Konten [Tampil]
PROLOGUE
Entah mengapa di tahun 2013 ini Semeru menjadi gunung
yang begitu akrab denganku. Dua kali aku menginjakkan kaki puncak tertinggi
pulau Jawa ini yang mana kebanyakan pendaki yang lain hanya satu kali dalam
setahun. Tak bisa dipungkiri hal ini karena kegagalanku untuk merencanakan
pendakian ke Rinjani karena tidak adanya orang yang bisa aku ajak ke sana,
jadilah aku alihkan ke Semeru saja.
Usai perjalananku yang kedua pada awal September yang
lalu, entah mengapa aku ingin kembali lagi tentunya dengan serta mengajak teman
– temanku. Hal itu disebabkan karena pada pendakian tahun lalu dan September
lalu aku memang berhasil ke puncak, tapi bisa dibilang aku berhasil tanpa teman
yang benar – benar sudah kukenal sehingga aku merasa kesepian saat tiba di
puncak. Jadilah aku segera mencari teman dan menentukan tanggal keberangkatan
yang pas.
Semeru:
Singkat cerita akhirnya pada hari Jumat tanggal 11
Oktober 2013 aku bersama teman – temanku berangkat menuju Mahameru, walaupun pada persiapannya aku mengalami
berbagai hambatan untuk mewujudkannya namun akhirnya terbentuklah tim pendakian
yang terdiri dari:
Ane:
Rivan:
Maisun:
Arif:
Ina:
Junta:
Perjalanan diawali dari Gelanggang Mahasiswa UGM
sekitar jam 7 malam di mana kami semua berkumpul untuk selanjutnya menuju
terminal bus Giwangan. Beruntung karena orang tua dari Ina bersedia untuk
mengantarkan kami dengan menggunakan mobil sampai terminal sehingga kami tidak
perlu menitipkan motor di sana, makasih Ina.
Sesampainya di terminal kami masih harus menunggu satu teman kami lagi yaitu temanku Arif karena ia langsung menuju terminal, setelah sempat bingung saling mencari akhirnya kami semua bertemu, maka lengkaplah tim pendakian menuju Mahameru yang terdiri dari 6 orang. Tidak menunggu lama kami langsung naik bus Sumber Selamat yang memang berhenti di depan kami untuk selanjutnya menuju stasiun Solo Jebres, Solo.
At Giwangan:
At Sumber Selamat:
Di dalam bus kami berenam duduk di bangku paling
belakang sementara tas – tas kami diletakkan di atas kursi belakang. Perjalanan
berlangsung lancar secara keseluruhan, namun ada satu hal yang membuat kami
merasa jijik yaitu sebuah hal cukup gila yang dilakukan kernet bus, karena ia
meludah dan membuang ingus tepat di depan pintu belakang (depan kami) tanpa
rasa berdosa. Hoekkk, bahkan Rivan sampai tidak sanggup melihatnya.
Sekitar pukul 22.00 WIB bus Sumber Selamat yang kami
tumpangi tiba di terminal Tirtonadi, Solo. Yah walaupun orang Solo namun
pengalaman naik bus yang minim membuatku mengajak teman – teman untuk
berjalanan kaki menuju stasiun Solo Jebres, padahal sebenarnya bus Sumber
Selamat yang kami naiki tadi berhenti di perempatan hotel Asia, Jebres sehingga bisa lebih dekat. Perjalanan menuju stasiun Solo Jebres tetap kami lakukan
dengan menyusuri rel kereta api dari palang stasiun Balapan sambil tentunya
berhati – hati jika ada kereta yang lewat. Beruntung kami melaluinya dengan
lancar dan tiba di stasiun Solo Jebres sekitar pukul 22.45 WIB.
Tirtonadi - Solojebres:
Solojebres:
Solojebres:
Solojebres:
Setibanya di stasiun kami langsung beristirahat
melepas lelah terutama setelah berjalan dari terminal Tirtonadi tadi sembari
menunggu kedatangan KA Matarmaja yang akan membawa kami ke Malang nanti. Apa
mau dikata ternyata kedatangan KA Matarmaja mengalami keterlambatan dan baru
berangkat pada pukul 01.00 WIB padahal jadwal keberangkatan yang tercantum di
tiket adalah pukul 00.12 WIB.
Suasana di dalam kereta cukup ramai, namanya juga KA
ekonomi sehingga untuk bisa tidur saja cukup sulit. Hal tersebut disebabkan
terutama adalah karena banyaknya pedagang yang berlalu – lalang sambil
mempromosikan dagangannya seperti pecel dan kawan - kawannya dengan suara yang
cukup untuk membangunkan orang yang sedang berusaha tidur. Terlebih lagi kursi
KA kelas ekonomi tentu saja tidak senyaman kasur di rumah atau kursi di kelas
bisnis / eksekutif sehingga untuk duduk saja tidaklah nyaman. Tetapi inilah
asyiknya, dengan naik KA kelas ekonomi menjadikan kami semua merasakan
bagaimana rasanya masyarakat yang sering menggunakan KA kelas ekonomi, semoga
rasa pengertian kami akan sesama juga akan meningkat.
MALANG - RANU PANI
Malang:
Keterlambatan kedatangan KA Matarmaja membuat perjalanan
menjadi lambat, karena kereta kami harus mengalah dengan kereta lain yang
kelasnya lebih tinggi (bisnis / eksekutif) sehingga sering berhenti di stasiun
cukup lama. Bahkan saat matahari mulai muncul kereta baru tiba di Kabupaten
Blitar, walaupun begitu akhirnya kami tiba di stasiun Malang sekitar pukul
08.00 WIB, terlambat sekitar satu jam dari jadwal sebenarnya.
Angkot:
Tak ingin membuang waktu, kami segera mencari angkot
carteran untuk menuju Tumpang agar tidak berangkat terlalu siang atau yang
paling buruk adalah kehabisan kuota pendakian. Angkot kami langsung meluncur
menuju pasar Tumpang, tepatnya ialah di base camp pak Rus tempat di mana para
pendaki Mahameru transit. Begitu kami tiba di Tumpang truck yang akan membawa
pendaki sudah bersiap untuk berangkat sehingga kami tidak berlama – lama, usai
mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan seperti foto copy KTP dan surat
keterangan sehat kami segera berangkat.
Truck:
Panorama:
Perjalanan dengan menggunakan truck terasa berbeda
karena untuk saat itu perjalanan hanya sampai pertigaan Jemplang (pertigaan
menuju Bromo / Ranu Pani) sebab jalan sedang diperbaiki. Oleh karena itu kami
harus berjalan kaki cukup jauh melalui jalan yang sedang diperbaiki tersebut
sampai ke sisi satunya kemudian melanjutkan perjalanan ke Ranu Pani dengan
menggunakan ojek. Pemandangan berupa lembah dan bukit Teletubies senantiasa menemani kami selama berjalan menuju
Ranu Pani. Perjalanan dengan menggunakan ojek bisa dibilang mendebarkan karena
bagaikan naik roller coaster.
Pertigaan Jemplang:
Pertigaan Jemplang:
Perbaikan jalan:
Perbaikan jalan:
Perbaikan Jalan:
Perbaikan Jalan:
Lembah Bromo:
Ngojek:
Sekitar pukul 13.00 WIB kami tiba di Ranu Pani, cukup
lelah juga. Kembali kami tidak membuang waktu lagi. Langsung saja kami segera
melakukan pendaftaran dan juga packing ulang agar tidak ada yang ketinggalan,
tidak lupa barang – barang yang sekiranya tidak dipergunakan saat pendakian
nanti semacam sabun dan baju ganti kami titipkan di kantor TNBTS. Banyaknya
pendaki yang mengantre membuat kami membutuhkan waktu satu jam lebih untuk
berangkat.
Ranu Pani:
Ranu Pani:
PERJALANAN DIMULAI
Perjalanan menuju Puncak Abadi para Dewa pun dimulai.
Rencana kami adalah berkemah di Ranu Kumbolo dahulu pada malam hari. Menuju
Ranu Kumbolo kami harus melalui beberapa pos terlebih dahulu yaitu Lendengan
Dowo, Watu Rejeng, kemudian Ranu Kumbolo. Total jarak antara masing – masing
pos yaitu 3 km menuju Lendengan Dowo, 3 km dari Lendengan Dowo menuju Watu
Rejeng, dan 4, 5 km dari Watu Rejeng menuju Ranu Kumbolo, jika ditotal jarak
keseluruhan adalah 10, 5 km. Jarak yang jauh bukan, tapi jelas aku tidak akan
mengatakan hal itu kepada teman – teman terutama kepada Maisun dan Ina karena
jika aku mengatakan bahwa jaraknya jauh tentunya itu akan menurunkan semangat
mereka.
Gerbang pendakian:
Lendengan Dowo:
View:
View:
Watu Rejeng:
Perjalanan hingga ke Ranu Kumbolo walaupun jauh namun
bisa dibilang tidak terlalu menanjak, memang ada beberapa tanjakan yang cukup
tinggi seperti setelah shelter 3. Menuju Ranu Kumbolo kami membutuhkan waktu
kurang lebih 6 jam. Selama perjalanan jelas kami berharap dan berdoa agar tidak
ada rintangan apapun, namun ternyata Allah SWT berkehendak lain. Salah satu
teman kami yaitu Arif mengalami cedera, engkel kakinya kesleo stelah
terjerembab pada lubang di sekitar Ranu Kumbolo. Beruntung saat itu kami sudah
dekat dengan area camp ground sehingga kami dapat segera makan dan
beristirahat.
Malam pun kami lalui di Ranu Kumbolo. Kami segera
tidur supaya perjalanan di keesokan hari dapat kami lalui dengan fit.
Pengalamanku mendaki tahun lalu membuat persiapan untuk menghadapi dingin Ranu
Kumbolo kami lakukan dengan maksimal, namun pada malam itu suhu udara di Ranu
Kumbolo tidaklah terlalu dingin sehingga aku sendiri sempat heran, mungkin ini
menandakan bahwa musim penghujan akan segera tiba.
RANU KUMBOLO
Perlahan pagi mulai tiba. Jelas matahari terbit
di Ranu Kumbolo adalah sesuatu yang paling dinantikan oleh pendaki yang
berkemah di Ranu Kumbolo, namun sepertinya kali ini kami semua harus bersabar
untuk tidak menyaksikannya dahulu. Kabut tebal seakan enggan untuk beranjak
sehingga mengahalangi pemandangan matahari terbit di Ranu Kumbolo. Hal itu
sebenarnya bukan suatu masalah dan kekecewaan untukku karena tahun lalu aku
sudah menyaksikan pemandangan “pecahan surga” itu. Kali ini untuk mengabadikan
momen matahari terbit itu aku harus naik terlebih dahulu ke puncak bukit untuk
mengambil foto.
Sunrise:
Lautan Kabut:
Ranu Kumbolo:
Ranu Kumbolo:
Kami tak membuang waktu lagi untuk segera bersiap –
siap karena memang pemandangan hanya berupa kabut, segera saja kami segera
membuat sarapan pagi untuk mengisi perut. Sebenarnya aku mengajak cewek – cewek
adalah supaya mereka membuat masakan untuk kami, yah tapi apa daya karena
ternyata mereka berdua berjiwa “kebo” yaitu susah sekali dibangunkan dan pada
akhirnya aku sendiri bersama teman - teman cowoklah yang membuat makanan. Menu pagi
itu adalah kornet sapi goreng dicampur dengan sarden, walaupun jadinya terlalu
eneg karena kebanyakan sarden.
Iki ki opo ??:
Usai makan kabut mulai menghilang, namun tetap saja
momen matahari terbit sudah lewat karena matahari sudah semakin tinggi. Selain
persiapan berupa mengisi ulang air di Ranu Kumbolo dan juga mengemasi barang,
tidak lupa kami juga berfoto dengan latar Ranu Kumbolo. Karena tidak ingin
kesiangan akhirnya kamipun berangkat, melewati tanjakan cinta yang sudah
menjulang tinggi di depan kami.
Pose Dulu:
Tanjakan Cinta:
Bicara mengenai tanjakan cinta tentu saja tidak pernah
lepas dari mitosnya yang sudah melegenda di telinga para pendaki terutama di
Indonesia. Mitos yaitu apabila pendaki yang mendaki tanjakan cinta sambil terus
memikirkan seseorang tanpa menoleh ke belakang, maka di masa depan dialah yang
akan menjadi jodoh. Hmm.. Tentunya aku tidak sepenuhnya mempercayainya begitu
saja, namun bukan berarti ak tidak mencobanya. Aku tetap mendaki tanjakan itu
dengan membayangkan seseorang berinisial “NP” sambil tentunya berdoa kepada
Allah SWT agar diberi jalan terbaik mendapatkannya.. Aamiin Ya Robbal Aalamiin
Rute selanjutnya adalah padang rumput yang luas
bernama oro – oro ombo. Tempat ini jika diberi dinosaurus akan mirip dengan Jurasic
Park. Perjalanan kami yang diadakan pada akhir musim kemarau tentu saja yang
kamu temui adalah hamparan rumput dan lavender yang kering. Kondisi medan di oro – oro ombo cenderung
datar sehingga kami tanpa kesulitan melaluinya sehingga tak lama setelah itu
kami tiba di Cemoro Kandang.
O O O Pose:
O O O Pose:
Setibanya di Cemoro Kandang kami langsung disambut
dengan lapak pedagang yang menjual berbagai makanan ringan dan minuman, hmm
tentu saja hal tersebut membuat suasana tidak lagi natural. Cemoro Kandang
adalah tempat berupa hutan cemara, kondisi jalan menanjak, namun tidak terlalu
sehingga bigiku sendiri masih cukup mudah. Lagi – lagi sebuah hal yang tidak
kami inginkan terjadi, salah satu anggota tim pendakian yaitu Arif tidak
sanggup untuk meneruskan perjalanan karena cederanya bisa dibilang cukup parah
sehingga harus berhenti. Cukup bingung juga bagiku sendiri selaku ketua tim
karena di samping aku harus terus mendampingi tim menuju puncak, akupun juga
tidak boleh untuk meninggalkan salah satu temanku begitu saja. Beruntung karena
pada saat itu ada porter yang lewat dan ia menyarankan agar Arif bersama dia
untuk memulihkan kondisi kakinya sehingga pada akhirnya aku memasrahkan ia
kepada porter tersebut dan aku langsung berlari menyusul rombongan yang aku
suruh berjalan duluan. Yeah, maybe next time friend.
Cemoro Kandang:
Lapak gan:
Lapak Lagi:
Perjalanan berlanjut. Walaupun perjalanan tidak begitu
menanjak namun tetap saja terasa melelahkan, terutama bagi para cewek yang
memerlukan banyak istirahat. Tak apalah, toh pada akhirnya kami semua tetap
dapat sampai di pos selanjutnya, Jambangan.
Jambangan:
Pose @ Jambangan:
Lanjuuut:
Sesampainya di Jambangan kami berhenti sejenak untuk
berfoto sambil menyaksikan keagungan sang Mahameru yang menjulang tinggi di
depan kami. Ya, sebuah bukit pasir yang berdiri gagah sangat tinggi, ia
sesekali menyemburkan asap putih dari puncaknya. Banyak terdapat bunga
Edelweiss yang mekar di tempat ini sehingga menambah ketakjuban kami akan
tempat ini. Kami terus berjalan, dari Jambangan jalan terus menurun menuju pos
selanjutnya yang tidak begitu jauh bernama Kalimati sekitar pukul 14.00 WIB.
Sesampainya di Kalimati kami langsung menggelar tenda
dan memasak. Menu untuk siang hari itu adalah mie. Kami tidak memasak nasi
karena selain cukup boros air rencana kami selanjutnya adalah tidur sehingga
tidak membutuhkan asupan energi yang besar. Usai makan kami segera tidur,
sekitar pukul 15.00 WIB dan rencana bangun kembali pada pukul 20.00 WIB untuk
mempersiapkan diri menuju puncak Mahameru.
Kalimati:
Kalimati:
Kalimati:
SUMMIT ATTACK..!!!
Akhirnya tiba juga pukul 20.00 WIB yang mana kami
harus segera bangun dan mempersiapkan diri. Tentu saja persiapan utama yang
kami lakukan adalah mengisi perut dengan makanan dan minuman berenergi banyak
agar fisik kami kuat, apalagi rute ke depan bisa dibilang akan sangat berat. Menu
malam hari itu adalah sop sayur ditambah sosis dengan minumnya adalah berbagai
minuman berenergi yang dicampur menjadi satu seperti susu + coklat + jahe + dan
gula jawa, namun tetap saja yang memasak adalah para kaum laki – laki karena
para cewek baru bangun setelah semuanya jadi.
Perjalanan menuju puncak dimulai setelah kami
pemanasan dengan berlari mengitari tenda sepuluh kali dan berdoa, dari Kalimati
ke arah timur kemudian berbelok turun ke utara. Jalan mulai menanjak usai
turunan tersebut karena kami sudah memasuki aria dome Mahameru, dan bukan tanjakan biasa. Rute khas gunung api yang
menanjak dan berdebu menjadi tempat kami berpijak sehingga masker harus kami
kenakan agar debu tidak masuk ke saluran pernapasan. Perjalanan kami bisa
dibilang cukup cepat karena hanya dengan rentan waktu dua jam kami sudah sampai
di batas vegetasi, dan inilah bagian tersulit dari pendakian Mahameru.
Memasuki batas vegetasi rute mulai berubah, tidak ada
lagi pepohonan di kanan dan kiri kami, serta jalan mulai hanya terdiri dari
pasir dan batuan lepas sehingga membutuhkan tenaga lebih untuk berjalan di
atasnya. Ada satu hal yang menurutku berbeda karena saat itu kalimat “Tiga kali
naik, dua kali turun” tidak berlaku, mungkin karena rombongan kami termasuk
rombongan awal sehingga pasir yang kami pijak masih cukup keras dan tidak
merosot. Perjalanan kami menjelang Mahameru bisa dibilang cukup menguras mental
dan tenaga kami, apalagi angin dingin berhembus cukup kencang sehingga makin
menurunkan kondisi kami, namun perlahan tapi pasti akhirnya kami semua sampai
di Puncak Abadi para Dewa pagi hari sekitar pukul 05.00 WIB.
Mahameru:
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT karena telah
mengizinkan kami untuk menyapa Mahameru, puncak tertinggi di pulau Jawa. Bagiku
juga yang telah diizinkan oleh-Nya untuk kembali berjalan di Mahameru untuk
ketiga kalinya di dalam hidup. Saat di puncak ujian seakan masih tetap setia
menghampiri kami, suhu udara yang dingin semakin dingin karena angin berhembus
kencang saat itu, membuat kami tak berlama – lama di puncak. Tentu saja dengan
kondisi seperti itu kami tidak bisa menikmati pemandangan yang tersuguh di
hadapan kami karena terlalu berkonsentrasi menghadapi dingin, padahal
pemandangan sangat indah saat itu. Di sebelah timur pemandangan berupa
terbitnya sang surya yang memancarkan cahaya oranye dengan hiasan awan – awan
tipis di sekitarnya, sementara di arah – arah lain ukiran menakjubkan dari Yang
Maha Kuasa seakan sulit diucapkan oleh kata – kata. Di sebelah barat bayangan
gunung Semeru terlihat bagaikan piramida hitam raksasa. Subhanallah, sungguh
pemandangan yang sangat langka di dunia ini.
Kawah Jonggring Saloka:
Black Pyramid:
Golden Sunrise:
Pose di Puncak:
Sang Merah - Putih:
Mahameru:
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
EPILOGUE
Perjalanan turun kami lakukan sekaligus dari Kalimati
hingga Ranu Pani tanpa berkemah. Kami berangkat dari Kalimati sekitar pukul
16.30 WIB sore usai tidur yang terlalu lama. Cukup cepat kami sampai kembali di
Ranu Kumbolo yaitu pukul 18.00 WIB, di sana kami bertemu lagi dengan Arif yang
ternyata ditinggal pulang oleh sang porter sehingga ia harus berpetualang
sendiri. Perjalan pun berlanjut kembali, syukurlah kondisi kaki Arif bisa
dibilang sudah cukup baik sehingga perjalanan bisa dilakukan dengan cukup cepat.
Back to Kalimati:
Dan inilah akhir dari petualangan kami berkunjung ke
Puncak Abadi para Dewa, terima kasih Rifan, Maisun, Arif, Ina, dan Junta.
Selamat tinggal Semeru, Lumajang, dan Malang, semua pasti akan selalu terkenang
sepanjang masa..
Back to Tumpang, Prepare to Malang:
Posting Komentar
Posting Komentar