Konten [Tampil]
Bulan Mei 2017 sudah semakin mendekati akhir. Tentu
saja harapan akan giliran beristirahatnya hujan masih ada untuk bisa menggapai
langit yang cerah. Aka tetapi sepertinya memang Allah SWT sudah mentakdirkan
bahwa kondisi basah masih terus terjadi bahkan di akhir Bulan Mei 2017, padahal
satu tahun sebelumnya di pertengahan Mei langit sudah begitu cerah karena sudah
hadirnya musim kemarau.
Perjalanan kali ini
pun dimulai bahkan belum ada 48 jam usai perjalanan terakhir saya melakukan
pendakian ke MERBABU VIA CUNTHEL-SUWANTING sebelumnya. Yah, memang agak sedikit
memaksa karena selain hujan yang masih sering turun, tentu saja kondisi fisik
saya masih belum pulih
usai dihajar rute menanjak Merbabu jalur utara dan curamnya jalur turun via
Suwanting.
Puncak Gede
Sebenarnya sudah cukup lama saya mendambakan perjalanan
ini. Memang, tempat yang ingin saya tuju dari perjalanan kali ini bukanlah
sesuatu yang wah bagi kalangan pendaki Indonesia, bahkan merupakan hal yang
begitu biasa bagi masyarakat di sekitarnya. Akan tetapi, kembali rasa penasaran
saya mengalahkan segalanya untuk bisa menggapai salah satu tanah tertinggi Bhumi
Pasundan; Gunung Gede dengan ketinggian 2958 meter di atas permukaan laut.
Persiapan untuk
perjalanan kali ini sudah dipersiapkan sejak awal Bulan Mei karena memang
banyak hal yang tidak bisa dilakukan secara mendadak. Persiapan yang perlu
dilakukan sejak jauh hari di antaranya adalah mengurus simaksi pendakian dan
tidak lupa tiket kereta api menuju Bandung yang mana mutlak tidak bisa mendadak
karena jadwal keberangkatan adalah pada Hari Sabtu saat tiket kereta diserbu
oleh pembelinya.
Rombongan 4 orang
Beruntung semua persiapan tersebut berjalan
lancar termasuk tiket kereta api menuju Bandung yang sudah dalam genggaman.
Kali ini total rombongan saya ada 4 orang; sama seperti saat MENGGAPAI MERBABUVIA CUNTHEL-SUWANTING, akan tetapi dengan personel yang berbeda yaitu: Bung
Muhammad B. Irawan, Rani Theresia, dan Tantri. Langsung saja menuju saat
keberangkatan kami…
MENUJU TANAH PASUNDAN
Adzan Maghrib mulai berkumandang di langit petang
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang seakan mengiringi keberangkatan kami
menuju Stasiun Lempuyangan; tempat kami berkumpul. Kereta Api Kahuripan yang
akan menghantar kami menuju Bhumi Pasundan akan berangkat pukul 18.15 WIB.
Syukurlah semua bisa sampai tepat waktu dan juga saya tidak lupa membawa tiket
seluruh rombongan sehingga setidaknya perjalanan bisa kami mulai. Akan sangat
konyol tentunya apabila tiket rombongan sampai ketinggalan di kamar kost.
Tepat pukul 18.15 WIB
kami sudah duduk manis di kursi kereta sesuai dengan nomor tiket. Maka
perjalanan panjang kami pun dimulai bersamaan dengan bergeraknya sang ular besi
bernama Kahuripan ke arah barat. Segala macam prasangka di dalam hati khas di
awal perjalanan panjang mulai bermunculan seperti biasa seiring dengan ritme
suara laju kereta; berupa pertanyaan “Apakah Perjalanan ini Akan Berhasil
Nantinya..?” bahkan hingga “Apakah Kami akan Bisa Kembali Pulang Nantinya..??”
Kereta Malam
Memang perjalanan dengan kereta api sekarang
sangatlah nyaman dengan fasilitasnya yang semakin memanjakan penumpang, akan
tetapi tetap saja saya lebih memilih perjalanan di siang hari. Perjalanan dengan
kereta api saat malam hari selain pemandangan ke luar jendela tidak terlihat,
untuk tidur di kereta ekonomi pun tidaklah nyaman dengan bangkunya yang nyaris
tegak. Sekitar tujuh jam kemudian kami telah tiba di stasiun tujuan yaitu Kiara
Condong, Bandung.
Stasiun Kiara Condong
Kami beristirahat di stasiun terlebih dahulu
karena memang masih terlalu pagi. Terlebih saat itu pertandingan final Liga
Champions sedang berlangsung antara Real Madrid melawan Atletico Madrid
sehingga setidaknya ada sedikit hiburan bagi kami untuk menunggu pagi. Saat
adzan subuh berkumandang, kami segera meninggalkan stasiun untuk ibadah di
masjid terdekat dan juga sarapan.
BANDUNG-CIBODAS
Matahari pagi sudah
menampakkan dirinya ketika kami mulai berjalan kaki untuk mencari angkot dengan
tujuan Terminal Leuwi Panjang. Sangat mudah untuk menemukan angkot tersebut
karena memang tedapat banyak angkot di depan Stasiun Kiara Condong. Tak butuh
waktu lama hingga kami menemukan angkot yang membawa kami ke Terminal Leuwi
Panjang. Pagi itu cuaca Kota Bandung begitu cerah dengan lalu-lalang aktivitas
keseharian masyarakatnya.
Pagi di Kota Bandung
Sesampainya di Terminal Leuwi Panjang, kami
dihadapkan dengan satu masalah klasik para traveller
yaitu mencari transportasi selanjutnya. Perlu diketahui bahwa kami masih
benar-benar buta mengenai transportasi menuju Cibodas dan apabila kami terlihat
bingung di terminal maka kami akan menjadi santapan empuk para calo yang akan
menguras isi dompet kami. Oleh karena itu saya langsung mengajak rombongan untuk
segera naik bus jurusan Cianjur dengan kelas ekonomi untuk meminimalkan pengeluara.
Entah benar atau tidak, setidaknya perjalanan kami akan lebih dekat ke Cibodas
begitu sampai Cianjur.
Naik Angkot
Bus kami pun bergerak ke arah barat meninggalkan Kota
Bandung menuju Cianjur. Ternyata cukup jauh juga perjalanan ke Cianjur karena
menjelang tengah hari kami baru tiba di Terminal Cianjur. Kembali kami
dihadapkan oleh pemilihan sarana transportasi menuju Cibodas yang sudah tidak
begitu jauh lagi. Entah kenapa juga tidak ada bus yang melintas di Terminal
Cianjur ini sehingga kami terpaksa menggunakan angkot karena hanya ada angkot
di sana. Yah, apa boleh buat meskipun memang tidak efektif.
Sesuai dengan perkiraan saya, menggunakan angkot tidaklah efektif. Kami sampai menggunakan 2
angkot untuk sampai ke Istana Presiden Cipanas yang mana jika naik bus akan
lebih cepat dan lebih murah. Kami masih harus oper dengan angkot lagi untuk sampai ke Cibodas; kali ini memang seharusnya demikian karena hanya ada angkot
sebagai transportasi menuju Cibodas dari istana presiden.
Kantor Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Akhirnya kami mulai memasuki kawasan Kebun Raya
Cibodas pada Minggu sore. Suasana sangat ramai bagaikan pasar begitu kami tiba
sehingga angkot yang kami kendarai hanya bisa berjalan perlahan. Begitu sampai
kami langsung menuju Kantor Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
untuk membereskan simaksi guna mendapatkan tiket masuk pendakian besok.
Peta TNGGP
Usai masalah simaksi beres, kami segera mencari
tempat bermalam yang sudah banyak tersedia di kawasan Cibodas. Perjalanan
panjang dari Yogyakarta memang sangat melelahkan sehingga kami perlu beristirahat
guna mempersiapkan fisik menghadapi pendakian esok hari.
Senja di Kawasan Kebun Raya Cibodas
Sore itu hujan gerimis menyelimuti kawasan
Cibodas dari sore hari hingga petang, syukurlah tidak terjadi hujan deras. Malam
itu pun kami tidur di sebuah penginapan dengan fasilitas kasur yang
nyaman.
Panggonan Turu
PERJALANAN DIMULAI
Pagi hari di awal
pekan pun kembali hadir, sebuah kisah baru yang muncul bersamaan dengan
terbitnya matahari dari sebelah timur. Usai sarapan dan mempersiapkan diri,
kami mulai melangkah memasuki gerbang pendakian Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango (TNGGP) via Cibodas.
Siap Berangkat..!!
Dari Kiri: Saya, Tantri, Rani, Bung Ir
Beruntung pagi itu begitu cerah, akan tetapi
udara terasa begitu lembap khas musim penghujan. Yah, menghangatnya perairan
Indonesia akibat La Nina memang meningkatkan suhu udara dan penguapan di
atmosfer. Saya menduga bahwa cuaca cerah tidak akan bertahan hingga sore
hari. Benarkah itu..??
Kawasan Telaga Biru
Rute pendakian Gunung Gede via Cibodas sudah
begitu jelas dengan batuan yang disusun menyerupai tangga; hampir mirip seperti
pendakian Gunung Lawu via Cemara Sewu. Air juga begitu melimpah sepanjang jalur
pendakian, suara air mengalir senantiasa menemani kami di awal pendakian ini.
Pos pertama yang kami jumpai adalah Telaga Biru di mana terdapat sebuah telaga
dengan airnya yang seakan terlihat berwarna biru. Kami hanya menghela nafas
sejenak di sini dan juga berfoto sebelum kembali berjalan.
Telaga Biru di Belakang
Usai Telaga Biru, kami melewati sebuah jembatan
kayu yang begitu panjang. Jembatan kayu tersebut berdiri di atas sebuah rawa
bernama Rawa Gayonggong. Pemandangan ke arah Puncak Gunung Pangrango yang
menghijau terlihat begitu jelas dari atas jembatan. Jembatan kayu ini pula
menjadi sebuah keunikan yang bisa dinikmati saat mendaki Gede melalui Cibodas.
Kami terus berjalan setelah berfoto dengan latar belakang yang indah tentunya.
Kawasan Rawa Gayonggong
Usai melewati jembatan kayu di atas Rawa
Gayonggong, rute pendakian memasuki kawasan hutan sehingga pemandangan menjadi
tertutup. Jalur pendakian masih terlihat begitu jelas dan juga luas sehingga
cukup mudah untuk diikuti. Terdapat percabangan jalur ke arah Puncak Gede dan
ke arah Air Terjun Cibeureum; tentu saja kami mengambil arah menuju Puncak Gede.
Percabangan ke Air Terjun Cibeureum
Pos selanjutnya adalah Rawa Denok, meskipun rawa
namun tidak sama dengan Rawa Gayonggong. Hanya ada sebuah shelter di pinggir
jalur pendakian. Usai beristirahat kami kembali berjalan lagi.Suara aliran air terjun mulai kami dengar ketika
melangkahkan kaki usai beberapa saat dari Rawa Denok.
Kawasan Hutan Gunung Gede Pangrango
Tentunya hal ini membuat kami semakin
bersemangat lagi karena memang sedang menantikan untuk bertemu salah satu
keunikan yang ada di jalur pendakian Gunung Gede. Akhir nya kami pun sampai di
kawasan air terjun tersebut; bukan air terjun biasa tetapi air terjun dengan
air yang cukup panas dan mengeluarkan asap.
Jalur pendakian haruslah melewati bebatuan yang
berada di atas sebuah sungai dengan suhu cukup panas dari air terjun bersuhu
yang cukup panas pula. Memang kedengarannya begitu menyeramkan, akan tetapi hal
tersebut tidaklah berbahaya. Air yang mengalir memang panas sehingga berasap,
namun panasnya bukanlah suhu tinggi yang bisa melepuhkan kulit. Hanya saja
cukup mengagetkan tentunya jika sampai tercelup air tersebut seperti yang
dialami Rani.
Menerobos Air Panas Terjun
Syukurlah kami bisa melalui air panas tersebut
dengan selamat. Rute selanjutnya masih di dalam kawasan hutan. Mulai terdapat
banyak aliran air dan sungai di sepanjang jalur pendakian. . Suasana semakin asri dengan terdapatnya banyak
air terjun yang suaranya begitu mendamaikan hati. Memang benar untuk masalah
air di Gunung Gede-Pangrango bukanlah sebuah masalah karena melimpahnya air
yang ada.
Air Terjun di Jalur Cibodas
Keadaan sekitar semakin memanjakan kami semua.
Pemandangan air terjun yang mengalir deras seakan menghapus rasa letih kami.
Perjalanan terus berlanjut hingga akhirnya kami tiba di pos yang menjadi
percabangan jalur menuju puncak Gunung Gede dan puncak Gunung Pangrango yaitu
Pos Kandang Badak. Kami beristirahat di sini cukup lama, bahkan selain makan
berat kami juga menggelar tenda dan tidur selama 2 jam. Kondisi cuaca saat itu
agak gerimis sehingga kami mengurungkan niat untuk mengunjungi Puncak Pangrango
yang mana rencananya adalah sore hari itu.
PUNCAK GEDE YANG SURAM
Kami terbangun menjelang sore saat mendengar suara
pendaki di samping kami yang berteriak-teriak. Bukan berteriak karena
kesurupan, tetapi memang gaya berbicara mereka yang dengan volume tinggi. Yah,
benar-benar menyebalkan memang jenis pendaki semacam itu; mereka tidak sadar
bahwa suara kerasnya mengganggu kenyamanan orang lain di sekitarnya. Kondisi campground Kandang Badak begitu ramai
saat itu, padahal hari tersebut adalah Senin. Tidak bisa dibayangkan bagaimana
ramainya jalur pendakian ini saat weekend
atau long weekend.
Segera kami
meninggalkan Kandang Badak karena kesal; tentunya setelah berkemas dan melipat
tenda. Kami mulai manapaki jalur menuju Puncak Gunung Gede dengan kondisinya
yang mulai alami, bukan dari bebatuan yang ditata seperti sebelumnya. Medan
juga mulai lebih menanjak dibanding sebelumnya. Medan alami khas pendakian
gunung benar-benar sudah bisa kami rasakan di sini. Perlahan tapi pasti
perjalanan kami semakin mendekati Puncak Gunung Gede.
Persimpangan Gede-Pangrango
Bau belerang mulai tercium sewaktu perjalanan kami
memasuki waktu petang. Suatu pertanda bahwa perjalanan kami sudah semakin dekat
dengan puncak. Kedua kaki pun kami paksakan untuk terus melangkah mengingat
sudah dekatnya puncak. Langit sudah semakin gelap sehingga senter harus kami
keluarkan untuk menerangi jalanan. Akhirnya tibalah juga kami di kawasan puncak
Gunung Gede, akan tetapi sayang karena cuaca cukup berkabut menjadikan
pemandangan sore tidak terlihat.
Segera saja kami
mencari tempat untuk mendirikan tenda, akan tetapi tempat kami berada saat itu
bukanlah sebuah lokasi yang datar untuk mendirikan sebuah tenda. Kami terus
berusaha mencari tempat mendirikan tenda di tengah hari yang semakin gelap dan
kondisi fisik yang lelah. Cuaca pun cukup mencekam karena selain berkabut, juga
berangin sehingga semakin menurunkan suhu udara. Akhirnya kami menemukan tempat
untuk mendirikan tenda, meskipun tidak terlalu ideal dan sedikit miring. Angin
yang berembus kencang semakin menyulitkan kami mendirikan tenda, syukurlah
tenda bisa berdiri untuk kami jadikan tempat berlindung dari kencangnya terpaan
angin bercampur kabut.
MENYIBAK KABUT GUNUNG GEDE
Langit yang gelap perlahan tapi pasti berubah menjadi
cerah. Pagi pun tiba di atas langit Gunung Gede. Sayangnya semua cerita
mengenai keindahan matahari terbit di Puncak Gunung Gede seakan sirna saat itu.
Kondisi cuaca masih berangin dengan kabut yang tetap setia menyelimuti Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango, meskipun embusan angin sudah tak lagi kencang.
Tentu saja hal tersebut membuat kami kecewa sehingga memutuskan untuk kembali
tidur saja.
Quite Foggy
Beberapa saat
kemudian kami terbangun; kali ini bukan karena suara berisik pendaki lain,
melainkan karena angin yang sejak tadi berembus kencang berhenti. Kami pun
segera keluar untuk memeriksa keadaan. Syukur Alhamdulillah kabut sudah berkurang sehingga menyibakkan
pemandangan spektakuler dari Puncak Gunung Gede.
Kawasan Puncak Gunung Gede
Sebuah kawah yang mengeluarkan asap putih menganga lebar di depan kami menjadikannya sebuah spot foto yang bagus. Bentang alam dan ukiran topografi permukaan bumi ditambah dengan awan putih yang melayang semakin menyempurnakan indahnya karya agung Sang Maha Kuasa.
Rani + Kawah Utama Gunung Gede
Tentu saja berfoto merupakan hal yang kami
lakukan di sini dengan latar belakang bentang alam dari ketinggian Gunung Gede.
Perlu diketahui bahwa saat itu kami masih belum berada di puncak tertinggi
Gunung Gede, masih ada sedikit perjalanan lagi yang harus kami tempuh untuk
mencapai puncaknya. Beberapa rombongan pendaki juga mulai ramai berfoto untuk
mengabadikan momen tanpa kabut tersebut. Usai puas berfoto kami langsung
kembali berkemas untuk melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian kami mulai
melangkah naik menuju Puncak Gunung Gede yang kini sudah dalam jangkauan
pandangan mata.
Foto Bareng
Pemandangan yang begitu memanjakan mata
mengiringi awal perjalanan kami menuju puncak. Bisa dibilang jalur yang kami
tapaki saat itu adalah bibir kawah raksasa Gunung Gede yang berada di sebelah
kiri jalur. Jauh di belakang kami tampak Puncak Pangrango yang diselimuti
kabut, sementara itu pergerakan kabut begitu cepat mengejar kami dari belakang
dengan tujuan yang sama yaitu Puncak Gede.
Pangrango Berselimut Kabut
Tak ingin kalah cepat; kami semakin mempercepat langkah kami, akan tetapi kabut yang dibantu oleh embusan angin lebih cepat mendahului kami untuk sampai di Puncak Gede. Kabut yang menyelimuti Puncak Gede seakan
memberikan tepuk tangannya ketika kami berhasil menginjakkan kaki di sana.
Menuju Puncak Gede
Syukur Alhamdulillah
kami sampai juga di titik tertinggi Gunung Gede dengan ketinggian 2958
meter di atas permukaan laut, meskipun kabut tebal menghalangi pandangan jarak
jauh ke segala penjuru mata angin. Cuaca berkabut tersebut bukan suatu masalah
serius, yang terpenting adalah kami semua berhasil sampai di salah satu puncak tertinggi
tanah Jawa Barat setelah serangkaian persiapan dan perjalanan panjang
sebelumnya.
Puncak Gunung Gede; 2958 Meter di Atas Permukaan Laut
Hanya sebentar saja kami menikmati Puncak Gunung
Gede ini tentunya berfoto dengan plang penanda lokasi kami berpijak saat itu adalah
titik tertinggi dari Gunung Gede. Suasana di puncak cukup ramai karena tempat
inilah yang menjadi tujuan pendaki Gunung Gede dari ketiga jalur resminya yaitu
Cibodas yang kami lalui untuk sampai ke puncak, jalur Gunung Putri yang akan
kami gunakan untuk turun, dan jalur Selabintana. Kami segera meninggalkan
puncak untuk memberikan kesempatan kepada pendaki lain menikmati puncak.
TURUN GUNUNG
Perjalanan kami
memang kembali turun, akan tetapi bukan kembali melalui jalur yang sama saat
kami naik. Kami mengikuti rute yang ditunjukkan oleh plang arah menuju “Alun-alun
Surya Kencana” tepat di dekat puncak. Seperti yang sudah dijelaskan tadi, kami
akan turun melalui jalur Gunung Putri.
Fokus ke Plangnya
Alun-alun Surya Kencana sendiri sudah
bisa terlihat dari Puncak Gede meskipun sedikit terhalang oleh kabut berupa
sebuah tanah lapang yang luas. Kami cukup sering berpapasan dengan pendaki yang
pada malam harinya bermalam di Alun-alun Surya Kencana. Kebanyakan dari mereka
tidak membawa serta perlengkapan pendakiannya karena ditinggalkan di tenda.
Alun-alun Surya Kencana Gunung Gede
Hanya sekitar 15 menit berjalan kaki, sampailah
kami di Alun-alun Surya Kencana. Kali ini postingan-postingan yang beredar di
internet bukanlah merupakan kebohongan karena memang Alun-alun Surya Kencana
merupakan tempat yang memesona. Tempat ini merupakan sebuah lembah padang
rumput dengan tanah yang datar sehingga merupakan tempat berkemah yang bagus.
"Bukan" Tantri Kotak
Keindahannya semakin menawan dengan ratusan
bunga edelweiss yang tumbuh tersebar di seluruh areanya. Tentu saja amat sangat
terkutuklah tangan-tangan yang tega menghancurkan keindahan tersebut dengan
memetik bunga edelweiss untuk dibawa pulang. Terdapat pula sebuah sungai kecil
yang mengalir di tengah-tengahnya semakin menyingkirkan kekhawatiran pendaki
akan ketersediaan sumber air yang ada.
Groufie @Alun-alun Surya Kencana
Perjalanan turun kami kembali berlanjut
melintasi jalan yang datar sepanjang Alun-alun Surya Kencana. Sudah merupakah
hal yang pasti ketika kami memuaskan diri berfoto dengan latar hamparan padang
rumput yang luas dan juga edelweiss yang cantik ditambah dengan kabut yang
mengalir perlahan di puncak-puncak bukit.
Alun-alun Surya Kencana
Benar-benar suasana yang begitu mendamaikan;
perasaan berubah menjadi bahagia dengan segera saat kami berada di
tengah-tengah pesona keindahan yang tersaji. Setengah jam lamanya berjalan kami
mulai meninggalkan Alun-alun Surya Kencana dan kembali memasuki kawasan hutan
Gunung Gede jalur Gunung Putri.
Celpi-celpi
Pepohonan kembali berdiri tegak di kanan-kiri
jalur yang kami lalui. Saat itu waktu menunjukkan tengah hari ketika kami mulai
meninggalkan Alun-alun Surya Kencana dan menapaki jalur turun via Gunung Putri.
Ternyata jalur Gunung Putri tidak menyimpan banyak keistimewaan seperti jalur
Cibodas. Bisa dibilang jalur Gunung Putri merupakan jalur pendakian biasa karena
tidak terdapat air terjun yang bisa dijumpai, terlebih air panas seperti jalur
Cibodas.
Masuk Hutan Lagi
Perjalanan turun kami cukup cepat karena hanya
dalam tempo waktu 3 jam sepasang kaki kami sudah kembali sampai kembali di
peradaban berupa lahan perkebunan penduduk. Tak lama kemudian pun kami sampai
di pos pendakian Gunung Putri.
Sampe Bawah Lagi
Kami tentu melapor kepada petugas jaga sekaligus
membuang sampah kami di tempat yang telah disediakan di sana. Jelas kami tidak
meninggalkan apa pun di Gunung Gede kecuali jejak dan kenangan. Usai
beristirahat sejenak kami melanjutkan perjalanan ke perkampungan terdekat untuk
mencari transportasi kembali menuju Bandung.
Laporan
NIGHT AT PARIS VAN JAVA
Sesampainya kami di
perkampungan penduduk, kami mendapatkan informasi bahwa untuk menuju Cibodas
haruslah mencarter sebuah angkot. Beruntung saat itu kami bersama rombongan
pendaki lain yang juga ingin kembali ke Cibodas sehingga biaya carter angkot
bisa lebih murah. Angkot pun mulai melaju perlahan melintasi jalan berkelok untuk
membawa kami kembali ke Cibodas. Perjalanan dengan angkot berlalu begitu cepat
karena kami telah sampai kembali di istana presiden di Cipanas sekitar setengah
jam kemudian.
Sampe Cipanas Lagi
Sesampainya di Cipanas, transportasi yang harus
kami gunakan adalah bus. Sempat bingung sebelumnya mengenai bus apa yang harus
kami gunakan untuk mencapai Bandung. Syukurlah kami diberi tahu bahwa bus
dengan tujuan Padalarang lah yang harus kami gunakan. Tak lama kemudian bus
jurusan Padalarang tiba dan kami langsung naik. Setidaknya kami sudah bisa
beristirahat di dalam bus karena perjalanannya yang memakan waktu cukup lama
untuk sampai ke Padalarang.
Bus Damri
Dua setengah jam, itulah lama perjalanan yang
harus kami tempuh untuk sampai di Padalarang dengan bus yang kami tumpangi dari
Cipanas tadi. Sebuah perjalanan yang cukup lama tentunya karena faktor macet
juga turut memperlambat perjalanan kami. Sesampainya di Padalarang, atas saran
dari penumpang bus lainnya kami disarankan untuk oper dengan Bus Damri untuk
sampai ke Kota Bandung. Untung saja saat itu masih ada Bus Damri terakhir yang
bisa membawa kami ke Kota Bandung.
Kembali kami berpindah bus. Kali ini perjalanan menjadi
nyaman karena kami berada di Bus Damri dengan AC nya yang menyejukkan. Ini
merupakan sarana transportasi dengan AC sejak kami turun dari Kereta Kahuripan
beberapa hari yang lalu. Akhirnya kami sampai juga di Kota Bandung sekitar
pukul 20.00 WIB. Sebenarnya tujuan kami adalah Alun-alun Kota Bandung, akan
tetapi karena Bus Damri tersebut akan pulang maka kami turun di perempatan
terdekat.
Syukurlah karena
akhirnya kami sampai kembali di Bandung, setidaknya sekarang yang harus
dipikirkan tidak serumit saat kami masih di Cibodas. Hal pertama yang kami
lakukan begitu turun dari Bus Damri adalah mencari tempat untuk makan malam
karena memang sudah waktunya. Kami makan malam di sebuah warung pecel lele di
pinggir jalan dengan harga yang terjangkau. Perlu diketahui jika di daerah Jawa
Barat teh tawar berfungsi sebagai air putih alias merupakan air minum yang
gratisan.
Kawasan Alun-alun dan Masjid Raya Kota Bandung
Usai kenyang kami melanjutkan perjalanan ke
Alun-alun Kota Bandung dengan berjalan kaki. Hanya berselang sekitar 10 menit
kami telah sampai di kawasan Alun-alun Kota Bandung, akan tetapi terlebih
dahulu kami mampir ke Masjid Raya Bandung yang berada tepat di samping
alun-alun untuk beribadah dan membersihkan diri. Malam itu kami bermalam di
alun-alun menunggu dini hari saat angkot kembali beroperasi untuk membawa kami
ke Stasiun Kiara Condong. Soal tiket pulang, kami telah membereskannya di
tengah berjalan kaki menuju alun-alun.
Alun-alun Kota Bandung
Dini hari sekitar pukul 02.30 WIB kami mulai
berjalan ke arah selatan alun-alun untuk mencari angkot. Memerlukan sekitar
setengah jam perjalanan sebelum akhirnya kami menemukan angkot tujuan Stasiun
Kiara Condong. Syukurlah karena segala kebingungan kami mengenai bagaimana cara
kembali ke stasiun sudah berakhir dan tinggal menunggu saatnya sampai saja.
Angkot kami membelah jalanan Kota Bandung yang sepi di awal hari. Akhirnya kami
sampai di stasiun setengah jam kemudian.
Kucing Stasiun
Setibanya kami di Stasiun Kiara Condong, pintu stasiun
masih belum dibuka. Memang sudah menjadi peraturan terbaru PT. Kereta Api
Indonesia bahwa penumpang baru diizinkan masuk ke peron sekitar 1 jam sebelum
keberangkatan kereta. Jadilah kami harus menunggu sejenak di luar stasiun. Kami
segera masuk dan menunggu di dalam stasiun setelah pintu dibuka dan segera
mencetak tiket untuk keberangkatan kami yang tinggal sebentar lagi.
EPILOGUE
Tepat pada jadwal keberangkatannya, Kereta Api
Pasundan yang akan membawa kami kembali ke Yogyakarta mulai bergerak ke arah
timur. Setidaknya saat ini perjalanan kami sudah memasuki tahap akhir;
perjalanan untuk kembali pulang. Kami hanya tinggal duduk dan menikmati
indahnya pemandangan Bhumi Parahyangan yang kali ini terihat jelas dari jendela.
Jam demi jam berlalu seiring dengan semakin dekatnya perjalanan kami dengan
Stasiun Lempuyangan di Yogyakarta.
Perjalanan Pulang dengan Pasundan
Syukur Alhamduillah
sekitar pukul 14.30 WIB kami sudah tiba kembali di tanah Ngayogyakarta
Hadiningrat. Yah, perjalanan kami telah usai begitu kami menginjakkan kedua
kaki di peron Stasiun Lempuyangan. Akhir perjalanan yang indah karena tujuan
utama dari sebuah perjalanan ialah ketika semuanya bisa kembali pulang dengan
selamat.
Alhamdulillah.. Kembali Pulang dengan Selamat
Kami pun kembali ke
kos masing-masing dengan membawa ingatan akan perjalanan yang tidak akan pernah
terlupakan sampai kapan pun juga. Perjalalanan panjang kami selama 5 hari,
menuju tanah tertinggi di Bhumi Pasundan memang telah usai. Bulan Ramadhan pun
akan segera tiba beberapa hari setelah perjalanan itu berakhir.
Akan tetapi perjalanan di tahun La Nina masihlah belum berakhir….>>>LANJUTAN
Akan tetapi perjalanan di tahun La Nina masihlah belum berakhir….>>>LANJUTAN
Posting Komentar
Posting Komentar