Konten [Tampil]
Jumat,
awal bulan ke enam di tahun 2012. Siang itu aku berniat akan mengadakan
perjalanan menuju puncak Merapi setelah dua minggu sebelumnya aku melakukan
pendakian ke sana terlebih dahulu bersama teman-teman dari Belantara Indonesia,
teman-teman dari Pamekasan serta legenda pendaki Indonesia, Arya Cahya Mulyana
Sugianto. Melalui kisah pendakian itulah aku berhasil membuat penasaran
beberapa teman-temanku untuk mendakinya sehingga mereka mau untuk aku ajak
mendaki Merapi. Dan pada akhirnya aku mendapatkan 3 orang temanku yang bersedia
untuk aku ajak mendaki, mereka adalah dua orang teman kuliahku yaitu Afrizal
dan Baron, dan teman SMA ku, Eros.
(Bersama Arya Cahya Mulyana Sugianto)
(Bersama teman-teman Pamekasan)
Perjalanan
kami dimulai dari kota Yogyakarta jam empat sore dengan menggunakan sepeda
motor menuju base camp Selo melalui kota Boyolali untuk menjemput Eros terlebih
dahulu yang berdomisili di Solo. Usai mengisi perut di kota Boyolali kami
segera melanjutkan perjalanan menuju Selo, ternyata cukup jauh juga perjalanan
menuju ke sana, apalagi ditambah dengan motorku yang mengalami kebocoran ban
membuat perjalanan semakin lama. Alhasil kami sampai di Selo pukul 21.15 WIB,
benar-benar meleset dari jadwal yaitu pukul 19.00 WIB.
Oke,
tanpa membuang-buang waktu lagi kami segera pemanasan sejenak dan kemudian
berangkat menuju puncak Merapi tentunya setelah sebelumnya mendaftar terlebih
dahulu di base camp Selo. Dan perjalanan kami pun dimulai menuju puncak gunung
paling aktif di muka bumi, Merapi.
Menuju Base Camp
Gunung
Merapi berdiri menjulang tinggi di perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan D.I
Yogyakarta dengan ketinggian mencapai 2968 meter di atas permukaan laut. Jalur
pendakian yang populer adalah dari kecamatan Selo, Boyolali. Untuk mencapai
base camp dari Yogyakarta dengan menggunakan kendaraan pribadi bisa melalui dua
arah yaitu Solo atau Magelang.
(base camp Merapi)
Lewat Solo : Dari Jogja ke arah Solo seperti biasanya,
saat sampai di pertigaan Kartasura belok ke arah kiri (Boyolali), sampai di
kota Boyolali cari belokan ke arah kiri (arah barat) yang terdapat plakat
menuju Selo, belokan ini tepatnya setelah melewati pasar Boyolali, setelah
belok ke arah barat akan ada sebuah gapura yang menunjukkan arah Selo, ikuti
jalan itu terus sampai akhirnya tiba di kecamatan Selo. Di kecamatan Selo nanti
ada sebuah pertigaan ke arah kiri yang di sana terdapat plakat “joglo Merapi”,
dari pertigaan belok kiri melalui jalan yang menanjak dan base camp Merapi ada
di kiri jalan.
Lewat Magelang : Dari Jogja ke arah Magelang seperti
biasanya, setelah keluar dari Muntilan dan sebelum masuk kota Magelang, ada
sebuah pertigaan ke arah Timur menuju Ketep. Pertigaan ini tak berplakat
sehingga lebih baik bertanya pada warga di sana. Apabila sudah menemukan
pertigaan itu, belok ke arah Timur, lurus menuruti jalan tersebut. Saat tiba di
Ketep, ambil jalan yang sebelah kanan, dan hampir sama seperti jika dari Solo,
setibanya di Selo, akan ada pertigaan kali ini di kana jalan yang ada plakat
“joglo Merapi”, belok kanan dan base camp Merapi akan ada di kiri jalan.
Menuju base camp Merapi dengan menggunakan kendaraan
umum hanya bisa ditempuh melalui Solo. Menggunakan bus dari Jogja menuju
terminal Tirtonadi, solo oper dengan menggunakan bus jurusan Semarang, sampai
di terminal Boyolali oper lagi dengan bus jurusan Selo, bus ini akan berhenti
di pertigaan yang ada plakat “joglo merapi”. Perjalanan menuju base camp harus
ditempuh dengan jalan kaki melalui jalan menanjak, atau bisa juga naik ojek
apabila membawa uang saku lebih.
(base camp Merapi)
Pendakian
Perjalanan
kami pun dimulai dengan keluar dari base camp melalui jalan aspal yang menanjak
ke arah joglo merapi. Tidak terlalu jauh jalan aspal ini, kamipun tiba di joglo
merapi beberapa menit setelah berjalan. Keadaan joglo ini gelap saat malam,
warung-warung yang biasanya ramai saat siang telah tutup.
Dari joglo merapi jalan menuju puncak ada di sebelah
kirinya, berupa jalan setapak yang menanjak. Pada track awal pendakian kali ini
masih banyak terdapat kebun-kebun penduduk. Jalan yang menanjak membuat kami
membayangkan betapa harus susah payahnya bagi warga untuk setiap harinya
bolak-balik menggarap lahan mereka, bersyukurlah bagi kita yang tidak perlu
melakoni hal tersebut untuk mendapatkan sesuap nasi.
(Joglo Merapi)
Perjalanan
yang sebenarnya dimulai saat kami mulai menemukan sebuah plakat bertuliskan
“Taman Nasional Gunung Merapi”, dari plakat itu medan pendakian sudah berupa
hutan tanpa terlihat lagi perkebunan penduduk. Sebenarnya kami ingin lewat
jalan memutar yaitu jalur kartini yang rutenya tak begitu menanjak, tapi aku
lupa dimana itu belokannya karena memang tidak ada petunjuk apapun, daripada
aku membahayakan teman-temanku dengan resiko nyasar lebih baik aku memutuskan
untuk lewat jalur konvensional walaupun rutenya sangat menanjak.
Rute
menuju Pasar Bubar melalui jalur konvensional terbilang cukup berat. Jalur
terus menanjak dan bahkan saat mencapai batas vegetasi tanjakan semakin
menjadi-jadi. Cukup menguras tenaga dan membuat kaki sakit, beruntung kami
mendaki pada malam hari karena jika kami mendaki pada siang hari pasti akan
sangat menguras cairan tubuh kami sehingga persediaan air bekal juga akan
terkuras.
Menjelang batas vegetasi kondisi medan semakin
terbuka, membuat hembusan angin semakin kencang menerpa kami tanpa penghalang
apapun. Memang kondisi cuaca di malam itu terbilang cukup dingin ditambah
dengan hembusan angin yang cukup keras membuat udara semakin dingin sehingga
kami harus berlindung di balik batu besar saat istirahat agar tidak terkena
masuk angin. Malam itu cuaca cukup cerah, di langit bulan hampir purnama
bersinar cerah dengan latar belakang bintang-bintang yang bertaburan bagaikan
berlian. Di tempat ini juga pemandangan benar-benar sangatlah indah, menghadap
ke arah timur cahaya lampu kota Solo berkelap-kelip serta berwarna-warni,
sementara di arah barat cahaya lampu kota Magelang dan Temanggung menghiasi
kaki gunung Sumbing-Sindoro yang terlihat samar di langit malam, menghadap ke
arah utara saudara tua Merapi, Merbabu tampak diam berdiri menjulang tinggi
berlatar langit malam dengan bintang-bintang di belakangnya. Hanya diam di sini
membuat kami semua takjub akan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.
Memasuki batas vegetasi rute semakin menanjak,
ditambah lagi jalur yang penuh batu membuat kondisi pendakian menjadi semakin
sulit. Mulai dari sini sudah tidak ada lagi tumbuhan, hanya bebatuan berserakan
yang sering kali membuat kami terpeleset. Sempat aku bingung apakah jalur ini
adalah jalur yang benar atau tidak karena pada pendakianku yang sebelumnya aku
tidak melalui jalur ini, ditambah lagi jalur ini berada di sebelah timur laut
puncak sehingga semakin ragu rasanya bagi kami melangkah. Untunglah saat itu
kami bertemu dengan pendaki lain yang menunjukkan jalan menuju puncak sehingga
perjalanan kami pun berlanjut. Jalur yang akan kami lalui di depan berupa
tanjakan yang penuh batu dengan kerikil-kerikil lepas yang akan longsor jika
dipijak, ditambah lagi kabut mulai perlahan-lahan menyelimuti kami sehingga
kolaborasi antara angin dan kabut benar-benar menambah dinginnya malam itu.
Kerlap-kerlip cahaya lampu kota Solo mulai memudar tertutup oleh kabut, jarak
pandang kami pun terbatas, bahkan headlamp yang aku kenakan pun hanya mampu
untuk menerangi jalan beberapa meter di depanku saja, benar-benar suasana yang
mencekam saat itu. Menjelang pasar bubar jalan tidak lagi menanjak dan aku
sendiri sudah ingat dengan jalan tersebut, suasana semakin membaik dengan
hilangnya kabut yang menyelimuti kami sehingga kerlap-kerlip lampu kota Solo
mulai terlihat kembali, sementara di depan kami puncak Merapi tampak berdiri
tegak berlatar langit malam yang cerah, kamipun terus melangkah walau sudah
dalam kondisi mengantuk dan lelah.
(Pasar Bubrah)
(Pasar Bubrah)
Sekitar lima menit kemudian kami tiba di pos terakhir
sebelum puncak yaitu pos pasar bubar. Pasar bubar berada tepat di bawah puncak
Merapi, tempat ini berupa tanah lapang yang luas yang penuh dengan bebatuan
hasil erupsi Merapi. Konon dinamai pasar bubar karena tempat ini diyakini
sebagai pasarnya makhluk halus, para pendaki terkadang mendengar suara seperti
keramaian pasar yang dipercaya berasal dari suara makhluk halus di area ini.
Walau katanya angker kami tidak memikirkannya, kami hanya fokus untuk segera
mendirikan tenda dan istirahat. Cukup susah juga untuk mencari sebuah tempat
yang bagus untuk mendirikan tenda karena banyaknya batu-batu yang berserakan,
bahkan saat kami sudah menemukan tempat yang bagus dan kemudian mendirikan
tenda, di bawah tenda kami masih ada batu yang mengganjal punggung saat kami
tidur, tapi karena sudah terlalu lelah kami tak mempedulikannya. Pokoknya
tidur, waktu menunjukkan pukul 04.00.
(Pagi)
Pagi pun perlahan tiba. Niat kami adalah menyaksikan
matahari terbit dari sebelah timur, namun karena dinginnya udara pagi itu ditambah
dengan kondisi mata yang masih berat, kami pun melewatkan matahari terbit itu,
padahal aku juga sudah menyalakan alarm pukul 05.30, tapi aku matikan saja
karena aku sendiri juga masih ngantuk.
(Puncak)
Pukul 06.30 aku mulai membangunkan teman-teman untuk persiapan
melakukan summit attack atau perjalanan menuju puncak. Cuaca pagi itu sangat
cerah, saat kami keluar kami disambut dengan langit biru yang cerah tanpa awan
sedikitpun, pemandangan dari tempat kami berpijak pun sungguh indah sekali, di
sebelah utara gunung Merbabu tampak berdiri gagah dengan lekuk-lekuk jurangnya
bermandikan cahaya matahari, di sebelah timur gunung Lawu dengan puncaknya yang
memanjang tampak seperti melayang di langit pagi, di sebelah barat dua
bersaudara yaitu gunung Sumbing dan Sindoro tampak berdiri berdampingan dengan
damainya, di ujung barat puncak tertinggi Jawa Tengah yaitu gunung Slamet
terlihat kecil menghiasi ufuk barat, sementara itu di sebelah selatan kami
puncak Merapi sudah berdiri tegak, menunggu kami untuk menggapai puncaknya.
Pagi itu udara cukup dingin walaupun cahaya matahari pagi menyinari kami dengan
hangatnya. Setelah melakukan pemanasan kamipun segera berangkat menuju puncak
gunung paling aktif di Bumi tersebut. Sayang, Eros menolak untuk melakukan
pendakian menuju puncak karena kondisi fisiknya drop, hasilnya hanya aku, Afi,
dan Baron yang melanjutkan perjalanan sementara Eros menunggu di pasar Bubar.
(Slamet, Sindoro, Sumbing)
(Lawu)
( Merbabu)
Summit attack dimulai, rute menuju puncak Merapi cukup
membuat kami kesulitan untuk terus mendaki. Rute awal menuju puncak berupa
pasir dan juga kerikil lepas yang benar-benar sulit untuk didaki, tiga kali
melangkah dua kali terperosok, itulah gambaran betapa sulitnya jalur yang harus
kami lalui, bahkan untuk melaluinya kami harus merangkak, hmm.., aku sempat
berkata dalam hati “Mungkin spiderman pun tak akan bisa mendaki medan seperti
ini.”. Setelah melalui medan berpasir,
rute selanjutnya berupa bebatuan sehingga bisa dibilang berbahaya. Menjelang
puncak pendaki hendaknya tidak berjalan secara berurutan karena batu yang
dipijak pendaki seringkali meluncur ke bawah sehingga berbahaya apabila
berjalan tepat di belakang pendaki di depan. Rute menuju puncak pun semakin
menanjak, seringkali kami harus menggapai bebatuan untuk bisa terus melaju.
(sulitnya mendaki)
(medan pasir bercampur kerikil)
(perjuangan mendaki)
(60 degree)
Setelah sekitar satu jam mendaki dari pasar bubar
kamipun tiba di puncak Merapi, puncak gunung berapi paling aktif di muka Bumi.
Puncak Merapi berupa sebuah limas yang mengelilingi kawah aktif di tengahnya,
hanya ada sedikit tempat untuk berpijak di puncak Merapi sehingga untuk berfoto
saja sulit, sedikit terpeleset saja bisa sangat berbahaya, namun berdiri di
puncak Merapi selalu memiliki ke eksotosannya tersendiri. Pemandangan di puncak
sangatlah menakjubkan, dari sini kami bisa untuk melihat sisi selatan dari
Merapi, yaitu Yogyakarta. Di puncak kami bisa menyaksikan semacam “sungai
aliran lava” yang berada di Kinahrejo. Menyaksikan kawah aktif yang terus
mengeluarkan asap pun rasanya cukup mengerikan juga, terkadang asap belerang
berhembus ke arah kami sering menyebabkan sedikit sesak untuk bernafas, rasanya
sakit di paru-paru.
(kawah aktif)
(Yogyakarta)
(kawah sang Meru Api)
Setelah cukup menikmati pemandangan di puncak, kami
segera turun. Perjalanan turun menuju pasar bubar ternyata tidaklah terlalu
sulit. Saat mencapai medan berpasir perjalanan turun menjadi sangat
menyenangkan, namun hendaknya tetap berhati-hati agar tidak jatuh terguling
karena akan sangat berbahaya apabila sampai jatuh terguling. Sampai di pasar
bubar kami langsung beristirahat, makan dan juga tidur sebentar.
(our tent)
Epiloque
Matahari
semakin meninggi, perlahan-lahan kabut mulai naik menyelimuti puncak Merapi.
Saatnya turun pun tiba, langsung saja kami berkemas, melipat tenda, memasukkan
kembali barang-barang ke dalam tas, hingga mengemas sampah. Setelah semuanya
siap kamipun segera turun. Itulah akhir
dari pendakian kami menuju sang Meru Api. Selamat tinggal Merapi, kelak aku
akan kembali lagi. .
(Selamat tinggal Merapi)
Posting Komentar
Posting Komentar