Konten [Tampil]
Hari Minggu tanggal 28 Agustus tahun 2016, atau
sekitar 10 hari semenjak pendakian saya yang sempat diwarnai kisah mistis yaitu BERTEMU GENDERUWO DI GUNUNG LAWU. Tanggal 28 Agustus 2016 tersebut jatuh pada Hari Minggu yang
merupakan awal mula dari rangkaian perjalanan yang bahkan berlangsung hingga 1
minggu lamanya. Tujuan saya saat itu terletak di tengah-tengah Provinsi Jawa
Timur yaitu Gunung Arjuno.
Arjuno-Welirang dari Puncak Mahameru
Menuju Tretes
Matahari sudah tenggelam
kembali ke peraduannya saat perjalanan menuju Gunung Arjuno dimulai. Perjalanan
kali ini saya tidaklah sendirian karena juga turut ditemani oleh mantan rekan
satu kantor dahulu yaitu Bung Irawan yang juga menjadi rekan perjalanan saya sewaktu menapaki GUNUNG GEDE beberapa bulan silam sebelum perjalan ke Arjuno
ini dimulai.
Bung Irawan Kaos Merah
Malam
itu sekitar pukul 22.00 WIB kami bertolak dari Yogyakarta menuju Surabaya
terlebih dahulu. Perjalanan panjang kami dimulai dari Terminal Giwangan dengan
mengendarai Bus Sumber Selamat yang terkenal dengan kecepatannya. Hal tersebut
memang benar karena di sepanjang perjalanan bus melaju dengan kencang. Bahkan
saat saya tetidur, tiba-tiba saja penumpang bus mengucapkan takbir dan istighfar
yang mana sampai membangunkan saya. Sewaktu saya bertanya kepada Bung Irawan
mengenai apa yang terjadi; sebenarnya jawabannya cukup mengejutkan, tetapi
karena rasa kantuk akhirnya saya kembali tidur. Jawaban Bung Irawan tersebut
adalah:
“Bisse ngepot e mas..”
Sumber Selamat
Syukur Alhamdulillah
perjalanan kami menuju Surabaya sukses alias kami akhirnya sampai di
Terminal Purabaya. Perjalanan yang termasuk cepat karena kami sampai sekitar
pukul 05.00 WIB atau hanya 6 jam perjalanan dari Yogyakarta sampai ke Surabaya.
Benar-benar perjalanan yang begitu cepat. Usai sholat subuh di masjid terminal,
kami segera mencari bus jurusan Surabaya Malang yang tidak sulit untuk
ditemukan di Terminal Purabaya.
Bung Irawan di Terminal Purabaya
Perjalanan pun berlanjut dengan bus yang membawa
kami bergerak ke selatan meninggalkan Surabaya. Memang perjalanan kami saat itu
adalah menggunakan bus jurusan Surabaya-Malang, akan tetapi kami tidak ikut
sampai ke Malang melainkan turun di daerah Pandaan. Perlu diketahui bahwa saat
itu kami masih buta mengenai medan yang akan dilalui dan hanya sempat bertanya-tanya
mengenai transport ke gerbang pendakian Gunung Arjuno di Tretes kepada orang
lain sewaktu sholat subuh tadi. Usai melewati beberapa jalan tol akhirnya kami
sampai juga di Terminal Pandaan.
Terminal Pandaan
Sesampainya di Terminal Pandaan, kami langsung
ditawari angkot yang merupakan sarana transport menuju daerah Tretes. Akan
tetapi sopir masih menunggu penumpang sehingga kami memutuskan untuk sarapan
dulu di warung sekitar termina. Menu pagi itu adalah Soto Lamongan yang super
enak di warung yang terletak di sebelah barat terminal. Usai makan angkot pun
mulai bergerak dari Terminal Pandaan menuju Tretes di lereng Gunung Arjuno.
Soto Lamongan Maknyussss
Tidak sampai 1 jam perjalanan dari Pandaan, kami
akhirnya tiba juga di daerah Tretes yang juga berada di lereng Gunung Arjuno.
Banyak penginapan-penginapan dan villa yang didirikan di sini, sepertinya
memang daerah Tretes menjadi destinasi masyarakat daerah Jawa Timur seperti
Surabaya dan Malang untuk menikmati sejuknya udara gunung.
Naik Angkot
Setibanya di Base Camp Tretes, kami terlebih
dahulu beristirahat dengan rebahan karena jelas saja tidur di bus dengan posisi
duduk tidaklah nyaman dan maksimal. Setelah merasa cukup beristirahat, kami pun
segera memulai perjalanan setelah sebelumnya mendaftar terlebih dahulu. Rencana
kami adalah menuju Puncak Gunung Arjuno dengan lokasi kemah di Lembah Kidang.
Base Camp Arjuno-Welirang via Tretes
Perjalanan yang Tak Sesuai Rencana
Jalur pendakian
Gunung Arjuno via tretes sudah cukup lebar dan jelas dan tersusun dari
batu-batu yang ditata. Saya pun baru tahu bahwa Gunung Arjuno juga disebut Gunung
Arjuno-Welirang karena memang terdapat 2 puncak yang berdekatan di atas yaitu
Puncak Arjuno dengan ketinggian 3339 meter di atas permukaan laut dan Puncak
Welirang yang memiliki ketinggian 3159 meter di atas permukaan laut.
Awal Perjalanan
Rute awal Gunung Arjuno-Welirang via Tretes juga
sudah ditata sedemikian baik dan lebar juga karena jalur ini dilewati oleh
hartop atau jeep yang membawa hasil tambang berupa Belerang dari Puncak Gunung
Welirang. Namun jangan berharap untuk bisa dengan enak menikmati perjalanan
naik dengan hartop karena selain waktunya yang tidak menentu, tarifnya pun
sangat mahal.
Kop-kopan Berselimut Kabut
Kami pun sedikit demi sedikit melangkah menapaki
jalan berbatu tersebut. Perjalanan kami awalnya cukup cepat, akan tetapi
tiba-tiba di tengah perjalanan kondisi Bung Irawan menurun drastis. Perjalanan
kami mulai melambat karena harus sering beristirahat. Pelan tapi pasti, kami
akhirnya sampai di Pos Kop-kopan menjelang sore. Terdapat tanah lapang luas di
sini yang bisa menampung hingga lebih dari 10 tenda plus keberadaan sumber air
melimpah. Kondisi Bung Irawan yang menurun membuat kami memutuskan untuk
mendirikan tenda dan tidur. Mungkin hal ini karena istirahat semalam yang
kurang maksimal atau AC di bus yang dingin.
Menembus Gelapnya Arjuno
Kami pun akhirnya
tertidur pulas sore itu. Sempat hujan turun dengan derasnya padahal saat itu
masih di penghujung Bulan Agustus yang seharusnya masih puncak musim kemarau.
Namun kami tetap bisa tidur dengan nyaman karena tenda baru Bung Irawan
benar-benar anti air sehingga air tidak menetes masuk. Menjelang tengah malam
kami terbangun, tidak terasa kami tidur sudah cukup lama.
Usai tidur pun kondisi Bung Irawan masih belum
pulih sehingga masih harus banyak tidur untuk memulihkan kondisi. Beruntung
saat itu ada obat demam dan sakit kepala yang bisa membuatnya mudah mengantuk
dan tidur sehingga mempercepat proses pemulihannya. saya akhirnya memutuskan
untuk melanjutkan perjalanan sendirian. Sebenarnya cukup menakutkan untuk
seorang diri membelah kegelapan malam di Gunung Arjuno-Welirang yang terkenal
dengan keangkerannya. Ditambah lagi pengalaman mistis saat BERTEMU GENDERUWO DIGUNUNG LAWU pada pendakian sebelumnya benar-benar membuat nyali menciut.
Ilustrasi Gelapnya Malam
Namun saya tetap melangkah maju dengan keyakinan
bahwa kekuatan terbesar tetap ada di tangan Allah SWT. Selain hanya ditemani
oleh cahaya senter, sayapun menancapkan earphone
di kedua telinga dengan volume yang keras sehingga suara kesunyian malam
setidaknya menjadi tertutupi oleh alunan musik di playlist saya. Jadinya saya tidak merasa sendiri lagi. Perjalanan dari
Pos Kop-kopan ternyata cukup berat dengan jalur yang terus menanjak tiada henti
melalui jalanan berbatu.
Sekitar 2 jam berjalan di tengah kelapan malam
dan kesunyian Gunung Arjuno-Welirang. Akhirnya saya tidak sendirian lagi karena
di kiri jalan ada tenda berdiri yang ditempati oleh rombongan pendaki asal
Provinsi Jawa Timur. Saya pun numpang mampir dan mereka mempersilakan saya masuk
karena memang masih muat dan untuk semakin menghangatkan tenda. Terlebih mereka
sore tadi sempat kehujananan sehingga kondisinya lumayan kedinginan. Sebenarnya
saya hanya berniat untuk mampir sebentar dan sekedar bercengkrama untuk menghapus
kesendirian selama 2 jam sebelumnya. Akan tetapi karena rasa kantuk menular,
jadilah saya ketiduran hingga pagi datang.
Ketemu Rombongan Pendaki Asal Jawa Timur
Bersama Rombongan Lain
Perjalanan sayapun
kembali tidak sesuai dengan rencana sebelumnya yaitu mencapai Puncak Gunung
Arjuno sepagi mungkin. Karena terlanjur molor, saya memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan bersama dengan rombongan asal Jawa Timur tersebut. Kami baru
bertolak dari lokasi berkemah sekitar pukul 07.00 WIB. Ternyata rute yang saya lalui seorang diri semalam begitu indah karena melalui hutan cemara. Suasana
berbalik 180o menjadi begitu mendamaikan, terlebih sekarang
perjalanan saya tidak sendiri lagi.
Hutan Cemara
Meskipun suasana dan pemandangannya
menyenangkan, rute pendakian tetap saja menanjak tanpa ampun dengan jalur
berbatunya. Berulang kali kami beristirahat untuk menghela nafas dan memulihkan
kondisi untuk tetap melalui jalur yang berat ini. Kecepatan kami termasuk pelan
dengan banyaknya istirahat.
Menapaki Jalan Batu di Tengah Hutan Cemara
Satu jam kemudian sekitar pukul 08.30 WIB kami
pun tiba di pos selanjutnya bernama Pondokan. Pos tersebut dinamakan Pondokan
karena terdapat pondok-pondok kecil tempat menginap para penambang belerang di
Puncak Gunung Welirang dan juga tempat mereka menyimpan hasil tambang sebelum
diangkut oleh hartop ke bawah. Pos Pondokan juga merupakan percabangan jalur
menuju Puncak Arjuno dan Puncak Welirang.
Pos Pondokan
Jalur menuju Puncak Welirang secara sepintas
terlihat lebih mudah ditemukan karena selain terlatak tepat di sebelah selatan
Pos Pondokan, jalurnya juga masih terdiri dari bebatuan dan cukup lebar karena
digunakan untuk mengangkut belerang. Sementara jalur menuju Puncak Arjuno
terlihat lebih kecil dan hanya merupakan jalan setapak. Jalur menuju Puncak
Arjuno ini berada di sebelah timur Pos Pondokan melewati lereng bukit.
Terdapat sumber air di Pos Pondokan ini sehingga
kami bisa mengisi kembali persediaan air. Rombongan pendaki Jawa Timur yang saya tebengi ternyata kembali beristirahat di
Pos Pondokan. Tidak ingin terlalu kesiangan, akhirnya saya berinisiatif untuk
memisahkan diri dari rombongan dan melanjutkan perjalanan seorang diri sekitar
pukul 09.30 WIB. Karena jalur menuju Puncak Welirang lebih jelas, maka saya memilihnya demi alasan keselamatan. Tentunya risiko melanjutkan perjalanan
seorang diri lebih besar.
Menuju Puncak Welirang
Jalur Menuju Puncak Welirang
Perjalanan sayapun berlanjut
melalui jalan berbatu menuju Puncak Welirang. Secara umum saya tidak terlalu
khawatir dengan kondisi jalur pendakian karena memang masih terlihat sangat
jelas dengan bebatuan yang telah tertata. Penambang belerang pun dapat ditemui
di sini yang mana mereka mengangkut belerang dengan gerobak dorong melalui
medan sulit. Menurut keterangan rombongan pendaki Jawa Timur tadi, rumornya
penambang belerang di Gunung Welirang kurang ramah sehingga lebih baik jika
mengurangi interaksi dengan mereka. Saya hanya bertegur sapa saat berpaspasan
di tengah jalan.
Edelweiss
Jalur pendakian mulai terlihat membingungkan
saat memasuki kawasan Puncak Welirang. Saat tumbuhan dan rerumputan tidak mulai
semakin menipis terlebih setelah memasuki batas vegetasi. Banyak jalur
bercabang-cabang sehingga cukup membingungkan. Apabila cuaca cerah mungkin
tidak akan begitu parah karena puncak tertinggi dapat terlihat sehingga bisa
menjadi patokan arah. Akan tetapi jika cuaca berkabut seperti yang dialami saya,
maka perjalanan akan menjadi semakin membingungkan. Sesuatu yang menjadi
patokan saya saat itu adalah jalan yang menanjak. Asumsi saya adalah jika jalan
tersebut menanjak maka perjalanan akan semakin mendekati puncak. Tentu tidak
asal melangkah dan tetap melewati jalan setapak yang ada.
Batas Vegetasi Menuju Puncak Welirang
Syukur Alhamdulillah
karena Allah SWT seakan menuntun saya ke jalan yang benar. Entah mengapa
jalan yang saya ambil mengarah ke puncak tertinggi Gunung Welirang. Beruntung
saat itu tiang bendera yang ada di Puncak Welirang terlihat dari tempat berdiri
saya sehingga meyakinkan saya untuk melangkahkan kaki ke tempat tersebut. Kondisi
saat itu masih cukup berkabut sehingga pemandangan ke arah jauh tidak terlihat.
Namun jalan menuju puncak masih terlihat jelas. Selain berkabut, hanya ada saya seorang diri di sana saat itu. Entah ke mana para pendaki lainnya yang biasanya
memadati gunung-gunung, serta entah di mana pula para penambang belerang.
Kawasan Puncak Welirang
The Summit of Welirang
Akhirnya atas
tuntungan Allah SWT; Tuhan semesta alam, saya tiba juga di Puncak Gunung Welirang
sekitar tengah hari. Terdapat sebuah tiang bendera lengkap dengan Sang
Merah-Putih yang berkibar, meskipun sudah luntur warnanya dan juga sobek. Tidak
ketinggalan plang penanda Puncak Gunung Welirang dengan ketinggian 3159 meter
di atas permukaan laut (mdpl) tersedia juga di sini. Saya juga baru menyadari bahwa nama "Welirang" mungkin berarti "Belerang" karena di sini terdapat banyak bebatuan belerang.
Puncak Welirang
Pemandangan ke arah jauh memang terhalang kabut,
akan tetapi pemandangan di sekitar puncak masih bisa terlihat. Kawah besar
berasap dengan belerang di dasarnya menghiasi pandangan ke arah terdekat dari
Puncak Welirang. Hanya seorang diri di puncak benar-benar merepotkan karena
tidak ada yang bisa diajak berbincang dan dimintai tolong untuk memfoto,
beruntung saya membawa tongsis milik Bung Irawan sehingga setidaknya bisa
mengabadikan momen di Puncak Welirang ini.
Kawah Belerang Gunung Welirang
Setelah puas berfoto di puncak, sekitar pukul
13.00 WIB saya segera turun karena ada kekhawatiran akan terjadinya badai di
tahun La Nina 2016 ini. Terlebih kabut tebal yang menyelimuti Puncak Welirang
saat itu bisa saja berubah menjadi awan hujan. Perlu kecermatan tersendiri
untuk menemukan jalan kembali karena banyaknya jalan setapak.
Saya dengan Wajah Ngantuk + Capeknya
Beruntung
akhirnya saya bisa menemukan jalan kembali. Sementara rombongan pendaki asal Jawa
Timur kembali bertemu dengan saya di tengah jalan saat saya turun dan mereka
berusaha naik. Tentu ucapan motivasi semangat saya ucapkan agar perjalanan mereka
berhasil mencapai Puncak Welirang.
Kembali ke Pos Kop-kopan
Hanya membutuhkan
sekitar 1 jam 15 menit bagi saya untuk sampai kembali ke Pos Pondokan. Saya hanya
beristirahat sejenak di sini dan minum di sumber air untuk mengisi cairan
tubuh. Segera saja saya melanjutkan perjalanan kembali ke Pos Kop-kopan karena saya juga memikirkan keadaan Bung Irawan. Perjalanan turun menuju Pos Kop-kopan
ternyata tidak kalah berat dengan naiknya. Menuruni jalan bebatuan dengan
kemiringan yang cukup curam; seakan menghancurkan sendi-sendi lutut yang
menopang berat badan.
Kop-kopan Lagi
Kondisi Bung Irawan sendiri sudah membaik. Rasa
pusing di kepalanya sudah berangsur menghilang. Akan tetapi kami memutuskan
untuk tidak melanjutkan perjalanan naik kembali karena akan terlalu berisiko
dengan kondisi Bung Irawan yang belum sepenuhnya pulih dan juga saya yang masih
kelelahan. Malam itu kami kembali bermalam di Pos Kop-kopan. Sungguh sebuah
istirahat yang nyaman jika tidak diganggu oleh tikus-tikus yang banyak
berkeliaran di sini. Bahkan salah satu dari mereka ada yang berhasil melubangi
pintu jaring tenda dan masuk ke dalam.
Perjalanan yang Belum Tuntas
Bung Irawan Kembali Pulih
Pagi hari merupakan
saat di mana kami berencana untuk turun. Pagi itu cuaca cukup cerah sehingga
Gunung Penanggungan yang terletak di sebelah utara Gunung Arjuno-Welirang
terlihat jelas. Rangkaian perjalanan turun pagi itu dimulai dengan melakukan
sarapan pagi sebelum berkemas untuk perjalanan turun.
Gunung Penanggungan
Setelah semuanya siap kami pun turun. Sempat
kami bertemu dengan hartop yang sedang berusaha naik. Ternyata hartop pun
kesulitan untuk melalui jalan berbatu dan menanjak tersebut. Perjalanan turun
masih melalui medan berbatu sehingga masih terasa menyakitkan bagi sendi engkel
dan lutut. Beruntung istirahat semalam cukup memulihkan kondisi kaki yang sakit
usai dihancurkan medan perjalanan menuju Puncak Welirang pulang-pergi dari Pos
Kop-kopan.
Hartop Penambang Belerang
Siang
harinya kami sampai kembali di base camp. Syukurlah setidaknya kami bisa kembali
dengan selamat sampai di bawah, meskipun perjalanan kami tidak sesuai dengan
rencana. saya memang berhasil menggapai Puncak Welirang, tetapi tidak dengan
Bung Irawan yang hanya sampai Pos Kop-kopan saja. Serta bagaimana dengan Puncak Arjuno yang menjadi target awal...?? Masih belum tersentuh. Kami pun langsung kembali ke
Yogyakarta dengan cara yang sama dengan saat kami berangkat (bedanya hanya
dibalik saja).
Saat
itu kami memang meninggalkan Gunung Arjuno-Welirang dan bergerak ke arah barat
daya menuju Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, akan tetapi petualangan kami
di sana belumlah usai……..
Posting Komentar
Posting Komentar