Konten [Tampil]
Presiden Republik Indonesia pertama yaitu Ir. Soekarno pernah mengatakan bahwa jangan pernah melupakan sejarah. Perkeretaapian di Indonesia pun juga memiliki banyak sejarah semenjak kemunculannya pada zaman kolonial Belanda dahulu. Postingan kali ini merupakan lanjutan dari napak tilas jalur mati pertama saya di JALUR MATI YOGYAKARTA-PALBAPANG; BANTUL. Kali ini target napak tilas saya adalah di jalur yang belum lama mati yaitu Purworejo-Kutoarjo untuk mengingatkan kembali akan saat-saat kejayaan sang ular besi yang melintasi jalur tersebut.
Jalur KA Purworejo-Kutoarjo |
Menuju Purworejo via Menoreh
Kembali rasa terima
kasih saya haturkan kepada Bung Prima Utama pemilik https://blusukanjalurmati.blogspot.co.id
yang telah banyak menginspirasi untuk melakukan blusukan jalur mati. Tanggal 27
September 2017 itu memang sudah agak kesiangan saat saya akan memulai perjalanan
napak tilas saat ini. Pertama-tama tujuan saya adalah Stasiun Purworejo yang
terletak di Kabupaten Purworejo. Akan tetapi kali ini perjalanan saya menuju
Purworejo tidaklah lewat Wates yang merupakan jalan utama, melainkan terus ke
arah barat jika dari Tugu Yogyakarta melalui Perbukitan Menoreh.
Jogja-Purworejo via Pegunungan Menoreh |
Sebenarnya jika dihitung secara jarak, menuju
Purworejo melewati Pegunungan Menoreh akan lebih dekat, akan tetapi kondisi
jalan yang naik-turun dan berkelok membuat waktu tempuh menjadi sedikit lebih
lama daripada jika lewat jalan utama. Kondisi motor pun juga haruslah kuat jika
lewat rute Pegunungan Menoreh ini karena banyaknya tanjakan, turunan, dan
belokan.
Pegunungan Menoreh di Depan Mata |
Membutuhkan waktu satu jam bagi saya untuk sampai
di sisi barat Pegunungan Menoreh dengan selamat setelah melewati jalan yang
kondisinya naik-turun, dan berkelok. Selanjutnya kondisi jalan sudah datar
karena berada di dataran rendah. Tak lama kemudian saya pun sampai di Purworejo
dan bergegas untuk makan terlebih dahulu sebelum mencari Stasiun Purworejo
sebagai titik awal napak tilas kali ini.
Sisi Barat Menoreh |
Napak Tilas Dimulai
Usai makan pagi di
sebuah warung mie ayam di daerah sekitar Universitas Muhammadiyah Purworejo, saya segera mencari Stasiun Purworejo. Memang tidak ada plang penunjuk arah menuju
Stasiun Purworejo mengingat stasiun tersebut yang kini sudah tidak aktif
melayani penumpang, namun atas petunjuk bapak penjual mie ayam akhirnya saya dapat menemukannya.
Stasiun Purworejo |
Bangunan Stasiun Purworejo masih terlihat begitu
baik dari jalan di depannya. Wajar saja karena jalur kereta api Purworejo
menuju Kutoarjo baru ditutup pada tahun 2010 silam. Penutupan tersebut
sebenarnya adalah penutupan sementara saja dan jalur akan kembali diaktifkan
setelah perbaikan jalur secara menyeluruh dilakukan karena rel dari Stasiun
Purworejo menuju Stasiun Kutoarjo masih menggunakan ukuran R 33, sementara
sekarang yang harus digunakan adalah ukuran R 42. Selain itu kondisi jalur juga
sudah membahayakan karena berbagai kerusakan di antaranya bantalan rel kayu
yang sudah lapuk dan balas (batu-batu yang menopang rel) banyak yang hilang.
Akan tetapi entah mengapa hingga entry ini dibuat pada tahun 2017 perbaikan
belum dilakukan.
Emplasemen Stasiun Purworejo |
Stasiun Purworejo yang Sunyi |
Bagian dalam Stasiun Purworejo juga kondisinya
masih baik dan bersih. Emplasemen Stasiun Purworejo masih bagus, meskipun
bangku-bangku tempat penumpang menunggu kini sudah tidak ada. Tinggal sebuah
emplasemen luas yang kosong dengan 2 jalur kereta api dengan suasana sepi
karena tak ada lagi lalu-lalang penumpangnya dan juga kereta api di atas jalur
besinya. Sementara itu Pegunungan Menoreh memanjang di sebelah timur stasiun,
seakan menjadi dinding raksasa yang menghalangi jalur rel berlanjut hingga ke
Yogyakarta.
Pegunungan Menoreh di Timur Stasiun |
Jalur menuju Kutoarjo memanjang ke sebelah
barat. Menurut petugas yang ada, panjang jalur menuju Kutoarjo adalah sekitar
13 kilometer. Beliau juga mengatakan bahwa penyusuran terbaik adalah dengan
berjalan kaki karena jika naik motor kondisi jalur di depan sudah ditutupi oleh
semak tinggi dan juga terdapat banyak jembatan. Akan tetapi saat itu saya tidak
mempunyai pilihan karena semakin siang kemungkinan akan turun hujan sehingga
sepeda motor tetap saya gunakan meski pun tidak bisa selalu berada di atas rel.
Menyusuri Jalan Kampung
Benar saja, saat
berusaha menyusuri jalan langsung di atas rel beberapa meter ke arah barat
Stasiun Purworejo, saya langsung dihadang oleh semak-semak yang tinggi sehingga
mustahil bagi kuda besi untuk melaluinya. Jadilah saya kembali ke jalan sebelah
utara stasiun kemudian jika ada gang ke arah kiri maka saya berbelok. Akhirnya saya bertemu kembali dengan lanjutan jalur mati tersebut dan mengikutinya lewat
jalan kampung yang berada di samping rel.
Semak yang Tinggi di Depan Sana |
Menyusuri Jalan Kampung |
Rasanya sempat khawatir jika ternyata jalan
kampung di samping rel ini nantinya buntu. Beruntung karena jalan kampung
tersebut cukup jauh dan juga rel masih terlihat di sebelah kiri jalur. Akan
tetapi tak lama setelah itu perkampungan pun berakhir otomatis dengan jalan
kampungnya. Untungnya jalan di samping rel masih ada, akan tetapi bukanlah
jalan kampung seperti sebelumnya, melainkan jalan setapak di tengah sawah.
Menyusuri Jalan Setapak
Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya, saya harus melewati jalan setapak untuk menyusuri jalur
mati Purworejo-Kutoarjo. Jalan setapak ini berada tepat di samping rel yang
tertutup oleh semak, sementara di sisi lain dari jalan setapak terbentang areal
persawahan luas. Jika sampai kehilangan keseimbangan maka bisa saja saya tercebur
ke sawah tersebut.
Jalan Setapak Samping Rel |
Perjalanan saya yang semula lancar-lancar saja
dengan motor di jalan setapak tersebut tiba-tiba saja mendapat hambatan yang
cukup menguji mental. Seperti perkataan bapak petugas di Stasiun Purworejo
tadi, sebuah jembatan membentang di depan motor saya. Memang bukan jembatan yang
besar, tetapi mustahil bagi saya untuk lewat tengah rel karena jarak
antarbantalan terlalu lebar, belum lagi risiko bantalan kayu yang sudah tua itu
patah. Sementara hanya ada bilah-bilah kayu di jalan setapak samping rel
sehingga kekuatannya untuk menopang motor cukup meragukan.
Pemandangan |
Belum lagi apabila saya kehilangan keseimbangan,
maka bisa saja tercebur ke sungai yang mana meskipun hanya sungai kecil tetapi
tetap akan menimbulkan kerusakan bagi motor. Tiba-tiba entah dari mana
datangnya, muncullah keberanian saya untuk tetap melewatinya. saya pun segera
berusaha melewati jembatan tersebut dengan menuntun motor melewati bilah-bilah
kayu, sementara saya menapaki bantalan rel. Setidaknya hal tersebut akan
mengurangi gaya tekan ke bawah seberat 60 kilogram. Syukur Alhamdulillah saya beserta motor berhasil melewati jembatan kecil
tersebut dengan selamat.
Alhamdulillah Berhasil |
Selanjutnya jalan setapak masih berlanjut hingga
akhirnya saya sampai kembali ke jalan aspal. Tidak ada lagi jalan setapak di
samping rel sehingga saya harus sementara meninggalkan rel dan berkendara
melewati jalan aspal di sebelah utara rel. Akhirnya saya sampai di jalan besar
dan berbelok kiri hingga akhirnya jalur rel kembali saya temukan. Kali ini jalan
setapak tersedia di samping rel sehingga saya bisa melanjutkan perjalanan di
samping jalur rel lagi.
Jalan Buntu!
Beberapa saat saya menyusuri jalan setapak tersebut, ternyata jalur rel kereta api sudah tidak ada
lagi di tempatnya, mungkin dipreteli oleh masyarakat sekitar. Perjalanan
menyusuri jalan setapak pun terus berlanjut di jalan yang sebelumnya merupakan
rel kereta api. Cukup panjang jalan setapak bekas rel kereta api ini. Beruntung
kondisinya cukup nyaman untuk dilalui dan juga masih terlihat jelas bahwa
dulunya jalan setapak tersebut merupakan jalur kereta api melalui besi-besi di
samping kanan-kiri nya sehingga saya tidak perlu khawatir salah jalan.
Rel Menghilang |
Cukup lama setelah saya melewati jalur rel yang
hilang tersebut, ternyata jalur rel kembali muncul sehingga jalan setapak
berlanjut di sampingnya. Beberapa jalan kampung turut saya lewati saat jalan
setapak menghilang kemudian kembali ke jalan setapak kembali yang mana
untungnya masih tetap ada jika jalan kampung habis.
Rel Muncul Kembali |
Perjalanan saya terus berlanjut ke arah Kutoarjo.
Saat ada jalan setapak di samping rel yang cukup jelas, maka saya senantiasa
melewati jalan setapak tersebut. Akhirnya tibalah saya di sebuah jalan setapak
yang berada di belakang pabrik PT. Indotama Omicron Kahar. saya sempat lega
karena dari kejauhan tampak lalu-lalang kendaraan yang melewati jalan utama Purworejo-Kutoarjo
sehingga saya terus memacu kendaraan melewati jalan setapak yang kadang berada di
tengah rel. Harapan saya adalah sampai di jalan utama tersebut, setidaknya
menjadi checkpoint sebelum memutuskan
harus ke arah mana selanjutnya.
Perhatikan Foto ini |
Sayangnya sesuatu terjadi tidak seperti harapan. Menjelang jalan utama ternyata perjalanan saya menyusuri jalan setapak di
tengah rel terhalang oleh sebuah jembatan. Kali ini kondisi jembatan
benar-benar mustahil untuk dilalui motor. Hanya ada bantalan rel kayu yang
hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki, terlebih bantalan paling ujung sudah
jebol sehingga merupakan hal bodoh dan gila jika saya memaksakan motor untuk
melewati jembatan tersebut. Jalan memutar di sekitarnya pun tidak ada karena
terhalang oleh sungai yang mana meskipun tidak besar, namun tetap tidak bisa
dilalui motor.
Buntu! |
Akhirnya saya memutuskan untuk kembali saja ke
titik jalan kampung sebelumnya, meskipun jarak tempuhnya agak jauh. Ternyata
untuk memutar hauan motor ke arah yang berlawanan cukup sulit karena jalan
setapak yang sempit dan saat itu jalan setapak berada di tengah rel. Selain
terhalang oleh besi rel, jika sampai salah prosedur maka motor saya bisa saja
malah terperosok. Beruntung saya bisa memutar haluan motor ke arah sebaliknya dan
kembali ke titik jalan kampung terakhir. Saya melanjutkan perjalanan ke arah
jalan utama melalui jalan kampung dan sampai di seberang jembatan yang
menghalangi saya tadi.
Jalan Utama Purworejo-Kutoarjo |
Tempat Saya Buntu dari Jalan Utama |
Bertemu Jalur Aktif
Selanjutnya tidak ada
jalan setapak di samping rel sehingga saya harus berkendara di jalan utama
Purworejo-Kutoarjo. Saat ada belokan ke arah kiri, saya berbelok memasukinya dan
berusaha menemukan kembali jalur kereta api yang sejak tadi saya ikuti. Untungnya
saya bertemu kembali dengan jalur kereta api, namun kali ini tidak hanya relnya
saja melainkan gerbong kereta barang juga turut nangkring di atasnya.
Gerbong Barang |
ES mencoba untuk mencari jalan supaya terus bisa
mengikuti jalur rel yang ada dengan melewati gang-gang sempit. Akhirnya saya menemukan kembali jalan setapak di samping rel yang kini banyak terdapat
gerbong-berbong kereta barang di atasnya. Saya kemudian mengikuti jalan setapak
tersebut sampai ke ujungnya.
Bertemu Jalur Aktif Kembali |
Sebelum sampai di ujung jalan setapak tersebut,
saya memarkir motor kemudian turun dan berjalan naik ke rel yang berada di
sebelah kiri. Ternyata di tempat saya berada saat itu merupakan percabangan 2
jalur rel yaitu jalur mati Purworejo-Kutoarjo yang saya ikuti tadi, sementara
satu lagi adalah jalur rel ganda Yogyakarta-Kutoarjo yang masih aktif. Jalur
menuju Yogyakarta berbelok ke arah tenggara dan jalur menuju Purworejo berbelok
ke arah timur laut jika dilihat dari arah barat.
Percabangan Jalur |
Jalur mati menuju Purworejo ditandai dengan
gerbong-gerbong kereta barang yang berada di atasnya. Memandang ke arah barat
dari tempat saya saat itu, Stasiun Kutoarjo sudah terlihat. Melaju terus ke arah
barat dengan sepeda motor tidak memungkinkan karena terdapat sebuah jembatan di
atas sungai yang cukup besar. Saya pun memacu motor ke jalan utama dan ternyata
perjalanan memang sudah dekat dengan Stasiun Kutoarjo. Saya segera memacu
kendaraan ke Stasiun Kutoarjo melalu jalan aspal.
Stasiun Kutoarjo di Depan |
Sesampainya saya di palang pintu kereta api di
sebelah timur stasiun, saya membelokkan motor ke arah kiri sebelum palang untuk
mencari sambungan rel. Benar saja, di tempat pemberhentian selanjutnya, saya bisa
menemukan sambungan rel yang menghubungkan jalur mati menuju Purworejo dengan
jalur aktif Yogyakarta-Kutoarjo. Tentu setelah ini saya tidak bisa lagi mendekati
jalur rel ke arah stasiun karena larangan memasuki jalur kereta api aktif.
Epilogue
Penelusuran
kedua saya kali ini pun selesai dengan berhasil. Pertanyaan mengenai bagaimana
kondisi jalur mati Purworejo menuju Kutoarjo terjawab sudah, juga pertanyaan
mengenai bagaimana kondisi percabangan dengan jalur aktif. Perjalanan kembali
ke Yogyakarta pun saya lalui dengan pertanyaan-pertanyaan yang terlah terjawab.
Kali ini perjalan pulang saya adalah melalui jalan utama via Wates, bukan
via Perbukitan Menoreh seperti sewaktu berangkat.
Stasiun Purworejo Tempo Dulu
Memang cukup
disayangkan mengenai matinya jalur kereta api Purworejo menuju Kutoarjo padahal dulu sewaktu masih aktif jumlah rata-rata penumpangnya mencapai sekitar 400
orang. Tentu hingga kini masyarakat Purworejo masih berharap sang ular besi
akan kembali berjalan di atas relnya untuk memudahkan saran transportasi
mereka.
1 komentar
Namun kini,stasiun KA yg tidak aktif spt daerah Kutowinangun mulai ditata dan dibangun stasiun baru. Masih sangat layak untuk konsumsi masyarakat...
Akhirnya ikut menikmati cerita kereta api jalur mati...
Posting Komentar