bergerak sekitar pukul 07.00 WIB. Begitu
keluar kami langsung takjub dengan suasana sekitar yang semalam tidak terlihat.
Suasana Sekitar Tenda
Lokasi camp
kami ternyata terletak di lembah yang seakan dikelilingi oleh dinding
berwarna hijau. Sebuah petilasan yang tampak seperti makam juga tidak disangka
berada di dekat kami karena semalam tidak terlihat karena gelap. Petilasan
tersebut adalah petilasan Ki Ageng Makukuhan atau Sunan Kedu; murid Sunan Kudus
yang menyebarkan Islam di kawasan Kedu (Temanggung, Wonosobo, dan sekitarnya).
Petilasan Ki Ageng Makukuhan (Sunan Kedu)
Saat malam selikuran (tanggal 21 Ramadhan),
banyak orang yang berziarah ke petilasan ini. Konon makam Ki Ageng Makukuhan
sendiri juga ada di kawasan ini, tetapi lokasinya cukup terpisah dari petilasan
yaitu di ujung timur yang ditandai dengan adanya pohon Endong Wulung dan pohon
Kecubung Wulung. Sementara itu di sisi utara tampak kawasan kawah yang berwarna
putih dan mengeluarkan asap belerang.
Kawah Gunung Sumbing
Puncak Rajawali sendiri berada di sebelah barat
laut dan terlihat jelas dari lokasi camp
karena penampakannya begitu menjulang tinggi. Kami pun segera berjalan ke sana
melalui jalan setapak yang awalnya cukup susah untuk ditemukan. Perlahan kami
mulai menapaki jalan yang mulai menanjak menuju puncak di sebelah barat
kaldera. Jalur ini juga bisa digunakan untuk menuju Puncak Buntu dan Puncak
Kawah yang biasanya dicapai dari Jalur Garung.
Menuju Puncak Rajawali
Semakin tinggi posisi kami di tanjakan,
pemandangan ke arah timur menjadi tampak begitu indah. Kaldera Sumbing ternyata
begitu cantik jika dilihat dari ketinggian. Pemandangan hamparan lembah yang
dikelilingi dinding hijau terlihat begitu cantik berpadu dengan view kawah berasap dan Segara Wedhi
(lautan pasir) di sisi timur laut.
Kawasan Kaldera Gunung Sumbing
Kami pun sampai di pertigaan, yang mana dari
arah timur jika kanan adalah arah ke Puncak Kawah, Puncak Buntu, dan Jalur
Garung, sementara jika kiri adalah arah ke Puncak Rajawali. Ternyata menuju
percabangan ini jika dari Jalur Garung (Puncak Kawah dan Puncak Buntu) maka
harus melalui dinding vertikal yang mana harus menggunakan bantuan tali untuk
bisa melaluinya.
Kami mulai melangkah menapaki jalan setapak
menuju Puncak Rajawali. Jalur menuju puncak adalah melingkar melewati sisi
barat. Pemandangan terbuka ke arah barat pun mulai terlihat setelah sebelumnya
terhalangi oleh tebing. Tentunya pemandangan terbuka di sisi barat merupakan
hal yang baru bagi kami pada perjalanan kali ini karena sejak awal perjalanan
memang tidak pernah terlihat.
Bentang Barat Gunung Sumbing yang Mulai Terlihat
Usai melangah sekitar satu jam dari lokasi camp, syukur Alhamdulillah karena akhirnya kami sampai juga di titik tertinggi
Gunung Sumbing yaitu Puncak Rajawali dengan ketinggian 3371 Mdpl. Sebuah plang
berwarna hitam bertuliskan “Puncak Rajawali” lengkap dengan ketinggiannya
menjadi penanda lokasi kami saat itu.
Puncak
Rajawali
Saya di Puncak Rajawali Gunung Sumbing
Pemandangan yang tersaji
di puncak pun begitu luar biasa dengan pemandangan terbuka ke segala arahnya.
Mulai dari sisi timur selain menyajikan panorama luasnya kaldera Sumbing, juga
menyajikan view deretan gunung jauh
di ujung kaki langitnya. Deretan gunung yang dimulai dari Merapi, Merbabu,
Andong, Telomoyo, hingga Ungaran tampak memesona. Bahkan Lawu pun tidak
ketinggalan menampakkan dirinya di antara Merapi-Merbabu.
Barisan Gunung-gunung di Sisi Timur
Selanjutnya di sisi utara, saudara kembar Gunung
Sumbing yaitu Gunung Sindoro tampak menakjubkan dengan puncaknya yang berasap.
Gunung Prau pun tampak begitu indah di belakang Gunung Sindoro. Tidak
ketinggalan pula jajaran pegunungan di Dataran Tinggi Dieng yang tampak
bagaikan ukiran agung Sang Maha Kuasa.
Gunung Sindoro dan Prau di Belakangnya
Memandang sisi selatan meski cukup terhalang
oleh puncak Gunung Sumbing yang lain yaitu Puncak Sejati, tetapi masih
menampakkan luasnya hamparan biru. Sisi barat sebenarnya sama dengan sisi
selatan karena sebagian besar areanya adalah dataran rendah dengan bukit yang
tidak terlalu tinggi. Namun bedanya ialah jauh di kaki langit sebelah barat
terlihat atap tertinggi Provinsi Jawa Tengah yaitu Gunung Slamet dengan
ketinggian 3428 mdpl.
Menurut berbagai sumber termasuk dari petugas
base camp, Puncak Rajawali yang kami tapaki saat ini merupakan titik tertinggi
Gunung Sumbing yang lebih tinggi dari puncak-puncak lainnya yaitu Puncak Kawah,
Puncak Buntu, dan Puncak Sejati. Jika dilihat dari Puncak Rajawali memang
terlihat puncak-puncak lainnya lebih rendah, meski rentang jaraknya tidak
signifikan.
Segara
Wedhi dan Kawah Sumbing
Usai puas menikmati
suasana di puncak dengan penuh rasa syukur, kami segera turun sekitar pukul
08.45 WIB, tetapi tidak langsung kembali ke tenda melainkan terlebih dahulu
menuju Segara Wedhi yang terlihat jelas dari puncak. Rute menuju Segara Wedhi
juga tidak sulit karena telah tersedia jalan setapak dari percabangan tadi
sampai ke sana.
Barusan Turun dari Atas Sana
Ternyata jarak tempuh menuju Segara Wedhi cukup
jauh meski terlihat dekat dari puncak. Kami baru sampai di sana sekitar pukul
09.30 WIB. Sesuai namanya, Segara Wedhi berarti lautan pasir yang mana terdapat
hamparan pasir luas. Biasanya pendaki yang berkunjung ke sini membuat pola
tulisan dari batu sehingga dapat terbaca dari Puncak Buntu. Kawasan ini dulunya
adalah kawah aktif yang sekarang sudah tidak aktif lagi.
Segara Wedhi Gunung Sumbing
Puas berfoto dan menikmati suasana, perjalanan
kami berlanjut untuk kembali ke tenda sekitar pukul 10.00 WIB. Rute yang kami
gunakan kali ini tidak sama dengan sebelumnya, melainkan melewati jalan dari
Segara Wedhi ke arah kawah aktif. Perjalanan kami harus melewati kawasan
bebatuan belerang. Sesekali dijumpai genangan air yang menggiurkan untuk diminum,
tetapi sayangnya tidak bisa karena air tersebut mengandung belerang.
Kawah Gunung Sumbing
Selang 15 menit kemudian kami pun sampai di
kawasan kawah aktif. Asap tebal berwarna putih keluar dari lubang bebatuan di
dekat kami. Selain itu, di dekatnya ada lubang dengan air mendidih di dalamnya
yang mengeluarkan asap tipis. Saat kami berjalan pun terdengar suara air
mendidih dari bawah tanah yang kami pijak sehingga sempat terbesit kekhawatiran
bahwa tanah yang kami pijak akan ambles, masuk ke dalam air mendidih.
Turun
Selanjutnya kami mulai
kembali ke tenda yang jaraknya sudah tidak jauh lagi. Awalnya kami ingin segera
berkemas dan berjalan turun, tetapi realitanya kami tertidur sekitar satu jam
lamanya karena rasanya sangat mengantuk. Perjalanan turun kami baru dimulai
menjelang tengah hari. Tentunya medan terbuka membuat sengatan matahari siang
begitu terasa panasnya.
Medan Terbuka Khas Gunung Sumbing
Hingga pos 4 teriknya matahari senantiasa
menemani kami. Cukup cepat kami tiba di sini yaitu sekitar pukul 13.30 WIB atau
hanya 1,5 jam perjalanan dari tempat bermalam. Tibalah kami kembali di Watu
Ondho yang kali ini tantangannya adalah untuk dituruni. Ternyata menuruni Watu
Ondho lebih mengerikan karena pijakan kaki tidak terlihat akibat terhalang tas
sehingga kaki harus meraba-raba pijakan dengan tangan yang berpegangan erat
pada tali.
Kembali ke Watu Ondho
Syukur Alhamdulillah
kami tetap bisa menuruninya dengan selamat, meski rasanya kedua kaki ini
cukup gemetaran. Usai beristirahat sejenak, perjalanan kembali kami lanjutkan.
Usai masuk kawasan hutan, pepohonan mulai melindungi kami dari sengatan cahaya
matahari. Perjalanan turun kami begitu lancar dan cepat sehingga sekitar pukul
16.15 WIB kami sudah sampai kembali di Pos 0.
Kembali Lagi ke Pos 0 Gunung Sumbing via Banaran
Kami kembali ke base camp dengan ojek karena
saya sempat menghubungi base camp untuk meminta penjemputan ojek. Beruntung
menjelang pos 0 telepon genggam sudah bisa berfungsi karena sinyal mulai ada.
Kami tiba kembali di base camp sekitar pukul 16.45 WIB. Usai mandi dan berkemas
kami pun kembali ke Yogyakarta setengah jam kemudian, tentunya tidak lupa kami
berpamitan dengan petugas di base camp terlebih dahulu.
Epilogue
Perjalanan kedua saya
di tahun ini pun Alhamdulillah terlaksana
dengan sukses. Perjalanan saya di Gunung Sumbing pun bisa dibilang adalah yang
paling spesial kali ini karena bisa menjelajahi kawasan puncaknya; tidak hanya
puncak Rajawali, tetapi hingga Segara Wedhi dan juga kawahnya. Bisa dibilang
ini adalah penjelajahan terlengkap saya di Gunung Sumbing.
Perjalanan ini pun
semakin melengkapi penjelajahan saya di Gunung Sumbing setelah sebelumnya
mendakinya melalui jalur Garung sebanyak tiga kali yang juga sampai di Puncak
Kawah dan Puncak Buntu. Memang masih ada banyak bagian Gunung Sumbing yang
masih bisa dijelajah seperti Puncak Sejati hingga pendakian via Jalur Bowongso,
dan lainnya. Namun sepertinya penjelajahan saya di Gunung Sumbing cukup sampai
di sini.
Selamat Tinggal Sumbing
Usai perjalanan ini, untuk ke depannya Gunung
Sumbing sudah tak lagi masuk ke dalam prioritas daftar tujuan pendakian saya
karena rasa penasaran untuk menyambangi Segara Wedhi dan kawahnya telah
terjawab. Namun hal tersebut bukan berarti saya tidak akan pernah lagi
mengunjungi Gunung Sumbing. Tetap saja Sumbing akan selalu memiliki pesonanya
tersendiri yang akan selalu dirindukan oleh para pendakinya dari waktu ke
waktu.
Uwaaaaa... Aku mana boleh ke gunung berduaan sama cowok yg bukan muhrim. Banyak godaannya kalo cuma berduaan, apalagi ke gunung, yang dingin2 Hmmm, mas Angga tahan godaan? Hehhee
Btw, suasananya cerah ya... Bagus banget buat foto. Langitnya biru ruuuu
Anonim mengatakan…
Kalo via banaran galewat puncak sejati ya?
WE ARE COUPLE TRAVELLER
Assalamualaikum! Kami Anggara & Rhoshandha. Domisili Surakarta, sedang eksplorasi jejak Islam di Nusantara. Semoga segera kami bisa eksplorasi jejak peradaban Islam di Eropa. Bismillah! Wish me luck! Kerjasama bisa hubungi halokakros@gmail.com
2 komentar
Uwaaaaa... Aku mana boleh ke gunung berduaan sama cowok yg bukan muhrim. Banyak godaannya kalo cuma berduaan, apalagi ke gunung, yang dingin2
Hmmm, mas Angga tahan godaan?
Hehhee
Btw, suasananya cerah ya... Bagus banget buat foto. Langitnya biru ruuuu
Posting Komentar