Konten [Tampil]
Bicara mengenai Kinahrejo, barangkali semua orang di sebagian besar penjuru tanah air sudah tahu. Bagaimana tidak, selain desa ini adalah tempat tinggal sang juru kunci Merapi, erupsi gunung api paling aktif di planet tempat kita berpijak satu tahun silam ini telah membuat desa Kinahrejo berulang kali tayang di layar kaca seluruh Indonesia. Namun sayang, jika pada erupsi sebelumnya desa ini tayang di layar kaca dengan kondisi yang masih baik juga ditambah wawancara dengan mbah Maridjannya, pasca erupsi 2010 yang lalu desa ini muncul lagi ke layar kaca dengan keadaan yang jauh berbeda. Ya, erupsi eksplosiv Merapi yang paling besar sejak 100 tahun terakhir telah menghancurkan desa ini dan juga nyawa sang juru kunci.
Kinahrejo, mungkin kebanyakan mengetahuinya setelah keadaanya porak-poranda diterjang awan panas Merapi. Tapi apakah banyak pula yang sudah mengetahui Kinahrejo sebelum hancur..? Kalau anda dulu pernah ke Kinahrejo sewaktu keadaanya masih baik kemudian kembali lagi berkunjung sekarang, mungkin akan muncul suatu perasaan yang bercampur aduk, seolah tidak percaya bahwa itulah sebenarnya Kinahrejo. Begitu juga dengan saya, karena bagi saya Kinahrejo bukanlah sebuah desa yang biasa, melalui desa ini untuk pertama kali saya melakukan pendakian ke sebuah gunung yang sekaligus membangkitkan semangat outdoor dalam diri saya.
Pertama kali saya menginjakkan kaki di Kinahrejo adalah pada tanggal 12 Mei 2010 beberapa bulan sebelum erupsi Merapi 2010. Pada tanggal itu sebenarnya saya mendapat tugas di kepanitiaan PPSMB UGM (ospek) sebagai PPPK untuk menemani salah satu kelompok panitia yang akan menjalani pelatihan di lereng gunung Merapi. Tidak disangka itu adalah awal kaki saya melangkahkan kaki mendaki sebuah gunung, ya tidak disangka karena saya dan teman-teman PPPK hanya mengira bahwa pelatihan itu hanya diadakan di daerah kaki gunung saja. Hasilnya kami hanya membawa peralatan seadanya saja, sungguh benar-benar payah karena senter saja tidak bawa, di dalam tas hanya ada mantol saja, pokoknya sangat jauh dari strandard wajib pendakian.
Yah, sudah terlanjur dan tidak akan sempat lagi mempersiapkan, kamipun berangkat secara rombongan dengan mengendarai sepeda motor. Malam itu kami tiba di Kinahrejo, keadaan malam itu cukup dingin karena saat itu adalah musim penghujan, secara garis besar keadaanya seperti desa-desa lainnya dengan masih banyaknya pepohonan hijau. Setelah memarkirkan motor di kediaman Mbah Maridjan rombongan rehat sembari mempersiapkan segala sesuatu untuk pendakian nanti. Harapan saya saat itu adalah bisa bertemu dengan sang juru kunci, namun ternyata beliau sedang tidak ada di kediaman, sayapun berharap untuk bisa bertemu lagi di lain kesempatan (Hanya menjadi harapan kosong belaka).
Briefing @Mbah Maridjan's house
Saat akan dimulai pendakianpun tiba. Sebelum berangkat rombongan briefing sekaligus berdoa terlebih dahulu. Tak lama kemudian pendakian dimulai, pendakian menuju Merapi melalui lereng selatan yang sebenarnya mustahil untuk mencapai puncak lewat jalur ini. Dimulailah pendakian pertama saya, walaupun baru yang pertama tapi dalam hati tidak terlintas sekalipun ketakutan akan hal-hal yang tidak diinginkan seperti banyak orang bilang kalau mendaki gunung itu sama dengan menyerempet bahaya.
Yogyakarta Night
Pendakian kali ini hanya melewati 2 pos dengan jarak tempuh selama kurang lebih 4 jam. Pos pendakian di jalur Kinahrejo ini cukup menyimpan aura mistis karena banyak terdapat sesaji yang digunakan untuk ritual tertentu seperti upacara “labuhan” yang cukup terkenal itu. Lewat tengah malam kami tiba di pos 2 Kinahrejo atau dinamakan pos rudal karena di pos tersebut terdapat selongsong rudal bekas perang dunia ke-2 yang akhirnya dijadikan sebah monumen perdamaian, kemudian langsung saja tenda digelar, makan, kemudian tidur.
Pintu masuk pos 2 (Pos Labuhan)
Rudal @pos 2
Pos 2 jalur Kinahrejo
We Are
Yogyakarta
Puncak
Pagi perlahan tiba, ditengah udara yang cukup dingin saya masih bisa menikmati pemandangan dari ketinggian yang sangat cantik. Di sisi selatan tampak pemandangan ke arah Yogyakarta dan juga kawasan Gunung Kidul yang tampak seperti tembok raksasa yang memanjang, sementara di sisi utara tampak puncak Merapi yang terlihat sangat dekat (padahal sebenarnya masih sangat jauh) mengepulkan asap, pemandangan tebing-tebing lereng Merapi juga menambah cantiknya pagi itu. Rombongan kami hanya sebentar saja berada di tempat ngecamp karena setelah kegiatan kegiatan olahraga dan game kami langsung berkemas dan turun.
Selamat tinggal pos labuhan
Perjalanan turun dimulai tak lama kemudian. Kami turun melalui jalan yang sebelumnya kami gunakan untuk mendaki, namun rute perjalanan turun berubah ketika kami tiba di pos 1. Saat akan melangkah turun dari pos 1, salah seorang pemimpin perjalanan meninjuk ke arah jalan yang ditutup dengan rafia, ya itulah perjalanan kami yang akan kami tempuh selanjutnya. Hmm.., sempat campur-campur juga rasanya, tapi secara garis besar saya malah merasa semakin tertantang untuk melalui jalur itu. Jalur yang kami lalui adalah sebuah jalur yang sudah ditutup, jadi sudah banyak rumput dan tumbuhan yang menutupi jalan setapak sehingga orang terdepan di rombongan harus membuka jalan agar bisa dilalui.
Perjalanan Turun
View
Foggy
View
Setelah beberapa lama melalui hutan, akhirnya kami sampai pada perbatasan hutan, namun bukan berarti kami sudah sampai di peradaban. Tempat kami berpijak selanjutnya adalah jalur aliran lahar gunung Merapi, Kaliadem, saya pribadi merasa takjub melalui tepian sungai yang penuh dengan batu” besar. Setelah melalui tepian sungai Kaliadem akhirnya kami sampai juga di peradaban yaitu obyek wisata Kaliadem Sepertinya jalur yang kami lalui ini memang tertutup karena saya melihat papan yang bertuliskan larangan untuk melalui jalur tersebut. Pemandangan di obyek wisata ini luar biasa, jika melihat ke arah utara maka akan tersaji sebuah pemandangan berupa aliran sungai kering yang panjang penuh pasir dan batu menuju puncak Merapi. Namun sayang saat itu keadaan sedang berkabut sehingga puncak Merapi pun tak terlihat. Di sana kami beristirahat, yah sembari berfoto tentunya. Namun saat-saat istirahat yang tenang begitu cepat berlalu karena dari sebelah selatan kami melihat hujan yang perlahan mendekat, otomatis kami segera mengenakan jas hujan dan melanjutkan perjalanan menuju base camp Kinahrejo.
Tepi jalur lava
Menyusuri jalur lava
Jalur lava
Kaliadem
Dari sini kita keluar
Tak lama kemudian setelah kami menerjang hujan melalui jalan yang becek, kami tiba di kediaman mbah Maridjan kembali. Cukup melelahkan juga, mungkin karena saat itu merupakan pengalaman pertama saya. Padahal jika dibandingkan dengan mendaki gunung hingga puncak yang sebenarnya akan lebih melelahkan karena harus berjalan mendaki selama berjam-jam lamanya. Itulah akhir dari perjalanan menuju pos 2 Merapi saya setahun lalu. Benar-benar sesuatu yang sangat tidak disangka-sangka karena kunjungan saya ke Kinahrejo saat itu bisa dibilang menjadi kunjungan terakhir karena beberapa bulan kemudian awan panas Merapi meluluhlantahkan desa itu. Benar-benar suatu kekecewaan pula karena saya tidak mengambil foto sebanyak mungkin pada saat itu.
NOW
Kini kondisi Kinahrejo tak seperti dulu lagi, desa yang dulunya sejuk dan hijau itu sekarang penuh debu dan gersang. Tanggal 2 Oktober 2011 kemarin saya menyempatkan diri untuk kembali mengunjungi Kinahrejo bersama dengan rekan-rekan kuliah. Setibanya di sana, rasanya benar-benar tidak ingat lagi apakah tempat saya berpijak ini adalah Kinahrejo. Tanda-tanda kebesaran Tuhan bisa kita lihat sekarang, bagaimana Ia meluluhlantahkan sebuah desa yang indah dan permai dengan sekejap saja.
Saat itu cuaca di sekitar Merapi berawan, menambah suram kondisi di Kinahrejo, walaupun suasana cukup ramai oleh para wisatawan dan warga yang beraktivitas dengan membuka warung dan juga menjual berbagai macam suvenir. Pohon-pohon besar nan hijau dulu telah menghilang, yang tersisa hanyalah pohon-pohon tumbang dan mati tersapu awan panas erupsi Merapi. Jika dari arah selatan, di sebelah kiri tampak sebuah jurang menganga lebar, itulah kali Kuning yang dulunya tidak terlihat dari jalanan karena tertutup oleh pepohonan kini terlihat jelas. Sebuah pemandangan yang mengagumkan sekaligus mengerikan jika melihat aliran sungai yang berkelok-kelok menuruni lereng Merapi, tebing-tebing yang menjulang tinggi dan kokoh tampak terkikis menunjukkan betapa hebatnya terjangan awan panas yang menerjang kawasan ini.
Belakang rumah Mbah Maridjan
Depan Petilasan
Me and Friends
Perjalanan dilanjutkan menuju kediaman mantan juru kunci, Mbah Maridjan. Perjalanan harus dilakukan dengan menyusuri jalanan berpasir karena kendaraan harus berhenti di tempat parkir yang disediakan. Tidak begitu jauh, hanya sekitar 15 menit menuju kediaman sang mantan juru kunci. Begitu sampai seakan lupa bahwa itulah rumah mbah Maridjan, kondisinya sekarang sudah sangat berbeda, rumah beliau sudah tidak ada, hanya terdapat sebuah petilasan untuk menandakan bahwa sang mantan juru kunci pernah tinggal di sana. Terdapat pula sebuah mobil dan motor yang rusak terkena terjangan awan panas lalu, sebagai monumen erupsi Merapi terbesar satu abad ini.
Yah, itulah perjalanan mengenang kembali Kinahrejo. Sebuah desa yang damai, yang telah luluh lantah. Namun dari puing-puing bangunan, pasir serta batuan, perlahan ia hidup dan bangkit kembali. Kinahrejo, mungkin ia telah mati. Bangkit..! Kamu adalah “KINAH BALI REJO” sekarang..
Posting Komentar
Posting Komentar