Konten [Tampil]
Tanggal 17 Agustus yang merupakan hari
kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia selalu identik dengan
perayaannya berupa upacara bendera. Mulai dari istana negara, instansi, hingga
sekolah-sekolah, semuanya mengadakan upacara bendera memperingati hari
kemerdekaan. Upacara tersebut ternyata juga sampai di puncak-puncak gunung
seantero NKRI yang mana ribuan pendaki menyerbu puncak-puncak gunung untuk
turut mengadakan upacara hari kemerdekaan.
17 Agustus, Menuju Sang Lawu
Tanggal 17 Agustus
2016, saat itu sebenarnya tidak ada upacara spesial yang saya ikuti termasuk yang
berada di puncak gunung. Upacara kemerdekaan tentunya diadakan pada pagi hari,
tetapi saat itu saya baru akan berangkat menuju Gunung Lawu saat hari sudah
siang. Tujuan saya saat itu adalah Puncak Gunung Lawu melalui gerbang pendakian
Candi Ceto yang berada di Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Provinsi
Jawa Tengah.
Candi Cetho (Fokus Candinya Saja + Foto Akan Segera Diganti)
Pada pendakian kali ini saya ditemani oleh 2 orang
teman kos saya yaitu Muchlis dan Juwari. Kami memang berangkat agak kesiangan
karena baru tengah hari kami bertolak dari kosan di Yogyakarta. Kami
menggunakan sepeda motor untuk mencapai Candi Cetho; Juwari dan Muchlis
berboncengan sementara saya sendirian karena motor tidak akan kuat jika harus
berboncengan terlebih jalan menuju Candi Cetho cukup menanjak.
Juwari (Merah) Muchlis (Satunya Lagi)
Sekitar pukul 14.30 WIB kami akhirnya tiba di
base camp pendakian lawu via Candi Cetho. Akan tetapi saat itu kami belum bisa
langsung mendaki karena hujan tiba-tiba saja turun dengan derasnya. Untung saja
hujan yang turun tidaklah lama karena sekitar 20 menit kemudian hujan berhenti.
Kami pun segera bersiap dan memulai pendakian menuju puncak Gunung Lawu.
Pendakian Dimulai
Jalur pendakian Lawu tepat
berada di sebelah utara dari Candi Cetho. Plang penunjuk arah menuju puncak
sudah terpasang di awal-awal pendakian. Arah menuju puncak tinggal mengikuti
jalan setapak yang ada. Usai melewati sebuah lembah yang terdapat sungai kering
di dasarnya, maka perjalanan akan sampai di Candi Kethek atau Candi Monyet
dalam Bahasa Indonesianya. Suasana memang begitu damai dan tenang di sini,
setidaknya sewaktu matahari masih bersinar. Jika malam hari suasana menjadi
berbeda; seperti kejadian yang akan saya dan teman-teman alami sewaktu pendakian
turun nanti.
ES di Candi Kethek
Setelah melewati Candi Kethek, maka perjalanan
kembali dilanjutkan melalui jalan setapak yang sudah terlihat cukup jelas.
Kondisi jalur terus menanjak dan cukup licin karena sebelumnya diguyur hujan.
Hari sudah mulai gelap selepas perjalanan kami menuju pos 3. Cuaca tidak begitu
baik saat itu karena kabut tebal kembali menyelimuti jalur pendakian sehingga
membatasi jarak pandang. Sementara itu gerimis perlahan turun; jelas kami semua
berharap agar hujan tidak menjadi semakin deras.
Kabut Tebal
Sebenarnya rencana awal kami adalah berkemah di
Warung Mbok Yem di bawah puncak, akan tetapi salah satu rekan kami yaitu
Muchlis mengalami drop sehingga kami
memutuskan untuk berkemah di Pos IV. Terdapat sebuah shelter dan tanah lapang
yang hanya cukup untuk 1 tenda di sini. Kami pun tidak sendirian karena ada
rombongan pendaki lain dari Semarang yang juga bermalam di dalam shelter.
Menuju Puncak Lawu (Misteri Bulak Peperangan)
Pagi hari setelah
tidur dan beristirahat semalam, kami kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini
tenda dan perlengkapan berat lainnya ditinggal di tenda sehingga perjalanan
menjadi lebih ringan. Pagi itu cuaca cukup cerah, matahari bersinar di langit
yang biru terlihat menawan dari celah-celah dedaunan. Menjelang pos V kondisi
jalur pendakian sudah tidak seberat sebelumnya. Jika sudah terdapat padang
rumput, maka sebentar lagi perjalanan akan sampai di pos V bernama Bulak Peperangan.
Sudah Terang
Pos V dinamakan Bulak Peperangan karena konon
pada zaman dahulu terjadi pertempuran antara pasukan Majapahit di bawah
pimpinan Prabu Brawijaya V dengan pasukan Demak. Konon juga terdapat rumor
yaitu pada malam-malam tertentu pendaki yang bermalam di Bulak Peperangan ini
mendegar suara peperangan di luar tenda mereka, akan tetapi saat mereka
mengecek keluar maka suasana akan kembali senyap dan tidak ada apa-apa di luar.
Kawasan Bulak Peperangan
Terdapat beberapa tanjakan usai pos V, namun
setelah itu jalur pendakian menjadi sangat nyaman. Jalur pendakian kini
melewati sebuah padang rumput luas yang berada di lembah perbukitan. Hijaunya
padang rumput terasa begitu mendamaikan di sini, akan tetapi tidak hanya padang
rumput saja yang dapat dinikmati di sini. Terdapat pula sebuah sebuah telaga
kecil yang berada di tengah-tengah telaga yaitu Telaga Gupak Menjangan.
Kawasan Padang Rumput Gunung Lawu
Beruntung karena La Nina 2016 menyebabkan hujan
turun sepanjang tahun sehingga air telaga masih cukup banyak. Air tersebut
meskipun terlihat menyegarkan, tetapi tidak bisa langsung diminum karena kotor. Terlebih air telaga itu menggenang dan tidak mengalir. Menurut pendaki yang saya temui sebelumnya, air telaga itu hanya bisa digunakan untuk mencuci muka, kaki, dan tangan. Jika beruntung, terkadang pendaki
bisa menjumpai kawanan rusa yang mampir minum di telaga ini. Sayang saat kami
lewat sini tidak ada rusa satu pun yang terlihat. Usai minum dan beristirahat
di Telaga Gupak Menjangan, kami segera berjalan kembali.
ES di Telaga Gupak Menjangan
Menjelang Puncak (Misteri Pasar Dieng)
Kami terus
melanjutkan perjalanan melewati padang rumput. Jalur pendakian kembali memasuki
menanjak memasuki kawasan perbukitan. Selanjutnya kami memasuki area dengan
bebatuan yang berserakan. Area yang kami lalui saat itu adalah Pasar Dieng atau
Pasar Setan. Konon katanya bebatuan yang berserakan di area ini merupakan lapak
dagangan makhluk ghaib. Terdapat pula susunan bebatuan yang bentuknya teratur
seperti sebuah gapura dan tangga. Kemungkinan area Pasar Dieng ini merupakan situs
peninggalan zaman Majapahit yang memerlukan penelitian lebih lanjut.
Kawasan Pasar Dieng
Pada malam-malam tertentu diceritakan bahwa
pendaki yang sedang melintasi area Pasar Dieng tiba-tiba saja mendengar suara
keramaian pasar yang disusul dengan pertanyaan ghaib yaitu “Badhe tumbas napa?”
atau “Mau beli apa” di bahasa Indonesianya. Konon juga diceritakan bahwa jika
seseorang mendapatkan pertanyaan tersebut maka hendaknya dia membuang sesuatu
(biasanya berupa koin). Jika tidak maka seseorang tersebut akan terjebak di
dalam dimensi lain untuk selamanya.
Pasar Dieng / Pasar Setan Gunung Lawu
Warung Mbok Yem dan Hargo Dalem
Beruntung kami
melewati area Pasar Dieng saat matahari bersinar cerah sehingga suasananya
tidak menyeramkan. Akan tetapi entah mengapa Muchlis dan Juwari merasakan aura
yang tidak enak di kawasan Pasar Dieng tersebut. Setelah lanjut berjalan lagi
kami akhirnya sampai juga Warung Makan Mbok Yem yang merupakan warung makan
tertinggi di Indonesia.
Warung Mbok Yem
Dekat dengan Warung Makan Mbok Yem, terdapat
sebuah petilasan Raja Majapahit; Prabu Brawijaya V yaitu Hargo Dalem. Lokasi petilasan
tersebut sudah sangat baik dan bersih dengan joglonya. Konon dahulu tempat ini
merupakan tempat terakhir sang prabu bersemayam sebelum akhirnya mokswa atau meninggal bersamaan dengan
raganya yang turut berpindah ke alam selanjutnya. Sang Prabu sendiri memilih
untuk mokswa karena merasa
bahwa era Majapahit sudah berakhir digantikan oleh munculnya Kerajaan Demak
yang berkembang kian pesat. Pada malam 1 Suro banyak peziarah yang datang ke sini.
Hargo Dalem; Petilasan Prabu Brawijaya V
Kami berhenti di Warung Makan Mbok Yem untuk mengisi perut dan
juga minum. Juwari langsung memesan nasi pecel yang mana merupakan sesuatu yang
langka di gunung. Sebenarnya perjalanan menuju Puncak Hargo Dumilah tidaklah
lama lagi dan hanya tinggal melewati tanjakan terjal terakhir yang letaknya
tepat di belakang Warung Makan Mbok Yem, akan tetapu Muchlis memilih untuk stay di sini dan fokus untuk memulihkan
kondisinya. Jadilah saya dan Juwari yang melanjutkan perjalanan ke puncak.
Hargo Dumilah
Tanjakan terjal
sebelum mencapai Hargo Dumilah ini memang begitu menguras tenaga. Sesekali kami
harus berhenti untuk menghela nafas dan menenangkan kembali denyut jantung yang
berdetak tidak karuan. Membutuhkan sekitar setengah jam untuk melalui tanjakan
terjal tersebut hingga akhirnya kami sampai juga di titik tertinggi Gunung Lawu
yaitu Hargo Dumilah.
ES di Tugu Hargo Dumilah
Suasana cukup lengang di titik tertinggi Gunung
Lawu ini dan hanya ada beberapa kelompok pendaki saja; kontras dengan ramainya
pendaki yang memadati puncak untuk merayakan upacara 17 Agustus satu hari yang
lalu. Meskipun titik tertinggi ada di sebuah tugu yang berdiri di Hargo Dumilah,
tetapi spot favorit untuk berfoto ialah di puncak Irung Petruk yang terletak
sedikit lebih rendah di sebelah barat Puncak Hargo Dumilah. Pemandangan terbuka
ke arah barat tampak begitu memesona di sini.
Pemandangan Terbuka ke Sebelah Barat
Hargo Dumilah sendiri menurut legenda merupakan
tempat bersemayamnya sang penguasa Gunung Lawu yaitu Sunan Lawu beserta
patihnya yaitu Kiai Jalak. Konon keduanya dulu merupakan manusia biasa bernama
Dipa Menggala dan Wangsa Menggala yang turut menemani perjalanan Prabu
Brawijaya V ke tempat mokswa nya di
Hargo Dalem. Atas jasanya maka Dipa Menggala diangkat menjadi penguasa Gunung
Lawu dengan nama Sunan Lawu, sementara Wangsa Menggala diangkat sebagai
patihnya dengan nama Kiai Jalak. Wilayah kekuasaan penguasa Lawu ini meliputi Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Wilis, Pantai Selatan, hingga Pantai Utara.
Puncak Irung Petruk di Sebelah Barat
Perjalanan Turun
Usai puas menikmati
suasana puncak dan berfoto, kami segera turun kembali ke Warung Makan Mbok Yem.
Hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit saja bagi kami untuk sampai kembali ke
Warung Makan Mbok Yem. Setibanya kami di sana, Muchlis sudah terlihat bugar dan
siap untuk melakukan perjalanan turun. Saat itu pula Mbok Yem sebagai pemilik
warung sedang senggang sehingga kami bisa berfoto dengan beliau sebelum turun.
Mbok Yem
Setibanya kembali di Telaga Gupak Menjangan,
kami kembali beristirahat untuk menikmati suasana yang mendamaikan sebelum
meninggalkannya. Saat matahari sudah condong ke arah barat atau menjelang sore,
kami tiba kembali di tenda dan segera melakukan persiapan turun. Perjalanan
turun kami dari pos 4 dimulai sekitar pukul 16.00 WIB melalui jalur pendakian
yang masih cukup licin.
Tenda Kami di Pos IV
Bonus Menjelang Sampai
Perjalanan turun kami
secara keseluruhan cukup cepat karena hanya berselang kurang dari 1 jam kami
sudah sampai di pos 3 untuk melakukan sholat. Saat kami sampai di sini kondisi
masih cukup terang, meskipun matahari sudah semakin mendekati cakrawala barat.
Suasana mulai gelap saat kami sampai di pos 2 yang mana merupakan salah satu
tempat yang angker di jalur pendakian Lawu via Candi Cetho. Sebuah pohon besar
yang berdiri di kawasan pos 2 terlihat begitu menyeramkan sehingga membuat kami
hanya sejenak beristirahat dan segera berjalan kembali meninggalkan pos 2
sesegera mungkin.
Pos III
Selanjutnya kami mulai memasuki perjalanan malam
yang mana senter harus kami gunakan untuk menerangi jalan. Perjalanan
berlangsung cepat dan lancar, bahkan suasana sudah terasa begitu nyaman saat
kami beristirahat di bawah pos 1 sambil menikmati pemandangan terbuka ke arah
barat dengan kerlap-kerlip lampu perkotaannya. Saat kami mengira bahwa
perjalanan kami akan segera sampai dan tidak ada peristiwa berarti lagi karena
jarak menuju base camp tidak jauh lagi plus bulan purnama yang terang benderang
menyinari malam, ternyata hal yang akan terjadi kemudian tidak lagi sesuai
dengan harapan kami.
Bulan Purnama Malam itu (Taken by: Canon Powershot SX710 HS)
Aura menyeramkan kembali menyelimuti kami
setibanya di Candi Kethek yang terlihat seperti bayang-bayang hitam raksasa.
Sesegera mungkin kami melangkahkan kaki untuk meninggalkan Candi Kethek. Akan
tetapi sajian khusus pada pendakian kali ini kami saksikan usai meninggalkan
Candi Kethek dan melewati jalur menurun di tengah lembah yang di tengahnya
terdapat sungai kering.
Saat itu dari arah sungai kering yang tertutup
oleh bayangan pohon, terlihat cahaya-cahaya yang mati-menyala seperti
kunang-kunang, tetapi dengan warna berbeda dan ukuran yang lebih besar. Tentu
kemunculannya menimbulkan rasa penasaran bagi kami, akan tetapi belum habis
rasa penasaran kami, tiba-tiba dari kegelapan tempat terlihatnya cahaya-cahaya
aneh tersebut muncullah sosok tinggi besar berwarna hitam legam dengan tangannya
yang panjang bagaikan gorila. Namun entah mengapa kemunculannya tidak membuat
kami ketakutan, malah sebaliknya karena awalnya kami penasaran dengan sosok
tersebut.
Malam itu
Saat
menyadari bahwa sosok itu kemungkinan besar bukanlah manusia, saya segera
menyuruh teman-teman untuk menepi dan memberi jalan. Mungkin makhluk ghaib
tersebut hanya lewat dan kebetulan berpaspasan dengan kami. Akan tetapi semakin
dekat jarak kami, sosok hitam tersebut tiba-tiba mengecil ke ukuran manusia
biasa dan menjadi 2 orang laki-laki. Kami pun saling menyapa, bahkan juga
saling bersalaman. Kami berusaha untuk bersikap senormal mungkin, walaupun
dengan perasaan yang masih janggal mengenai apa yang barusan terjadi.
Selanjutnya kedua “orang”
tersebut melanjutkan perjalanannya menuju Candi Kethek. Entah apa yang akan
mereka lakukan. Kami pun terus berjalan dengan cepat tanpa sedikit pun menoleh
ke belakang, walaupun rasa penasaran yang amat besar terus memaksa kami untuk
menoleh. Usai melewati sungai kering dan berjalan naik menyusuri jalan setapak
pun masih saja ada keganjilan yang muncul. Tiba-tiba saja dari arah kiri atau
tebing terdengar suara berisik aneh yang saya sendiri tidak tahu suara apa itu. Juwari
pun mengingatkan kami untuk hanya fokus dengan jalan saja.
Epiloque
Akhirnya
sampailah kami kembali ke pos laporan pendakian. Ada 2 orang yang berjaga di
sana saat kami melapor yang tentunya merupakan manusia asli. Saat kami
menanyakan apakah ada orang yang naik, mereka menjawab bahwa sejak sore tadi
tidak ada seorang pun yang naik. Jawaban tersebut membuat kami bertanya-tanya
mengenai siapa 2 orang yang kami temui di jalan tadi.
Kami segera ke tempat
penitipan motor. Di sana kami terlebih dahulu disambut dengan teh hangat.
Sembari menikmati sajian teh, kami berdiskusi tanya-jawab dengan pemilik tempat
penitipan. Melalui diskusi tanya jawab tersebut, ternyata memang di kawasan
saat kami melihat sosok hitam tinggi besar tadi sering terjadi hal-hal yang
ganjil, terutama bagian sungai kering di dasar lembah. Akhirnya kami pun
kembali melanjutkan perjalanan menuju Yogyakarta dan syukur Alhamdulillah perjalanan kami lancar dan
sampai kembali di kosan sekitar pukul 01.00 WIB.
1 komentar
wuaw...
tiap gunung itu ada mistisnya ya
aku jadi was-was --'
Posting Komentar