Konten [Tampil]
Jumat petang, tanggal 29 Agustus 2011. Petang seusai magrib itu adalah petang di mana aku akan berangkat mengadakan sebuah pendakian menuju gunung Sindoro di kabupaten Wonosobo. Wew.., tapi aku tidak sendirian karena ada 4 orang temanku yaitu Afrizal, Baron, Eric, dan Rian yang sukses aku racuni pikirannya sehingga mereka bersedia ikut mendaki gunung.. haha
Anggara WePe
Afrizal
Baron
Eric A.K.A Maman
Rian
Petang itu kami berkumpul di bangku coklat Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM melakukan re-packing dan melengkapi perlengkapan yang dirasa kurang. Pendakian kali ini aku tak main-main, berkat kegagalan menggapai puncak Merbabu kemarin karena diterjang udara yang sangat dingin, pendakian kali ini harus safety first, di mana harus ada tenda, baju hangat, dan juga obat-obatan untuk mengatasi jika nanti udara sedingin di Merbabu kemarin.
Oke, setelah merasa semuanya siap kamipun berangkat. Aku berboncengan dengan Baron, Eric dengan Rian, sedangkan Afrizal sendirian, sebenarnya kasihan juga dia karena jaraknya cukup jauh dari Jogja. Perjalanan menuju base camp Sindoro yang terletak di desa Kledung, Wonosobo kami tempuh melalui Magelang-Temanggung-Wonosobo. Sebenarnya ada jalan memotong melalui Borobudur, namun karena aku belum pernah lewat sana maka aku tak mau ambil resiko nyasar. Soalnya bakal dimarahin teman-teman bakalan..
Udara malam itu cukup dingin, membuat kami semua lapar. Sesampainya di Temanggung kamipun berhenti untuk istirahat dan makan di sebuah warung pecel lele di dekat alun-alun. Enak ternyata makan dalam kondisi dingin dan lapar, namun setelah kenyang sesuatu yang mengubah rencana perjalanan kami menuju Sindoro terjadi. Saat aku iseng menelpon base camp Sindoro, penjaga base camp mengatakan bahwa pendakian gunung Sindoro ditutup untuk 2 hari ke depan untuk latihan militer. Hmmm.., sempat kaget juga, dan akhirnya kami memutuskan untuk mendaki gunung di sebelahnya yaitu gunung Sumbing.
Madhang @Temanggung
Warung Pecel Lele
Madhang MuL..!
Jam 9 lebih kami tiba di base camp Sumbing setelah melewati gelap dan dinginnya malam jalan Temanggung - base camp. Sesampainya di base camp kami bertemu dengan 4 orang pendaki yang sedang bercengkrama, kamipun melakukan rencana yang sudah disusun sebelum berangkat yaitu tidur. Hmm.., namun untuk menjalankan rencana itu tak semudah yang dibayangkan. Empat orang pendaki yang kami temui terus bercengkrama dengan suara keras benar-benar menjengkelkan, sampai aku dan Eric sempat ngerasani mereka di luar untuk melampiaskan rasa jengkel. Ditambah lagi dengan udara yang sangat dingin membuat usaha untuk pindah ke alam tidur menjadi semakin sukar. Akhirnya sekitar pukul 1 dini hari suara mereka semakin memudar, namun tetap saja menjengkelkan karena candaan “rawon” mereka sangat garing bagi kami. Hampir saja aku menegur mereka, tapi untunglah usahaku untuk pindah ke alam tidur berhasil duluan.
Sayup-sayup suara adzan Subuh mulai terdengar, kamipun bangun. Setelah memberanikan diri untuk wudhu dan sholat, kami mulai keluar berolahraga untuk mencari panas karena udara sangat dingin pagi itu. Pemanadangan di daerah base camp sungguh indah di pagi itu, di sebelah utara gunung Sindoro dengan anggun berdiri di bawah sang fajar berseberangan dengan gunung Sumbing yang akan kami daki nanti. Oke saatnya sarapan, namun lagi-lagi ada hambatan karena di base camp kami tidak bisa memesan makanan yang sudah habis untuk para pemanen tembakau (ternyata di di tempat tersebut sedang panen tembakau), akhirnya kamipun harus turun ke jalan besar untuk memesan makanan. Untunglah ada sebuah warung yang buka, langsung saja kami makan di situ.
Mount Sindoro
Mount Sumbing, Our Destination
MULAI MENDAKI
Setelah kenyang, kami segera melakukan re-packing kembali sebelum benar-benar memulai perjalanan. Usai pemanasan, kami segera memulai perjalanan panjang menuju puncak si Sumbing melalui jalur lama (jalur yang baru longsor). SUMBING PEAK, HERE WE COME..!!
Power Ranger
Ready to Go..!!
Pendakian dimulai. Pertama-tama kami berjalan melalui perkampungan penduduk di daerah base camp Sumbing tersebut. Kegiatan penduduk desa di pagi hari menjemur tembakau senantiasa menemani perjalanan kami di awal. Perjalanan melalui perkampungan penduduk akhirnya usai setelah kami mendaki tangga dan berjalan melalui jalan setapak menyusuri kebun penduduk. Sebelumnya kami mengira bahwa jalan setapak itu akan terus berlanjut sampai seterusnya, namun ternyata jalan setapak itu hanya menghubungkan antara desa tempat base camp dengan perkebunan penduduk yang lain dengan jalan berbatu, ya itulah yang harus kami lalui kemudian : Jalan berbatu menyusuri perkebunan penduduk.
Perjalanan
Perjalanan
Perjalanan
View
Sempat nyasar juga karena petunjuk jalan menuji puncak entah sengaja ”diarahkan” atau memang sudah tua sehingga mengarah ke tempat yang tidak semestinya. Tapi tidak lama karena kami bertemu dengan warga setempat yang kemudian memberitahu kami bahwa jalan kami salah.
Wrong Way
Perjalanan menyusuri jalan berbatu yang cukup panjang akhirnya berakhir, sampailah kami pada perbatasan antara perkebunan dengan hutan. Setelah beristirahat sebentar, kami lanjut berjalan lagi. Perjalanan kali ini melalui jalan setapak di dalam hutan, dari awal tadi jalan sudah menanjak namun masih dalam batsan wajar, sementara itu suara dentuman senapan terdengar dari gunung Sindoro di seberang. Semoga saja om-om tentara tidak sampai merusak alam gunung Sindoro. Di tengah perjalanan saat beristirahat kami menemukan tempat yang menghasilkan gema apabila kita berteriak ke arah tebing, lumayan juga buat hiburan.
Rest
Rest
Ryan and view
Front way
The journey continues. Medan selanjutnya mulai berat, melintasi punggungan bukit yang terjal serta jalan yang terdiri dari pasir berdebu dan batuan lepas membuat perjalanan terasa berat. Kami seringkali terpleset karena jalan yang kami pijak longsor, bahkan untuk membantu berjalan kami harus menggapai rerumputan di samping jalan. Cukup lama kali melaluinya, maklumlah ngesot (alon-alon waton kelakon) sehingga harus sering berhenti sebentar-sebentar untuk menghela nafas. Sempat Eric hampir saja masuk jurang saat hendak mengambil foto, untung saja tidak ada kecelakaan dan anehnya kami semua tertawa setelah menolongnya bahkan Baron malah dengan santainya menali kameranya sambil melihat yang lain menolong Eric. Yah, istirahat untuk makan sebentar lah karena sudah lumayan lapar.
Selesai makan, kami segera berangkat melanjutkan perjalanan. Kembali kami harus melanjutkan mendaki bukit yang terjal dengan jalan berdebu sebelum akhirnya tiba juga kami di pos Pestan yang merupakan batas antara hutan dengan medan terbuka. Pemandangan di sini sangat luar biasa, menghadap ke selatan puncak si Sumbing terlihat garang berdiri tegak, sementara di utara gunung Sindoro terlihat seperti istana yang melayang di atas awan dan di sebelah barat daya puncak tertinggi di Jawa Tengah, gunung Slamet yang tampak kecil sesekali mengeluarkan awan panas mengarah ke atas.
Sindoro, Flying Castle
Di Balik Awan
Road to The Peak
Mount Slamet
Jalan tetap terjal, sementara di depan terbentang medan berupa tanah kapur yang menanjak tinggi menuju puncak. “Paling sebentar lagi puncak” itulah kata-kata yang menjadi motivasi kami. Namun sayang, saat kami bertanya pada pendaki yang sedang dalam perjalanan turun ia berkata bahwa perjalanan masih kurang setengahnya, Hmm.., benr-benar sebuah kalimat yang meruntuhkan mental. Wajah teman-teman seketika berubah lesu, memang mendaki gunung juga merupakan permainan mental jadi harus pandai-pandai memotivasi diri. Andai saja mas-mas itu tadi bilang sudah ¾ maka kami pasti tetap semangat.. Awas yo kowe mase..!!
Terus berjalan, pelan tapi pasti. Sampailah kami di pos pasar watu. Pos ini banyak terdapat batu-batu besar berserakan. Istirahat sebentar setelah menanjak melewati medan batuan lepas yang berpasir dan berdebu dan mudah longsor. Sempat ada kejadian yang nyaris saja meluluhlantahkan moral kami sehingga nyari pula pulang karena di depan terbentang sebuah tebing sangat terjal yang sangat berbahaya untuk didaki (lebih cocok dipanjat). Untunglah jalan menuju puncak tidak melalui tebing itu. Perjalanan tetap lanjut.
Rute selanjutnya belok kiri dari tebing yang tidak bisa didaki tadi. Jalan menurun setelah itu kembali menanjak lagi. Namun setelah itu mau tidak mau kami harus mendaki sebuah tebing. Walaupun tidak begitu curam, di samping kiri jalan terdapat jurang yang menganga siap menerkam siapapun yang jatuh ke dalamnya. Benar-benar sebuah ujian mental bagi kami. Karena sudah terlanjur jauh melangkah, akhirnya kami memutuskan untuk mendakinya, bagi kami yang baru pertama kali mendaki tebing semacam itu rasanya takut juga apalagi saat melihat ke bawah di mana jurang mengaga lebar, akhirnya kami semua berhasil melalui tebing tersebut dan kembali berjalan melalui jalan yang menanjak terjal dengan batuan lepas.
Senja kami tiba di pos watu kotak, perdebatan terjadi, apakah tetap lanjut atau nge-camp di sini saja. Akhirnya kami memutuskan untuk nge-camp di pos watu kotak saja di samping hari sudah mulai gelap, tetap memaksakan diri ke puncak merupakan sebuah perjudian karena menurut petugas di base camp tidak ada tempat camping di puncak gunung. Pemandangan saat hari gelap sangatlah indah, di atas bintang bertaburan banyak sekali, sangat berbeda apabila dilihat di daerah perkotaan, sementara di bawah lampu-lampu perkotaan berwarna-warni menghiasi gelapnya malam. Usai tenda digelar, kami makan dan kemudian tidur melawan udara dingin pegunungan. Tidur dalam udara dingin benar-benar tidaklah nyaman walaupun sudah di dalam tenda, seringkali kami terbangun karena udara dingin yang serasa menusuk tulang. Di luar angin berhembus perlahan, sehingga tenda seakan diraba-raba seseorang dari luar, apalagi pos watu kotak tempat kami nge-camp adalah tempat paling angker di gunung Sumbing, tapi kami tak sempat memikirkannya karena fokus berusaha mengatasi dinginnya malam itu.
Pagi hari
Perlahan tapi pasti, malam yang dingin perlahan-lahan berakhir berganti dengan pagi yang perlahan menyingsing dari timur. Karena dingin Baron dan Ryan menyalakan 5 batang lilin untuk menghangatkan diri, dan saat semuanya bangun keadaan di dalam tenda seperti sebuah pemujaan karena semuanya duduk mengelilingi lilin dengan Baron sebagai pemimpin ritual karena mirip Ki Joko Bodo. Hahaha Sori hlow Ron.
Udara di luar sangatlah dingin, sampai-sampai Eric yang mau merokok di luar kembali masuk ke tenda karena tak kuasa menahan dingin. Setelah udara agak menghangat kami malah tidur pulas karena tidak perlu lagi menahan dinginnya udara yang telah menghangat.
Pagi
Slamet
Sunrise
Morning
Setelah makan dan mengisi tenaga, terjadi perdebatan kembali. Kali ini topiknya ialah apakah mau lanjut ke puncak atau tidak. Ternyata mayoritas keputusannya ialah tidak karena memang mental sudah drop karena fisik yang lelah, medan yang terjal, serta persediaan logistik dan air yang makin menipis membuat keputusan untuk tidak ke puncak disetujui. Memang, untuk aku yang pernah beberapa kali mendaki gunung sebelumnya, kondisi medan gunung Sumbing ini yang paling ekstrim sehingga mentalku pun turut drop. Mengambil suatu keputusan nekat ke puncak benar-benar sulit di saat kondisi fisik dan mental sudah drop.
And the last, kami kemudian turun usai berkemas. Sebenarnya malas juga untuk turun karena kaki sudah minta istirahat, tapi tetap kami paksa melangkah. Oke akhirnya kami turun, dan ternyata perjalanan turun sangat menyenangkan walaupun medannya curam karena selain lebih ringan kami dapat melakukan sandboarding walaupun itu terjadi karena kami terpeleset pasir.
Perjalanan turun terasa cepat, dua kali lebih cepat dari perjalanan mendaki, walaupun berulang kali berguling-guling karena terpeleset kami tetap bisa tertawa. Dan akhirnya kami sampai di base camp kembali setelah melalui perjalanan yang “tak sempurna” di gunung Sumbing.
Village
Rasanya kalu dipikir-pikir kami masih sanggup untuk mengadakan perjalanan menuju puncak dari pos terakhir (Watu Kotak) tadi. Ya namun kenyataanya kami tidak melakukannya. Kondisi mental memang sangat berperan dalam suatu pendakian menuju puncak gunung, kondisi mental yang berani, bersemangat, yakin, serta nekat akan menyebabkan seorang pendaki akan bisa untuk tetap melangkahkan kakinya walaupun sebenarnya fisiknya sudah sangat lelah, namun sebaliknya kondisi mental seorang pendaki yang sudah runtuh akan menyebabkan ia akan kehilangan kekuatan fisiknya untuk terus melangkahkan kaki, padahal sebenarnya kekuatan fisiknya masih kuat untuk terus melangkah bahkan ia seharusnya bisa untuk terus berjalan. Mungkin kami khususnya aku sendiri masih harus terus melatih semangat, keberanian, keyakinan serta suatu kenekata agar mental menjadi kuat sehingga mampu memotivasi diri sendiri saat kondisi sedang susah dalam apapun itu.
INILAH AKHIR DARI PERJALANAN YANG TAK SEMPURNA MENUJU PUNCAK SI SUMBING..
MUNGKIN SEKARANG KAMI MEMANG GAGAL, NAMUN INILAH AWAL KEBERHASILAN KAMI..
See You at The Next Journey....
Posting Komentar
Posting Komentar