Konten [Tampil]
Sehubungan dengan kunjungan ES (Entry Strater) ke
daerah Banyumas – Purbalingga – Purwokerto seminggu yang lalu, maka saya
memutuskan untuk sedikit berbagi pengetahuan. Salah satu tempat yang saya
kunjungi kemarin adalah Baturraden yang mana sudah cukup terkenal di telinga
para travelista Tanah Air.
Lokasi Baturraden:
Baturraden adalah salah simbol dari kabupaten Banyumas, Jawa tengah. Letak tempat ini berada di 7,313646°LS 109,229765°BT, lereng gunung Slamet yang merupakan gunung tertinggi di Jawa Tengah, utara dari kota Purwokerto. Tempat ini sudah sangat terkenal akan keindahan alamnya bagi masyarakat Indonesia. Tempat ini menyajikan panorama – panorama yang indah seperti telaga sunyi, pancuran pitu. Suasana di tempat ini juga sangat nyaman dengan udara sejuk khas pegunungan.
Baturraden:
Versi I
Suta
adalah seorang abdi kadipaten yang baik hati. Pekerjaannya sebagai abdi adalah
mengerjakan pekerjaan kasar di kadipaten. Selain itu Suta juga bertugas menjaga
keamanan wilayah kadipaten dari orang-orang jahat. Pada suatu hari Suta sedang
berjalan-jalan memeriksa sudut-sudut wilayah kadipaten, kemudian dia mendengar
suara perempuan sedang menjerit-jerit ketakutan. Suta segera bergegas berlari
ke arah sumber suara. Setelah mencari sumber suara tersebut Suta berhenti di
sebuah pohon yang besar. Di salah satu dahan pohon ternyata ada seekor ular
besar dan didekatnya ada putri adipati yang ketakutan melihat ular tersebut.
Sebenarnya
Suta juga merasa takut melihat ular sebesar itu. Namun karena kesetiaannya
mengabdikan diri pada adipati Suta berusaha menyingkirkan rasa takutnya. Suta
berusaha menolong putri adipati. Kemudian Suta mengambil sebatang kayu besar
dan di pukulkan kearah ulat besar itu. Setelah di pukul beberapa kali akhirnya
ular itu roboh ke tanah dan tidak bergerak lagi. Ular itu mati di tangan Suta.
Melihat kejadian itu putri adipati merasa senang dan mengucapkan banyak terima
kasih pada Suta yang telah menolongnya. Keberanian Suta membuat putri adipati
menjadi kagum dan menyukainya.
Setelah
kejadian itu mereka menjadi akrab dan sering bertemu. Dari seringnya mereka
bertemu telah menumbuhkan bibit cinta di antar keduanya. Mereka saling
mencintai walaupun perbedaan derajat kala itu tidak membolehkan seorang abdi
mencintai putri. Kanjeng adipati yang mendengar berita bahwa putrinya menyukai
Suta menjadi murka. Adipati merasa malu jika putri yang di sayanginya menikah
dengan seorang abdi kadipaten yang miskin. Adipati lalu memerintahkan putrinya
untuk menjauhi Suta dan tidak boleh ada hubungan di antar keduanya.
Putri
adipati menjadi sedih karena dilarang bertemu dengan Suta. Setelah itu tersiar
kabar yang lebih memprihatinkan. Dari seorang abdi kepercayaan putri mendengar
bahwa Suta di masukkan dalam penjara bawah tanah oleh kanjeng adipati. Tidak
hanya itu, selama di penjara Suta tidak di beri makan dan minum. Penjara itu
sendiri di genangi air sehingga membuat Suat demam tinggi karena dinginnya
genangan air tersebut. Mendengar berita itu putri adipati tidak tahan lagi. Dia
berusaha untuk menolong Suta karena bukan hanya karena putri mencintainya namun
ketika dulu putri pernah berhutang nyawa pada Suta saat dirinya di selamatkan
Suta dari ular besar.
Putri
Adipati lalu menemui abdi kepercayaan dan memaksanya untuk mengeluarkan Suta
dari dalam penjara bawah tanah. Abdi kepercayaan itu lalu menyusup ke dalam
penjara dan bertemu Suta yang sedang terserang demam tinggi. Lalu abdi
kepercayaan membawa Suta keluar dari penjara tersebut secara diam-diam. Dia
mengatakan bahwa putri adipati yang telah menolongnya dan saat ini putri sedang
menunggu di halaman kadipaten. Setelah berhasil keluar dari penjara, putri dan
Suta melarikan diri keluar kadipaten. Mereka lalu menikah dan tinggal di sebuah
desa kecil. Kini desa itu disebut desa Baturaden asal kata dari Batur yang
artinya abdi dan keturunan raden yang menunjukkan keturunan adipati.
Suta
adalah seorang abdi kadipaten yang baik hati. Pekerjaannya sebagai abdi adalah
mengerjakan pekerjaan kasar di kadipaten. Selain itu Suta juga bertugas menjaga
keamanan wilayah kadipaten dari orang-orang jahat. Pada suatu hari Suta sedang
berjalan-jalan memeriksa sudut-sudut wilayah kadipaten, kemudian dia mendengar
suara perempuan sedang menjerit-jerit ketakutan. Suta segera bergegas berlari
ke arah sumber suara. Setelah mencari sumber suara tersebut Suta berhenti di
sebuah pohon yang besar. Di salah satu dahan pohon ternyata ada seekor ular
besar dan didekatnya ada putri adipati yang ketakutan melihat ular tersebut.
Sebenarnya
Suta juga merasa takut melihat ular sebesar itu. Namun karena kesetiaannya
mengabdikan diri pada adipati Suta berusaha menyingkirkan rasa takutnya. Suta
berusaha menolong putri adipati. Kemudian Suta mengambil sebatang kayu besar
dan di pukulkan kearah ulat besar itu. Setelah di pukul beberapa kali akhirnya
ular itu roboh ke tanah dan tidak bergerak lagi. Ular itu mati di tangan Suta.
Melihat kejadian itu putri adipati merasa senang dan mengucapkan banyak terima
kasih pada Suta yang telah menolongnya. Keberanian Suta membuat putri adipati
menjadi kagum dan menyukainya.
Setelah
kejadian itu mereka menjadi akrab dan sering bertemu. Dari seringnya mereka
bertemu telah menumbuhkan bibit cinta di antar keduanya. Mereka saling
mencintai walaupun perbedaan derajat kala itu tidak membolehkan seorang abdi
mencintai putri. Kanjeng adipati yang mendengar berita bahwa putrinya menyukai
Suta menjadi murka. Adipati merasa malu jika putri yang di sayanginya menikah
dengan seorang abdi kadipaten yang miskin. Adipati lalu memerintahkan putrinya
untuk menjauhi Suta dan tidak boleh ada hubungan di antar keduanya.
Putri
adipati menjadi sedih karena dilarang bertemu dengan Suta. Setelah itu tersiar
kabar yang lebih memprihatinkan. Dari seorang abdi kepercayaan putri mendengar
bahwa Suta di masukkan dalam penjara bawah tanah oleh kanjeng adipati. Tidak
hanya itu, selama di penjara Suta tidak di beri makan dan minum. Penjara itu
sendiri di genangi air sehingga membuat Suat demam tinggi karena dinginnya
genangan air tersebut. Mendengar berita itu putri adipati tidak tahan lagi. Dia
berusaha untuk menolong Suta karena bukan hanya karena putri mencintainya namun
ketika dulu putri pernah berhutang nyawa pada Suta saat dirinya di selamatkan
Suta dari ular besar.
Putri
Adipati lalu menemui abdi kepercayaan dan memaksanya untuk mengeluarkan Suta
dari dalam penjara bawah tanah. Abdi kepercayaan itu lalu menyusup ke dalam
penjara dan bertemu Suta yang sedang terserang demam tinggi. Lalu abdi
kepercayaan membawa Suta keluar dari penjara tersebut secara diam-diam. Dia
mengatakan bahwa putri adipati yang telah menolongnya dan saat ini putri sedang
menunggu di halaman kadipaten. Setelah berhasil keluar dari penjara, putri dan
Suta melarikan diri keluar kadipaten. Mereka lalu menikah dan tinggal di sebuah
desa kecil. Kini desa itu disebut desa Baturaden asal kata dari Batur yang
artinya abdi dan keturunan raden yang menunjukkan keturunan adipati.
Versi II
Syekh Maulana Maghribi:
Meskipun
mereka telah lama menempuh perjalanan penuh dengan berbagai kesulitan dan
penderitaan serta menghadapi bermacam-macam marabahaya, mereka belum mencapai
apa yang menjadi cita-cita atau tujuannya karena cahaya terang misterius
tersebut tampak disebelah barat. Pada suatu waktu terlihat kembali cahaya
terang yang sedang dicarinya itu disebelah barat dan mereka mengambil keputusan
kembali karah barat dengan menempuh jalan di laut Jawa di pantai Pemalang Jawa
Tangah, dimana mereka berlabuh sambil sekedar melepas lelah. Ditempat ini Syekh
Maulana Maghribi meminta para armadanya untuk pulang ke negerinya, sedangkan
Syekh Maulana Maghribi ditemani oleh Haji Datuk dan untuk sementara bermukim
ditempat itu.
Karena
mereka mempunyai kepercayan pada Yang Maha Pencipta, mereka dijiwai oleh
kekuatan Gaib yang tiada kunjung padam dan berketetapan hati akan melanjutkan
perjalanannya dengan jalan kaki menuju kearah Selatan sambil menyebarkan agama
Islam. Dari Pemalang mereka menuju ke selatan menyusuri hutan belantara tanpa
mengenal bahaya yang dihadapinya karena tertarik sinar cahaya misterius yang
sekarang terlihat di Timur Laut. Berhubung jalur yang ditempuhnya itu
meletihkan, maka mereka berhenti sejenak untuk melepaskan lelahnya sambil
termenung merasakan kisah perjalanannya serta kewajibannya yang dibebankan
diatas pundaknya untuk menyebarluaskan agama Islam. Tempat dimana mereka
beristirahat dengan diliputi pikiran-pikiran (gagasan-gagasan) dan
perasaan-perasaan yang memenuhi hati sanubarinya diberi nama ‘Paduraksa’ yang
artinya bertengkar didalam kalbu atau rasa.
Dari tempat
itu mereka meneruskan perjalanannya ke selatan lagi dan sampailah mereka di
hutan belukar dan untuk melepaskan lelahnya mereka singgah diatas tonggak randu
yang tumbang dan tempat tersebut mereka beri nama ‘Randudongkal’. Dari tempat
peristirahatannya itu, cahaya terang masih kelihatan ada di timur laut, dan
mereka meneruskan perjalanannya menuju arah cahaya tadi. Dan sebelum mereka
sampai ketempat yang menjadi tujuannya mereka berhenti untuk beristirahat di
dekat Sendang (kolam) untuk melakukan ibadah Sholat, dan sesudahnya tempat
tersebut diberi nama ‘Belik’. Setelah melakukan Sholat, maka perjalanan diteruskan
kearah timur dan sampailah disuatu tempat, dimana terdapat banyak batu-batuan
dan di tempat tersebut mereka beristirahat lagi sambil memikirkan bagaimana
cara mereka dapat menjangkau tempat kedudukan cahaya yang dicarinya, karena
cahaya terang tersebut terlihat ada dipuncak Gunung. Tempat dimana mereka
beristirahat dan terdapat banyak batu-batuan itu diberi nama ‘Watu Kumpul’.
Karena
tekadnya yang kuat, pendakian itu dilakukan hingga akhirnya sampailah mereka di
tempat yang dituju. Terlihat oleh mereka seorang pertapa yang menyandarkan
dirinya pada sebatang pohon jambu yang mengeluarkan sinar yang bercahaya
menjulang tinggi ke angkasa. Perlahan-lahan Syekh Maulana Maghribi dan Haji
Datuk menuju mendekati tempat tersebut sambil mengucapkan salam ‘Assalamu’alaikum’,
tetapi tidak dijawabnya oleh si petapa meskipun berulangkali diucapkan. Setelah
ternyata salamnya tidak mendapat jawaban, maka Haji Datuk berkata pada Syekh
Maulana Maghribi : ‘Kiranya pertapa itu adalah seorang Budha’. Mendengar
perkataan tersebut, si petapa itu lalu menjawab : ‘Sesungguhnya saya ini adalah
orang Budha yang Sakti’. Mendengar kata-kata sakti maka Syekh Maulana Maghribi
meminta kepada pemeluk agama Budha tadi, bahwa beliau ingin melihat atau
menyaksikan kesaktiannya,maka diambillah tutup kepalanya yang berupa kopiah itu
dapat terbang di angkasa. Syekh Maulana Maghribi tergolong orang yang mempunyai
kesaktian dan didorong oleh rasa ingin mengimbangi kemukjizatan si pertapa itu,
lalu melepaskan bajunya dan dilemparkan keatas, ternyata baju tersebut dapat
terbang di udara dan selalu menutupi kopiah si pertapa yang menandakan bahwa
kesaktiannya lebih unggul dari kesaktian orang Budha itu,tetapi ia belum mau
menyerah dan masih akan mempertontonkan lagi kepandaiannya yang berujud menyusun
telur setinggi langit. Melihat keadaan tersebut diatas Syekh Maulana Maghribi
merasa heran, namun demikian ia tidak mau dikalahkan begitu saja, maka dengan
tenangnya diperintahkan kepada si pertapa agar ia mau mengambil telur itu satu
persatu dari bawah tanpa ada yang jatuh. Ternyata pertapa itu tidak sanggup
melakukannya. Karena si pertapa sudah benar-benar tidak melakukannya hal
tersebut, maka Syekh Maulana Maghribi mengambil tumpukan telur tadi dimulai
dari bawah sampai selesai dengan tidak ada satupun yang jatuh.
Syekh
Maulana Maghribi masih merasa belum puas dan masih meneruskan perjuangannya
sekali lagi dengan memperlihatkan pemupukan periuk-periuk berisi air sampai
menjulng tinggi. Lalu, Syekh Maulana Maghribi berkata : ‘Ambillah periuk-periuk
itu satu demi satu dari bawah tanpa ada yang berjatuhan’. Setelah ternyata
tidak ada kesanggupan daari si pertapa, maka beliau sendirilah yang
melakukannya dan periuk yang terakhir itu pecah dan airnya memancar kesegala
penjuru.
Akhirnya si
pertapa yang mengaku bernama ‘Jambu Karang’ (nama tersebut berasal dari pohon
sandarannya, yaitu sebatang pohon jambu dimana disekelilingnya terdapat
batu-batuan) menyerah kalah serta berjanji akan memeluk agama Islam. Janji
tersebut diterima oleh Syekh Maulana Maghribi dan Jambu Karang diperintahkan
untuk memotong rambut dan kukunya dan selnjutnya dikubur di ‘Penungkulan’
(tempat dimana si pertapa menyerah kalah). Kemudian dilakukan upacara penyucian
dengan air zam-zam yng dibawa oleh Haji Datuk dari Tanah Suci atas perintah Syekh
Maulana Maghribi dengan mempergunakan tempat dari bambu (bumbung). Setelah
upacara penyucian selesai, bumbung berisikan sisa air disandarkan pada pohon
waru, tetap karena kurang cermat menyandarkannya maka robohlah bumbung tadi dan
pecah sehingga air sisa tersebut berhamburan dan di tempat tersebut konon
kabarnya menjadi mata air yng tidak mengenal kering dimusim kemarau.
Setelah
pertapa disucikan menjadi pemeluk agama Islam, maka namanya diubah menjadi
‘Syekh Jambu Karang’. KemudianSyekh Jambu Karang akan mendapatkan wejangan
(bai’at), beliau menunjukkan suatu tempat yang serasi dan cocok untuk upacara
bai’at tersebut yaitu diatas bukit ‘Kraton’. Sesaat setelah Syekh Jambu Karang
menerima wejangan, turun hujan lebat disertai dengan angin ribut yang mengakibatkan
pohon-pohon disekeliling tempat itu menundukkan dahan-dahannya seperti sedang
menghormati Gunung Kraton yaitu tempat dimana Syekh Maulana Maghribi sedang
memberikan wejangan (membai’at) Syekh Jambu Karang menjadi seorang Muslim.
Menurut hikayatnya, Syekh Jambu Karang mempunyai seorang putri bernama ‘Rubiah
Bhakti’ yang dipersunting oleh Syekh Maulana Maghribi, setelah Syekh Jambu
Karang menjadi seorang Muslim dengan mas kawin berupa mas merah setanah Jawa.
Setelah memperistrikan putri Syekh Jambu Karang, Syekh Maulana Maghribi
berganti nama menjadi ‘Atas Angin’. Dari perkawinannya tersebut menurunkan lima
orang putera dan puteri, yaitu :
1. Makdum
Kusen (Makam di Rajawana)
2. Makdum
Medem (Makam di Cirebon)
3. Makdum
Umar (Makam diKarimun Jawa)
4. Makdum
(yang menghilang atau murca)
5. Makdum
Sekar (Makam di Gunung Jembangan)
Adapun Syekh
Jambu Karang tetap bermukim di Gunung Kraton, dan setelah wafat dimakamkan
ditempat itu pula dan tempat pemakamannya disebut ‘Gunung Munggul’ (puncak yang
tertinggi didaerah itu).
Syekh
Maulana Maghribi yang terkenal dengan ‘Mbah Atas Angin’ selama empat puluh lima
tahun bermukim disuatu tempat atau pedukuhan yang bernama ‘Banjar Cahayana’
(mungkin tempat tersebut didiami setelah menemukan cahayanya). Di tempat
tersebut Mbah Atas Angin menderita penyakit gatal-gatal yang susah disembuhkan.
Hal ini menimbulkan keprihatinan disertai dengan permohonan kepada Tuhan Yang
Maha Esa supaya diberi rahmat serta berkah terhindar dari penyakitnya itu.
Sesudah
sholat Tahajud.dia mendapat Ilham bahwa dia harus pergi ke Gunung ‘Gora’ dimana
ia akan mendapatkan obat mujarab untuk menyembuhkan penyakitnya itu. Kemudian
pagi-pagi waktu Shubuh Mbah Atas Angin bersama Haji Datuk pergi kearah barat
dan pada siang hari sampailah mereka dilereng Gunung Gora. Sesudah sampai di
lereng Gunung Gora beliau meminta Haji Datuk untuk meninggalkannya dan
beristirahat sambil menunggu di tempat yang datar, sebab Mbah Atas Angin akan
meneruskan perjalanannya kearah suatu tempat yang mengepulkan asap. Ternyata
disitu ada sumber air panas dan Syekh Maulana Maghribi menyebutnya ‘Pancuran
Pitu’ yang artinya sebuah sumber air panas yang mempunyai tujuh mata air.
Setiap hari Syekh Maulana Maghribi mandi secara teratur di tempat itu, dengan
begitu dia sembuh dari penyakit gatalnya. Sesudahnya beliau memanjatkan do’a
syukur kehadirat Illahi serta mengucap syukur bahwasanya ia telah dikaruniai
sembuh dari sakitnya yang telah sangat lama dideritanya. Setelah ia kembali
ketempat dimana Haji Datuk menunggu, ia berkata : Saksikanlah, saya sekarang
telah sembuh dari sakitku dan telah terhindar dari penderitaan.
Selanjutnya
Dia mengganti nama Gunung Gora itu menjadi ‘Gunung Slamet’. Slamet dalam bahasa
Jawa berarti aman. Selama Syekh Maulana Maghribi berobat di Pancuran Pitu, Haji
Datuk tetap dan taat menunggu ditempat yang ditunjuk semula dan kepadanya
diberi julukan ‘Haji Datuk Rusuladi’. Rusuladi artinya ‘Batur Yang Baik’ (Adi).
Dan konon kabarnya tempat tersebut oleh penduduk sekitarnya hingga kini disebut
dengan ‘BATURRADEN’.
Syeh Maulana
Maghribi adalah penyebar agam islam yang secara kebetulan beliau juga seorang
pangeran dari negeri Rum-Turki. Suatu hari saat fajar menyingsing setelah
melaksanakan sholat subuh, Syeh Maulana melihat cahaya misterus yang menjulang
tinggi di angkasa. Sang Pangeran ingin mengetahui dari mana arah mana cahaya
misterius itu datang dan apa arti phenomena itu. Kemudian beliau memutuskan
untuk menyelidikinya dengan ditemani pengikutnya yang sangat setia yang bernama
Haji Datuk serta ratusan pengawal kerajaan. Mereka berlayar menuju arah cahaya
misterius. Setelah kapal yang ditumpanginya sampai di pantai Gresik-Jawa Timur,
tiba¬tiba cahaya tersebut muncul disebelah barat dan pangeran beserta pengawal
kerajaan pergi berlayar kearah barat dan sampailah di pantai Pemalang Jawa
Tengah. Disini. Syeh Maulana menyuruh hulu balangnya untuk pulang ke Turki.
Sementara beliau melanjutkan perjalanannya dengan ditemani Haji Datuk dengan
berjalan kaki kearah selatan sambil menyebarkan agama Islam. Ketika melewati
daerah Banjar Cahyana tiba-tiba beliau menderita sakit gatal disekujur
tubuhnya. Penyakit gatalnya sulit disembuhkan. Suatu malam setelah menjalankan
sholat tahajjud, pangeran mendapat ilham bahwa beliau harus pergi ke Gunung
Gora. Setibanya dilereng Gunung Gora, beliau meminta Haji Datuk untuk
meninggalkan
Sendiri dan
menunggu disuatu tempat yang mengeluarkan kepulan asap. Ternyata disitu ada
sumber air panas yang mempunyai tujuh buah pancuran. Syeh Maulana memutuskan
tinggal disini untuk berobat dengan mandi secara teratur di sumber air panas
yang memiliki tujuh buah mata air. Puji syukur kehadirat Allah akhirnya
penyakit yang dideritanya sembuh total. Kemudian Syeh Maulana memberi nama
tempat ini menjadi Pancuran Tujuh. Penduduk sekitar menyebut Syeh Maulana
dengan nama mbah Atas Angin karena datang dari negeri yang jauh. Kemudian Syeh
Maulana Maghribi memberi gelar kepada Haji Datuk dengan sebutan Rusuludi yang
dalam bahasa jawa berarti Batur kang Adi (Abdi yang setia). Kemudian desa itu dikenal
dengan sebutan Baturadi yang lama kelamaan menjadi Baturaden yang dalam
penulisannya menggunakan satu "R" yaitu: BATURADEN. Karena Syeh
Maulana mendapat kesembuhan penyakit gatal dan keselamatan di lereng Gunung
Gora maka beliau mengganti nama menjadi Gunung Slamet.
Baturraden:
Posting Komentar
Posting Komentar