Konten [Tampil]
Sejarah Kerajaan Mataram Islam
Sekitar abad-17 (1577-1681) dahulu, di Tanah Jawa berdiri sebuah kerajaan Islam bernama Mataram. Kerajaan atau juga disebut sebagai Kasultanan Mataram ini pada awalnya merupakan wilahyah Kerajaan Pajang yang dihadiahkan kepada Ki Ageng Pemanahan oleh Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir dengan pusat di Kotagede.
Kasultanan Mataram mulai merdeka pada masa Sutawijaya atau Panembahan Senapati, putra Ki Ageng Pemanahan yang wafat pada tahun 1584. Saat itu penerus Sultan Hadiwijaya yaitu Pangeran Benawa yang merupakan pewaris Kasultanan Pajang menyerahkan tahta kekuasaan Kasultanan Pajang kepada Sutawijaya.
Ki Ageng Pemanahan
Sumber: http://rumahfinia36.blogspot.co.id/2015/05/ki-ageng-pamanahan-dan-cikal-bakal.html
Tahun 1586 Sutawijaya berhasil membangun
Kasultanan Mataram. Saat itu wilayah kekuasaannya meliputi Mataram, Kedu,
hingga Banyumas. Pada saat Sutawijaya meninggal pada tahun 1601, wilayah
Kasultanan Mataram meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur kecuali Blambangan,
Bali, dan Panarukan. Wilayah kekuasaan Kasultanan Mataram juga meliputi pesisir
Laut Jawa seperti Rembang, Demak, Pati, hingga Pekalongan. Kasultanan ini
menganut sistem agraris dalam bidang perekonomiannya dengan hasil pertanian
sebagai komoditas utama.
Sutawijaya / Panembahan Senopati
Masa Kejayaan Kasultanan
Mataram
Kasultanan Mataram
mengalami masa kejayaannya pada masa pemerintahan Raden Mas Rangsang yang naik
tahta dengan nama Sultan Agung Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman. Pusat
Kasultanan Mataram dipindahkan dari Kotagede ke wilayah Karta; 5 kilometer dari
Kotagede pada masa pemerintahan Sultan Agung ini. Wilayah kekuasaan Kasultanan
Mataram pada masa Sultan Agung meliputi Pulau Jawa dan Madura (Sekarang Jawa
Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur). Tahun 1633 beliau juga membuat kalender Jawa-Islam.
Sultan Agung juga memerangi Belanda dengan dua kali mengirim pasukan ke Batavia
yaitu pada tahun 1628 dan 1629, meskipun berakhir dengan kegagalan.
Sultan Agung
Sumber: http://sejarahbudayanusantara.weebly.com/kerajaan-mataram-islam.html
Kemunduran Kasultanan Mataram
Sayangnya setelah Sultan Agung wafat pada tahun
1645, Kasultanan Mataram mulai mengalami kemunduran. Putra Sultan Agung yang
naik tahta setelahnya dengan gelar Amangkurat I kurang bijak dalam
memerintah. Selain memindahkan pusat pemerintahan ke Plered (1647) dan
mengganti gelar “Sultan” menjadi “Sunan” (berasal dari susuhunan atau Yang
Dipertuan), kebijakan yang diambilnya begitu kontroversial di antaranya adalah
menghapus lembaga-lembaga agama dan menjalin kerja sama dengan pihak Belanda
yang merupakan musuh ayahnya.
Amangkurat I
Gaya pemerintahan Amangkurat I tersebut
melahirkan pemberontakan. Pemberontakan terbesar dilakukan oleh Raden Kajoran
yang dibantu oleh Raden Raden Anom; anak Amangkurat I dan Trunonjoyo. Tahun
1677 pemberontakan tersebut berhasil mengepung Plered, sementara Amangkurat I
dan anaknya berhasil melarikan diri untuk meminta bantuan Belanda di Batavia.
Akan tetapi dalam perjalanannya yaitu saat tiba di Tegalarum, Amangkurat I
jatuh sakit dan meninggal sehingga dijuluki Sunan Tegalarum.
Amangkurat II yang menggantikannya segera
melanjutkan perjalanan ke Batavia untuk meminta bantuan Belanda. Amangkurat II
pun mendapat bantuan Belanda untuk menyerang pasukan pemberontak melalui
penandatanganan perjanjian di Jepara yang mana Belanda meminta wilayah pesisir utara Jawa mulai Kerawang sampai ujung timur dan upah berupa uang. Amangkurat II pun berhasil kembali
menduduki tahta Kasultanan Mataram dan pusat pemerintahan lagi-lagi dipindah,
kali ini ke daerah Kartasura (1680) karena keraton yang lama dianggap sudah
tercemar.
Amangkurat II
Kondisi Kasultanan Mataram belumlah pulih.
Setelah Amangkurat II meninggal pada tahun 1703, tahta diteruskan oleh putranya
yaitu Sunan Mas (Amangkurat III). Berbeda dengan ayahnya yang patuh kepada
Belanda, tidak dengan Amangkurat III sehingga Belanda pun mengangkat Paku
Buwana I atau Pangeran Puger. Perang saudara memperebutkan tahta Kasultanan
Mataram mulai meletus saat itu sehingga semakin melemahkan Kasultanan Mataram.
Akhir dari Kasultanan
Mataram
Akhir dari Kasultanan
Mataram terjadi pada tahun 13 Februari 1755 saat pemerintahan Paku Buwana III. Perpecahan
yang terus terjadi dengan campur tangan Belanda membuat ditandatanganinya
sebuah perjanjian yang mengakhiri era Kasultanan Mataram.
Kasultanan Mataram yang Terpecah Belah
Perjanjian ini adalah
Perjanjian Giyanti yang membagi kerajaan Mataram menjadi 2; sebelah timur
Sungai Opak (yang melintasi daerah Prambanan) menjadi kekuasaan penerus tahta
Mataram yaitu Paku Buwana III dengan kedudukan di Surakarta.
Keraton Surakarta
Sedangkan sebelah barat Sungai Opak diberikan
kepada Pangeran Mangkubumi yang naik dengan gelar “Ingkang
Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman
Sayidin Panatagama Khalifatullah” atau Sri Sultan
Hamengku Buwana I dengan kedudukan di Yogyakarta.
Keraton Yogyakarta
Isi Perjanjian Giyanti
adalah sebagai berikut:
Pasal 1
Pangeran Mangkubumi diangkat
sebagai Sultan Hamengku Buwono
Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah di
atas separo dari Kerajaan Mataram, yang diberikan kepada dia dengan hak turun
temurun pada warisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.
Pasal 2
Akan senantiasa diusahakan adanya
kerjasama antara rakyat yang berada dibawah kekuasaan Kumpeni dengan rakyat
Kasultanan.
Pasal 3
Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder)
dan para Bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus
melakukan sumpah setia pada Kumpeni di tangan Gubernur.Intinya seorang patih dari
dua kerajaan harus dikonsultasikan dengan Belanda sebelum kemudian Belanda
menyetujuinya.
Pasal 4
Sri Sultan tidak akan
mengangkat/memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati, sebelum mendapatkan
persetujuan dari Kumpeni. Pokok-pokok pemikirannya itu Sultan tidak memiliki
kuasa penuh terhadap berhenti atau berlanjutnya seorang patih karena segala
keputusan ada di tangan Dewan Hindia Belanda.
Pasal 5
Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang selama dalam
peperangan memihak Kumpeni.
Pasal 6
Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran, yang telah
diserahkan oleh Sri Sunan Paku Buwono II kepada Kumpeni dalam Contract-nya
pada tanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya Kumpeni akan memberi
ganti rugi kepada Sri Sultan 10.000 real tiap tahunnya.
Pasal 7
Sri Sultan akan memberi bantuan pada Sri Sunan Paku Buwono III sewaktu-waktu diperlukan.
Pasal 8
Sri Sultan berjanji akan menjual kepada Kumpeni
bahan-bahan makanan dengan harga tertentu.
Pasal 9
Sultan berjanji akan mentaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara raja-raja Mataram terdahulu dengan Kumpeni, khususnya perjanjian-perjanjian 1705, 1733, 1743, 1746, 1749.
Naskah Perjanjian Giyanti
Monumen Giyanti
Mungkin tidak banyak orang yang tahu akan Monumen
Giyanti; lokasi tempat ditandatanganinya Perjanjian Giyanti yang selain
mengakhiri era Kasultanan Mataram juga sebagai awal berdirinya Surakarta dan
Yogyakarta. Memang sekarang lokasi sebagai tonggak terjadinya momen tersebut
bukanlah tempat yang megah sehingga wajar saja apabila hanya ada sedikit orang
yang tahu, bahkan bagi warga Surakarta atau Karanganyar yang dekat dengan Monumen
Giyanti tersebut.
Monumen Perjanjian Giyanti
Monumen ini hanya
berupa sebuah pohon beringin besar dengan pagar yang mengelilinginya bertuliskan
“Perjanjian Gianti 13-2-1755.” Hanya ada dupa di bawah pohon beringin tersebut.
Tidak ada pula kesan mewah atau mencolok dari monumen ini, bahkan apabila
seseorang melewati jalan desa yang ada di depan monumen, orang tersebut tidak
akan tahu jika di sana terdapat Monumen Giyanti.
Menuju Monumen Giyanti.
Sebenarnya letak Monumen Giyanti tidaklah terlalu jauh
jika ditempuh dari pusat Kota Surakarta, akan tetapi untuk menemukannya akan
cukup sulit terutama bagi yang belum pernah mengunjunginya. Hanya berjarak
sekitar 18 kilometer dari Balai Kota Surakarta dan lama perjalanan sekitar 45
menit saja, perjalanan menuju Monumen Giyanti tentu akan mudah jika tahu
tempatnya.
Jika ingin
mengunjungi Monumen Giyanti, pertama-tama ialah mengambil rute yang sama dengan
rute menuju WADUK LALUNG; yaitu menuju Jalan Raya Solo-Tawangmangu. Rinciannya
sebagai berikut:
- Rute yang harus diambil adalah melalui daerah Palur yang juga merupakan jalur utama menuju Jawa Timur.
- Sesampainya di fly over Palur, ambil rute melewati fly over tersebut ke arah timur yang mana jika belok kiri atau utara adalah jalur utama menuju Jawa Timur.
- Ikuti terus Jalan Raya Solo-Tawangmangu tersebut hingga sampai Kota Karanganyar.
- Sesampainya di Kota Karanganyar, tetap ikuti jalan utama tersebut hingga nanti sampai Taman Pancasila di kanan (selatan) jalan.
Peta I
- Terus melaju ke arah timur melalui Jalan RM. Said dan Jalan Matesih, tetap melaju ke arah timur memasuki Jalan Alternatif Matesih; bukan lagi Jalan Utama Solo-Tawangmangu.
- Perjalanan dilanjtkan dengan memasuki Jalan Karanganyar-Matesih, menuju arah selatan. Rute cukup membingungkan dari sini sehingga bantuan dari Goole Map akan sangat berguna. Akan tetapi tujuan utama bukanlah Monumen Giyanti karena tidak ada tempat tersebut di Google Map. Lokasi yang harus dicari adalah Masjid Al Irsyad di Jantiharjo, Karanganyar. Monumen Giyanti tepat di samping Masjid Al Irsyad tersebut.
Peta II
Referensi:
Daliman, a. Islamisasi dan perkembangan kerajaan-kerajaan islam di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit ombak, 2012
Harun, M. Yahya. Kerajaan Islam Nusantara abad XVI dan XVII. Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995
Muljana, Slamet. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2007
Yusuf, Mundzirin, dkk. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Yogyakarta: Kelompok Penerbit Pinus, 2007
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010
Prof. a. Daliman, Islamisasi dan perkembangan kerajaan-kerajaan islam di Indonesia.( Yogyakarta: Penerbit ombak, 2012), hlm.176-180
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara abad XVI dan XVII. (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), hlm. 23-24
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hlm. 70
Prof. dr. Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2007), hlm. 226
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara, hlm. 24-15
Mundzirin Yusuf, dkk, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. (Yogyakarta: Kelompok Penerbit Pinus, 2007), hlm.85-87
Prof. a. daliman, Islamisasi, hlm. 188-189
Prof. dr. slamet muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa, hlm. 226
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, hlm. 74-75
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara, hlm. 30-31
Prof. a. Daliman, Islamisasi, hlm. 190
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara, hlm. 30-31
Prof. a. Daliman, Islamisasi, hlm. 191-192
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara, hlm. 28-29
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, hlm. 77-80
Mundzirin Yusuf, dkk, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, hlm. 85-87
Posting Komentar
Posting Komentar