Konten [Tampil]
Prologue
Indonesia memang memiliki
berjuta pesona yang tersebar dari ujung timur hingga barat negeri. Keindahan
negeri tersebut bahkan tak hanya tampak di depan mata, namun keindahan tersebut
bahkan dapat ditemukan di bawah permukaan lautnya dan keindahan yang berada
menjulang tinggi di atas langit biru Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Gunung Kerinci; 3805 mdpl
Keindahan alam Indonesia tersebar di masing –
masing pulaunya sebagai suatu negara kepulauan yang mungkin mustahil bagi umur
manusia untuk menjelajah keindahan tiap jengkal kepulauannya. Negeri ini juga
memiliki banyak gunung – gunung yang menjulang tinggi karena memang letaknya
yang berada di jalur cincin api dunia. Gunung – gunung tersebut membentang dari
timur hingga barat negeri sehingga membentuk suatu rangkaian pegunungan
bagaikan paku kepulauan NKRI. Hal tersebut selain membuat Indonesia menjadi
begitu luar biasa subur, juga menjadi magnet para pecinta ketinggian dari
seluruh penjuru dunia.
Banyak gunung – gunung di tanah air yang namanya
sudah mendunia, mulai dari Merapi sebagai gunung api paling aktif sedunia,
Rinjani yang menawarkan pesona keindahan surga dunia, hingga Kerinci sebagai
gunung api tertinggi se Indonesia. Khusus untuk nama terakhirlah yang menjadi
spesial pada catatan perjalanan kali ini. Sebuah perjalanan yang dimulai dari
mimpi yang dirangkai dengan doa dan harapan, sehingga syukur Alhamdulillah perjalanan menuju atap
vulkanik Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dapat tertulis dalam catatan
perjalanan.
Ajakan Tak Terduga
Sebenarnya tidak ada
suatu ambisi besar di dalam hati ES (Entry
Starter) untuk melakukan pendakian menuju atap Sumatera tersebut pada tahun
2015 ini. Berbeda dengan gunung Rinjani yang mana ES sangat ingin ke sana. Hal
tersebut dikarenakan letak gunung Kerinci yang berada di provinsi Jambi; pulau
Sumatera sehingga secara jarak sangatlah jauh dari tempat domisili ES sekarang
di Yogyakarta. Jarak yang jauh tersebut tentunya akan membutuhkan banyak biaya
untuk mencapainya, ditambah menurut catatan pendakian yang ES temukan di
internet; kebanyakan mereka melakukan perjalanan dengan pesawat sehingga
otomatis bukan merupakan perjalanan yang murah bagi ES yang masih berstatus
sebagai mahasiswa ini. Masih jarangnya catatan perjalanan menuju Kerinci via
darat – laut juga membuat ES masih buta akan gambaran perjalanan menuju
Kerinci. Kumpulan halangan tersebut membuat ES tidak berambisi besar untuk
menggapai atap Sumatera, namun tentu saja harapan dan keinginan untuk suatu
saat bisa menginjakkan kaki ini di puncaknya selalu ada dalam hati ini. Hanya
bisa berusaha seperti biasa yaitu sering berdoa, berolahraga dan menabung
sebanyak – banyaknya; tetap yakin bahwa Allah SWT tahu semua di dalam hati ini
sehingga suatu saat Dia akan mengabulkan keinginan besar di dalam hati ini.
Ternyata tak membutuhkan waktu
sampai bertahun – tahun bagi ES untuk dibukakan jalan oleh –Nya menuju atap
pulau Sumatera karena pada pertengahan tahun 2015 ini datang suatu ajakan
pendakian menuju puncak gunung Kerinci. Adalah sebuah ajakan dari orang yang
sudah tidak asing lagi bagi ES, dia adalah bang Aiip yang pada tahun 2014 lalu
juga mengadakan ajakan melakukan pendakian ke gunung Rinjani melalui sebuah
TRIT di Kaskus. Syukur Alhamdulillah tentu
saja ES panjatkan kepada Allah SWT karena telah membukakan jalan bagi harapan
dan keinginan ini untuk tergapai. Tentu saja doa selalu ES panjatkan agar
perjalanan menuju atap Sumatera akan tetap berjalan sesuai rencana sampai
pulang kembali nanti.
Sumber: Facebook Akbar HS
Persiapan juga tentunya
ES lakukan dengan berolahraga, mempersiapkan perlengkapan sebaik mungkin,
pemanasan dengan melakukan pendakian di gunung sekitar tempat tinggal; dengan
tujuan untuk sebisa mungkin tidak merepotkan tim pendakian ES menuju Kerinci nanti.
Pendakian akan dimulai pada hari Sabtu siang tanggal 22 Agustus 2015 dari ibu
kota Jakarta sehingga terlebih dahulu ES harus mempersiapkan tiket untuk menuju
Jakarta dengan Kereta Api Senja Bengawan yang berangkat pada hari Kamis, 20
Agustus 2015. Syukur Alhamdulillah karena
untuk urusan tiket tidak ada masalah.
KAMIS, 20 AGUSTUS 2015; MENUJU IBU KOTA
Langsung saja menuju
hari Kamis, 3 hari usai hari kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Siang itu
cuaca kota Yogyakarta begitu panas saat perjalanan ES menuju stasiun
Lempuyangan, namun entah mengapa udara begitu sejuk di peron stasiun; tempat di
mana penumpang menunggu kedatangan kereta. Menurut jadwal di tiket, kereta api
Senja Bengawan akan berangkat dari stasiun Lempuyangan pada pukul 15.30 WIB.
Tepat pada pukul 15.30 WIB kereta Senja bengawan belum juga tiba yang kemudian
disambung dengan pengumuman dari speaker stasiun bahwa terjadi keterlambatan
kereta api Senja Bengawan.
Tidak terlalu lama ES menunggu karena sekitar
pukul 15.45 WIB kereta api Senja bengawan dengan tujuan ibu kota Jakarta telah
tiba. Jadilah ES segera naik untuk mencari tempat duduk sesuai dengan yang
tercantum di tiket dan juga meletakkan kulkas mini di tempat barang karena
memang berat. Hanya beberapa menit kemudian roda kereta mulai berputar ke arah barat bersamaan dengan
bunyi klakson lokomotiv kereta. Sampai jumpa lagi Yogyakarta; semoga aku bisa
kembali lagi dengan selamat nantinya. Aamiin.
Sama seperti tahun sebelumnya saat ES melakukan
perjalanan dengan menggunakan kereta api yang mana tujuannya saat itu adalah
menuju Banyuwangi. Perjalanan dengan menggunakan jasa kereta api sangatlah
nyaman, meskipun dengan fasilitas kelas ekonomi. Perjalanan dengan menggunakan
jasa kereta api juga lebih cepat, serta terbebas dari kemacetan lalu – lintas.
Kereta Senja Bengawan yang ES gunakan akan
berhenti di stasiun Pasar Senen; Jakarta Pusat. Menurut jadwal yang tertera di
tiket, kereta akan tiba di stasiun Pasar Senen pada pukul 00.00 WIB sehingga
total perjalanan dari Yogyakarta adalah 8 jam. Selama perjalanan ES berkomunikasi
dengan bang Aiip yang mengatakan bahwa ia akan menjemput ES di stasiun Pasar
Senen pada pagi harinya.
Sekitar pukul 23.30 WIB kereta sudah memasuki
kawasan Derah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Pemandangan berupa gedung – gedung
yang menjulang tinggi tampak dari balik jendela malam kereta api. Kereta juga
beberapa kali melewati stasiun – stasiun kecil tempat kereta Commuter Line melayani masyarakat ibu
kota di siang harinya. Sekitar pukul 00.10 WIB akhirnya kereta Senja Bengawan
tiba di stasiun Pasar Senen sehingga semua penumpang turun termasuk ES.
Suasana stasiun saat itu cukup ramai dengan lalu
lalang penumpang kereta. Wajar karena stasiun ini adalah salah satu pintu masuk utama masyarakat menuju ibu kota Jakarta. ES memutuskan untuk tidur di emper stasiun
malam itu, tentunya terlebih dahulu ES mengamankan barang – barang berharga
seperti dompet dan kamera di tempat yang tidak mudah dijangkau saat tidur
nanti.
JUMAT, 21 AGUSTUS 2015; BERTEMU KAWAN LAMA
Dini Hari di Pasar Senen
Pagi pun perlahan hadir.
ES terbangun saat pemilik salah satu toko membangunkan penumpang yang tidur di
depan toko tersebut karena akan buka. Saat itu waktu menunjukkan pukul 05.00
WIB sehingga ES memutuskan untuk shalat subuh di mushalla terdekat. Setelah itu
ES berjalan – jalan sambil sesekali berhenti mendengarkan musik untuk membuang
waktu sampai bang Aiip menjemput ES nanti. Sambil berharap juga bang Aiip tidak
bangun kesiangan.
Sekitar pukul 06.30 WIB bang Aiip kembali
menghubungi ES bahwa sebentar lagi ia akan sampai di stasiun Pasar Senen. ES
segera berjalan ke depan pintu masuk stasiun, ternyata di sana sudah ada bang
Aiip dengan motornya. Langsung saja ES menyalaminya, sebuah keharusan bagi
masyarakat dengan adat timur tentunya saat bertemu dengan temannya. Tak lama
kemudian bang Aiip langsung memacu motornya setelah ES dan kulkas mini siap di
jok belakang. Suasana Jakarta pagi itu sudah mulai ramai dengan aktivitas
masyarakatnya di sepanjang jalan. Kediaman bang Aiip tidak jauh dari stasiun
Pasar Senen, hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit untuk sampai ke
sana. Kegiatan ES selanjutnya adalah mandi pagi setelah perjalanan yang cukup
membuat lelah, dan melanjutkan tidur karena istirahat malam di emper stasiun
tidaklah maksimal.
Jakarte
Sekitar 2 jam setelah ES tidur, bang Aiip
membangunkan ES karena anggota tim selanjutnya; seseorang asal Semarang yang
juga merupakan tim ke Rinjani tahun lalu yaitu bang Aldila Tabah atau bang
Tebeh tiba. Tentu saja ES menyalaminya karena sudah setahun tidak bertemu. Kami
pun bercerita satu sama lain mengenai kesibukan dan hobi masing-masing. Tidak
terasa pula waktu hampir menunjukkan tengah hari yang berarti bahwa waktu untuk
melaksanakan kewajiban sholat Jumat hampir tiba. Kami bertiga langsung berjalan
kaki menuju masjid untuk menunaikan kewajiban sholat Jumat di dekat kediaman
bang Aiip yang juga berada di samping sungai Ciliwung yang terkenal melalui
media massa karena sering banjir pada musim hujan.
Jumatam
Usai sholat kami menghabiskan waktu dengan
banyak beristirahat karena memang perjalanan menuju Jakarta melelahkan,
terlebih kami harus mengadakan perjalanan panjang menuju Jambi pada keesokan
harinya. Oleh karena itu istirahat sangat penting bagi kami. Saat matahari mulai
terbenam, bang Aiip mengajak kami untuk menikmati suasana malam di sebuah taman
di daerah Menteng, sayangnya ES lupa apa nama taman itu pada saat mulai menulis
catatan perjalanan ini. Bersamaan dengan waktu ES bersama bag Aiip dan bang
Tebeh sast itu, teman-teman lama kuliah ES yaitu Iqbal dan Eric menghampiri ES untuk
bertemu sekaligus menghabiskan waktu bersama karena memang sudah lama tidak
bertemu. Jadilah ES berpamitan kepada bang Aiip dan bang Tebeh untuk pergi
bersama 2 teman kuliah ES tersebut.
Night
Bersama Kawan Sastra Inggris 2009
Kami bertiga akhirnya
mengelilingi ibu kota dengan menggunakan mobil Eric. Sepanjang perjalanan kami
saling berbagi cerita mengenai kesibukan masing-masing usai kami berpisah
beberapa waktu yang lalu karena memang Iqbal dan Eric sudah menyelesaikan
kuliah dan kembali ke daerah asal mereka. Tujuan kami yang pertama adalah
menuju sebuah mall yang terletak di pusat ibu kota, mereka berdua mengajak ES
untuk bermain billiar. Sebenarnya agak canggung bagi ES yang merupakan kaum
angkringan dan burjois untuk melakukan hal semacam itu, tapi tak apalah untuk
sekali-kali melakukannya. Ada satu teman ES lagi yang akan datang menyusul pada
malam itu yaitu Afrizal Lutfi atau yang dipanggil Afi karena dia juga sedang
ada di ibu kota untuk melaksanakan tugas dari kantornya. Tak lama kemudian Afi
tiba sehingga total kami berempat bermain billiar, jujur saja ES yang paling
kaku dalam bermain karena memang sangat jarang bermain.
Es: Paling Belakang, Afi: Depan ES
Eric: Kaos Merah. Iqbal: Kaos Abu-abu
Usai bermain billiar,
kami duduk dan mengobrol di sebuah warung burger di mall yang sama sembari
mengobrol tentang banyak hal terutama mengenai dunia kerja yang sudah digeluti
oleh Afi dan Iqbal. Bagi ES tentu saja merupakan sebuah pembelajaran yang
berharga karena beberapa bulan lagi Insya Allah ES akan wisuda dan mulai
memasuki dunia kerja, jadi obrolan dengan Afi dan Iqbal mengenai dunia kerja
akan sangat bermanfaat. Mungkin obrolan ini juga bermanfaat bagi Eric yang juga
sedang berjuang menemukan pekerjaan yang baik. Menjelang tengah malam kami
kembali ke mobil dan mengantarkan Afi ke kantor tempat dia menginap karena dia
harus kembali ke Yogyakarta besok pagi sebab ada acara yang harus dia hadiri di
Yogyakarta keesokan harinya. Usai berpisah dengan Afi, kami berkeliling ibu
kota sejenak sampai akhirnya kami berhenti di tempat peristirahatan di sekitar jalan
Tol Bekasi untuk tidur.
SABTU, 22 AGUSTUS 2015;
PERJALANAN PANJANG DIMULAI
Pada pagi harinya Iqbal dan
Eric mengantarkan ES kembali ke tempat bang Aiip, hanya membutuhkan waktu
sekitar setengah jam sampai akhirnya ES tiba di kembali di tempat bang Aiip.
Kami akhirnya berpisah, tentu saja ES mengucapkan terima kasih kepada teman
lama ES tersebut karena telah diajak berkeliling ibu kota sebelum akhirnya kami
berpisah.
Sesampainya ES kembali
ke rumah bang Aiip, bang Tebeh dan bang Aiip tidak ada di tempat, mungkin
mereka sedang sarapan. ES pun juga sarapan dengan nasi goreng semalam yang
belum sempat ES makan karena ditraktir makan oleh teman-teman lama ES. Tak lama
kemudian bang Aiip dan bang Tebeh kembali dengan membawa sarapan, jadilah kami
bersama lagi pagi itu. Usai sarapan kami segera bersiap dengan mandi dan
melakukan packing kembali untuk
mempersiapkan barang bawaan sebaik mungkin. Sekitar pukul 09.00 WIB, orang
terakhir di rombongan yaitu bang Reza tiba di tempat bang Aiip, dengan ini maka
lengkaplah tim kami yang terdiri dari 4 orang. Bang Reza juga merupakan salah
satu anggota rombongan perjalanan ke Rinjani tahun lalu.
Mulai Berangkat
Menjelang pukul 11.00 WIB kami akhirnya mulai
bergerak untuk memulai perjalanan panjang menggapai atap vulkanik Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Perjalanan kami mulai dengan berjalan kaki dari
tempat bang Aiip ke jalan besar. Awalnya kami berencana untuk menggunakan jasa
busway untuk menuju terminal Rawamangun, tapi sayangnya untuk naik busway harus
menggunakan kartu khusus, sementara kami tidak memilikinya. Akhirnya kami
menggunakan jasa taksi untuk sampai di terminal Rawamangun.
Naksi
Sekitar setengah jam kemudian kami tiba di
terminal Rawamangun. Langsung saja kami segera membeli tiket bus yang akan
membawa kami ke tempat tujuan di tanah Sumatera. Bus yang akan kami gunakan
adalah bus milik PT. Antar Lintas Sumatera (ALS) yang memang melayani perjalanan
dari pulau Jawa ke Sumatera dan sebaliknya. Sekitar tengah hari bus mulai
berangkat dari terminal Rawamangun, namun bus yang kami tumpangi saat itu
bukanlah bus yang akan membawa kami ke Sumatera karena di tempat pemberhentian
bus ALS kami harus berganti dengan armada bus yang akan mengantar kami ke tanah
Sumatera.
Cukup lama kami menunggu karena
baru pukul 13.30 WIB armada bus yang akan membawa kami ke Sumatera tiba.
Langsung saja kami mencari tempat duduk yang tertera di tiket, sementara barang
bawaan kami diletakkan di bagasi. Kami sempat takjub dengan armada bus tersebut
karena banyaknya barang-barang yang diangkutnya di atap dan juga bagasi. Pasti
bus tersebut begitu berat, semoga saja perjalanan kami nanti akan lancar jaya
sentosa. Aamiin.
Sekitar pukul 16.30 WIB bis ALS berhenti di
sebuah warung yang terletak di dekat pelabuhan Merak. Kami segera makan karena
perjalanan dari Jakarta cukup membuat kami lapar. Entah mengapa firasat ES
mengatakan bahwa harga makanannya akan mahal sehingga ES hanya mengambil nasi
sayur dan satu tempe goreng dengan minuman air putih. Syukur Alhamdulillah karena hanya menghabiskan
biaya Rp 8000,00 untuk hidangan tersebut, walaupun sebenarnya masih terlalu
mahal bagi ES. Ada hal cerita menyebalkan terutama bagi bang Aiip; untuk
menghemat biaya makan dia sebenarnya sudah membawa nasi dengan lauk telur dari
rumah sehingga hanya memesan kerupuk dan teh hangat di warung tersebut, tetapi
tidak disangka karena biaya yang harus dia bayarkan adalah Rp 10.000,00, bahkan
lebih mahal daripada ES yang makan berat di warung tersebut. Hal tersebut cukup
membuat bang Aiip kesal. Kamipun berpendapat bahwa untuk ke depannya harus
makan sesederhana mungkin karena harga makanan akan mahal.
Sekitar pukul 17.15 WIB bus mulai memasuki area
pelabuhan untuk memulai penyeberangan menuju pulau Sumatera. Bus mulai memasuki
kapal ferry pada pukul 17.30 WIB, kami mulai turun dan mulai berjalan ke
geladak kapal untuk menikmati suasana di atas kapal. Kami berempat berjalan ke
atap kapal sehingga pemandangan ke arah pelabuhan terlihat luas. Suasana
pelabuhan Merak cukup padat dengan lalu-lintas kapalnya; baik itu kapal kecil,
ferry pengangkut penumpang, sampai kapal barang. Wajar karena pelabuhan ini
adalah penghubung utama antara pulau Jawa dengan Sumatera, terlebih kawasan
industri daerah Cilegon juga tampak dari pelabuhan Merak sehingga tentu
transportasi untuk industri cukup sibuk di pelabuhan ini. Kapal ferry pun lebih
besar daripada yang ada di pelabuhan Ketapang – Gilimanuk yang menghubungkan
Jawa dengan Bali.
Kawasan Pelabuhan Merak
Kapal mulai bergerak dari pelabuhan Merak
sekitar pukul 18.00 WIB. Entah mengapa suasana masih belum begitu gelap,
mungkin karena pelabuhan Merak berada di sebelah barat pulau Jawa sehingga
matahari terbenam agak lebih akhir daripada di Jawa Tengah atau Jawa Timur.
Kami masih tetap mengambil tempat di atap kapal, untuk berlindung dari embusan
angin kami mengambil tempat tepat di belakang tempat kendali kapal yang bisa
menghalangi angin. Ada yang menarik di kapal yaitu saat suara adzan maghrib dan
isya berkumandanga dengan kencang di speaker kapal. Kami menunaikan ibadah
sholat dengan bergantian karena harus ada yang menjaga barang bawaan. Selepas
matahari terbenam kami masih setia berada di tempat kami berada sebelumnya
sambil bercerita mengenai kisah petualangan kami masing-masing sebelumnya.
Kawasan Pelabuhan Merak
Usai isya, kami berpindah ke tempat duduk di
geladak bawah karena cahaya lampu di sisi barat semakin dekat, mengindikasikan
bahwa perjalanan kami dengan menggunakan kapal ferry akan segera tiba di
pelabuhan Bakauheni di Provinsi Lampung. Bagi ES, bang Aiip dan bang Tebeh, ini
adalah pertama kalinya kami akan menginjakkan kaki di tanah pulau besar yang berada
di paling barat Negara Kesatuan Republik Indonesia; Sumatera. Sementara bagi
bang Reza, dia berasal dari Lampung sehingga bisa dianggap sudah pernah
menginjakkan kaki di Sumatera sebelumnya.
Halo Sumatera
Pelabuhan Bakauheni, Lampung
Sekitar pukul 20.30 WIB kami mulai kembali
memasuki bus ALS untuk kembali melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian bus
mulai bergerak keluar kapal dan pelabuhan Bakauheni. Gelapnya malam menyambut
perjalanan kami yang sebagian besar baru pertama kali berada di atas tanah
pulau Sumatera. Bus ALS yang kami tumpangi berjalan menembus gelapnya jalanan
provinsi Lampung. Kondisi jalan cukup baik sejauh ini dan juga cukup lengang,
mungkin karena sudah malam. Sekitar satu jam berjalan, bus kembali berhenti di
restoran masakan Padang. Sesuai yang kami duga sebelumnya, harganya cukup
mahal. ES memesan nasi kuah dengan sayur seharga Rp 10.000,00; sementara 3
orang lainnya membeli nasi goreng seharga Rp 15.000,00, yang penting adalah
perut kami kembali kenyang. Saat bus kembali berjalan kami mulai mengantuk
sehingga memutuskan untuk tidur, sementara bus ALS terus melaju melanjutkan
perjalanannya menyusuri jalur lintas Sumatera.
MINGGU, 23 AGUSTUS 2015;
MENELUSURI JALUR LINTAS SUMATERA
Pagi harinya sekitar sehabis subuh ES terbangun
karena memang pada jam segitu waktunya bangun sholat subuh. Pas sekali karena
bus ALS berhenti di pom bensin untuk memberi kesempatan bagi penumpangnya untuk
menunaikan ibadah sholat subuh di mushalla pom bensin atau ke kamar mandi. Usai
semua penumpang menyelesaikan ibadah dan urusan ke kamar mandi, bus kembali
melaju. Langit yang mulai cerah membuat pemandangan ke luar mulai terlihat.
Hamparan lahan pertanian, perkebunan, dan pepohonan terlihat mendominasi pemandangan
di luar jendela, walaupun sesekali permukiman penduduk yang tidak terlalu luas
terlihat.
Sekitar pukul 07.00 WIB bus berhenti di pinggir jalan yang berada di wilayah Desa Meraksa, Kecamatan Pengandonan, Kabupaten Ogan Komering Ulu. Tidak ada rumah makan di area ini, melainkan hanya ada masjid dan warung kecil yang menjual roti, minuman, dan pop mie sebagai makanan berat.
Banyak juga penumpang yang bertanya-tanya mengapa bus berhenti di daerah ini. Mungkin sopir ingin memberi kesempatan penumpang untuk makan walaupun warung hanya menjual makanan ringan dan juga merebahkan diri usai perjalanan panjang semalam.
Ada hal menarik di daerah ini, ternyata tidak ada kamar mandi bagi masyarakanya. Jika ingin pergi ke kamar mandi masyarakat menggunakan sungai untuk berbagai keperluan mandi, cuci, dan kakus (MCK). Saat bus berhenti, penumpang yang ingin ke kamar mandi pun harus menggunakan sungai yang ada di sekitar lokasi bus berhenti.
Sekitar pukul 07.00 WIB bus berhenti di pinggir jalan yang berada di wilayah Desa Meraksa, Kecamatan Pengandonan, Kabupaten Ogan Komering Ulu. Tidak ada rumah makan di area ini, melainkan hanya ada masjid dan warung kecil yang menjual roti, minuman, dan pop mie sebagai makanan berat.
Berhenti di Sini
Banyak juga penumpang yang bertanya-tanya mengapa bus berhenti di daerah ini. Mungkin sopir ingin memberi kesempatan penumpang untuk makan walaupun warung hanya menjual makanan ringan dan juga merebahkan diri usai perjalanan panjang semalam.
Tempat MCK
Ada hal menarik di daerah ini, ternyata tidak ada kamar mandi bagi masyarakanya. Jika ingin pergi ke kamar mandi masyarakat menggunakan sungai untuk berbagai keperluan mandi, cuci, dan kakus (MCK). Saat bus berhenti, penumpang yang ingin ke kamar mandi pun harus menggunakan sungai yang ada di sekitar lokasi bus berhenti.
Jalan Lintas Sumatera
Sekitar setengah jam berhenti, bus ALS kembali
melaju. Karena sudah terang kami bisa menikmati perjalanan bus yang terus
melaju di atas jalur lintas Sumatera. Pemandangan di luar jendela berupa hutan,
jalanan yang kami lalui cukup berkelok membelah pegunungan dengan hutan di
samping kanan dan kiri jalan. Rumah-rumah penduduk di provinsi Sumatera Selatan
dari daerah Ogan Komering Ulu sampai Muaraenim yang dilalui bus ALS berbentuk
khas dengan bentuk seperti rumah panggung yang mana masyarakat tinggal di
lantai kedua. Ternyata Sumatera memang luas karena pada tengah hari kami baru sampai
di Lahat saat bus berhenti lagi di sebuah rumah makan Padang. Tentu saja kami
masih menyadari bahwa harganya pasti mahal sehingga ES hanya memesan nasi kuah
yang harganya Rp 7.000,00. Cukup lama bus ALS berhenti di Lahat, sepertinya ada
sedikit kerusakan di mesinnya sehingga harus diperbaiki. Sekitar satu setengah
jam bus berhenti sebelum akhirnya kembali melaju melanjutkan perjalanannya.
Rusak Rek
Sore harinya sekitar pukul 17.15 WIB bus kembali
berhenti, kali ini bukan di rumah makan tetapi karena bus mengalami gangguan
mesin. Hanya sekitar 15 menit saja bus berhenti sebelum akhirnya perjalanan
dilanjutkan kembali. Tentu saja penumpang bus berharap agar ke depannya tidak
ada lagi gangguan mesin pada bus yang akan mengantar kami semua sampai tujuan
ini. Sekitar maghrib bus mulai memasuki Kota Lubuklinggau, rasanya melelahkan
karena kami sudah melakukan perjalanan selama 30 jam dan belum juga sampai tujuan,
bahkan lokasi kami saat itu masih di provinsi Sumatera Selatan. Malam harinya
sekitar pukul 19.30 WIB, bus kembali berhenti di sebuah rumah makan padang.
Sama seperti sebelumnya yang mana kami hanya memesan makanan termurah yaitu
nasi kuah, semoga ini adalah rumah makan terakhir yang kami kunjungi dalam
perjalanan dari Jakarta sampai Bangko. Setelah bus kembali berjalan kami
kembali tidur karena perjalanan panjang benar-benar sangat melelahkan.
SENIN, 24 AGUSTUS 2015; MENUJU KABUPATEN KERINCI
Menjelang tengah malam
kernet bus mengatakan bahwa bus akan segera memasuki kota Bangko yang merupakan
ibu kota Kabupaten Merangin di Provinsi Jambi. Kami segera bangun dan melakukan
persiapan, walaupun dengan mata yang berat karena tengah malam adalah waktunya beristirahat.
Setidaknya akhirnya perjalanan panjang kami dengan ALS berakhir karena memang
benar-benar melelahkan dan juga menjenuhkan dengan terus duduk di bangku bus selama
perjalanan yang mencapai 36 jam.
Panser ALS
Akhirnya kami turun di pinggir jalan, entah mengapa
bus tidak menurunkan kami di terminal Kota Bangko. Setelah kami turun dan
kembali menggendong tas carrier kami, segera saja kami menepi untuk
beristirahat sejenak; sementara bus ALS yang kami naiki tadi terus melaju ke
arah utara. Yah, terima kasih ALS yang telah mengantarkan kami dari Jakarta
sampai Kota Bangko di Provinsi Jambi. Kami memang sudah sampai di Kota Bangko,
tapi bukan berarti perjalanan kami berakhir karena kami masih harus melanjutkan
perjalanan menuju Kota Sungai Penuh yang merupakan ibu kota Kabupaten Kerinci
yang terletak di Provinsi Jambi sebelah barat, bersebelahan dengan Provinsi
Bengkulu dan Sumatera Barat.
Malam itu jelas tidak banyak kendaraan umum yang
berlalu-lalang di jalan utama Kota Bangko. Setelah mencari-cari informasi ternyata
cara paling cepat untuk mencapai Kota Sungai Penuh adalah dengan mencarter
sebuah mobil. Jadilah akhirnya kami mencarter sebuah mobil untuk menuju Kota
Sungai Penuh, tapi sayang kehadiran calo membuat kami harus merogoh kocek
hingga sekitar Rp 150.000,00. Mobil pun mulai bergerak menuju Kota Sungai
Penuh, dari obrolan dengan supir kami mendapatkan informasi bahwa biaya untuk
mencarter mobil sebenarnya hanya Rp 100.000,00 per orang jika langsung
menghubungi sopir. Oleh karena itu bang Aiip meminta nomor sopir untuk
perjalanan pulang besok. Yah, memang perjalanan pertama kemungkinan akan
terjebak oleh calo semacam ini; anggap saja sebagai bumbu agar perjalanan
semakin terasa.
Hari yang sudah memasuki tengah malam membuat
kami berempat mengantuk sehingga akhirnya tertidur, sementara mobil tetap
melaju menuju Kota Sungai Penuh. Entah apa yang terjadi dengan perjalanan malam
itu karena kami semua tertidur. Sempat ES terbangun sebentar dan saat melihat
kondisi jalan ternyata kabut tebal menyelimuti jalanan, namun mobil tetap
melaju dengan kencang sehingga terasa seperti terbang. Sebenarnya merupakan hal
yang mengerikan dengan kondisi semacam itu, tapi karena sudah mengantuk membuat
ES tidak peduli dengan kondisi seperti itu dan melanjutkan tidur.
Masjid Sungai Penuh
Sekitar pukul 04.00 WIB akhirnya mobil sampai di
Kota Sungai Penuh. Kondisi udara cukup dingin, mungkin karena letak kota ini
yang cukup berada di ketinggian ditambah dengan suasana pagi yang dingin.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada sopir, kami berjalan menuju masjid
besar yang letaknya tidak jauh dari tempat kami turun. Kami duduk dan rebahan
di sekitar masjid sampain akhirnya pintu masjid dibuka karena sudah masuk waktu
subuh. Kami segera masuk untuk melaksanakan kewajiban sholat subuh terlebih
dahulu kemudian usai sholat, kami tidur di dalam masjid yang suasananya cukup
nyaman.
Rebahan
Kami mulai bangun kembali pada sekitar pukul
07.00 WIB dan berjalan keluar masjid. Perjalanan kami belumlah selesai karena
masih harus melanjutkan perjalanan dengan angkot sampai ke pos registrasi
pendakian Gunung Kerinci yang terletak di Desa Kersik Tuo. Kami berjalan sampai
ke jalan utama Kota Sungai Penuh untuk mecari angkot yang akan membawa kami ke
Desa Kersik Tuo. Sebelumnya kami sarapan terlebih dahulu dengan makanan yang
kami beli di pinggir jalan, kali ini harganya lebih terjangkau dan rasanya
lebih enak daripada nasi kuah di rumah makan Padang pada perjalanan kami kemarin.
Sarapan
Kota Sungai Penuh
Akhirnya kami mendapatkan angkot untuk menuju
Desa Kersik Tuo dengan biaya Rp 10.000,00 per orang. Ternyata perjalanan dari
Kota Sungai Penuh sampai ke Desa Kersik Tuo cukup jauh, membutuhkan 2 jam lebih
untuk mencapainya. Perjalanan sudah tidak lagi jauh saat angkot mulai memasuki
area perkebunan teh Kayu Aro yang berada di kaki Gunung Kerinci. Pemandangan di
sini sangat memanjakan mata karena sejauh mata memandang hamparan perkebunan
teh menghiasi pandangan sejauh mata memandang. Sementara Gunung Kerinci berdiri
dengan gagahnya di antara hamparan perkebunan teh.
Akhirnya setelah perjalanan panjang, sekitar
pukul 10.00 WIB kami tiba di pos pendaftaran pendakian Gunung Kerinci. Kami
terlebih dahulu beristirahat dengan tiduran di bawah pohon. Kami juga menunggu
teman bang Tri; salah satu anggota tim pendakian ke Rinjani tahun lalu, bernama
mas Giyanto yang mana kami akan menginap di rumahnya dan juga beliau akan
memandu kami selama berada di kawasan Gunung Kerinci. Ternyata di daerah Kersik
Tuo terdapat banyak orang Jawa, mereka berkomunikasi dengan bahasa Jawa, ada
juga yang berkomunikasi dengan bahasa ngapak.
Kantor Taman Nasional Kerinci Seblat
Tak lama kemudian orang yang bernama mas Giyanto
tiba. Kami segera memperkenalkan diri dan menyalami beliau. Kemudian kami mulai
melakukan pendaftaran untuk keesokan harinya. Usai mendaftar kami mulai
berangkat menuju kediaman mas Giyanto dengan menggunakan mobil pick up.
Kediaman mas Giyanto terletak di Desa Gunung Labuh yang merupakan sentra perkebunan di Kabupaten Kerinci. Pemandangan berupa perkebunan menghiasai pandangan mata sepanjang perjalanan menuju rumah mas Giyanto.
Ndaftar
Kediaman mas Giyanto terletak di Desa Gunung Labuh yang merupakan sentra perkebunan di Kabupaten Kerinci. Pemandangan berupa perkebunan menghiasai pandangan mata sepanjang perjalanan menuju rumah mas Giyanto.
Turut Ndeso
Hanya 10 menit perjalanan dari pos pendaftaran
Gunung Kerinci sampai ke rumah mas Giyanto. Kami langsung rebahan setelah
perjalanan panjang, kami juga langsung mandi karena memang sudah 40 jam lebih
tidak mandi. Setelah mandi kami dijamu dengan makanan dengan lauk yang diambil
langsung dari perkebunan di sekitar rumah mas Giyanto. Memang masyarakat di
Desa Gunung Labuh tidak kesulitan saat ingin makan karena memang hasil
perkebunan begitu melimpah, selain itu Kabupaten Kerinci banyak akan sawah yang
membuat produksi padi cukup melimpah.
Rumah Mas Giyanto
Sore harinya kami diajak oleh mas Giyanto
mengunjungi kebunnya untuk memanen bahan makanan untuk makan malam. Mas Giyanto
meminjamkan kami motor sehingga kami transportasi menuju kebun tidaklah sulit.
Sesampainya di kebun kami segera diarahkan oleh mas Giyanto untuk memanen tanaman yang memang siap untuk dipanen seperti tomat, kol, kubis, dan sebagainya. Ternyata memang perkebunan di area Desa Gunung Labuh begitu luas, mas Giyanto juga menceritakan bahwa hasil panen perkebunan dikirim ke kota-kota besar seperti Jambi, Padang, Palembang, bahkan sampai ke Jakarta.
OTW Kebon
Sesampainya di kebun kami segera diarahkan oleh mas Giyanto untuk memanen tanaman yang memang siap untuk dipanen seperti tomat, kol, kubis, dan sebagainya. Ternyata memang perkebunan di area Desa Gunung Labuh begitu luas, mas Giyanto juga menceritakan bahwa hasil panen perkebunan dikirim ke kota-kota besar seperti Jambi, Padang, Palembang, bahkan sampai ke Jakarta.
Sobo Kebon
Tomat
Malam harinya kami kembali dijamu makan malam
dengan bahan-bahan dari tanaman yang kami panen tadi. Sembari makan kami saling
bertukar cerita dengan mas Giyanto; membicarakan mengenai kisah pendakian
Gunung Kerinci hingga kondisi masyarakat di Desa Gunung Labuh. Sekitar pukul
21.00 WIB kami tidur ruang tamu, kondisi udara cukup dingin karena memang letak
Desa Gunung Labuh yang berada di ketinggian dan kaki Gunung Kerinci sehingga
kami harus mengenakan jaket dan sarung agar tidak kedinginan.
SELASA, 25 AGUSTUS 2015;
PERJALANAN MENGGAPAI ATAP SUMATERA DIMULAI
Adzan subuh mulai berkumandang memecah
keheningan malam Desa Gunung Labuh. Kami segera bangun untuk menghilangkan
dingin. Tidak lupa ES pergi ke masjid di mana adzan subuh berkumandang untuk
menunaikan ibadah sholat subuh. Saat matahari semakin tinggi kami segera
mempersiapkan diri untuk perjalanan menggapai atap Sumatera yang akan dimulai
beberapa saat lagi. Setelah mandi kami mulai menata barang bawaan kami,
meninggalkan apa yang tidak dibutuhkan saat pendakian nanti, hingga melengkapi
yang masih kurang.
Welcome to Kerinci
Rules
Kami langsung menuju gerbang pendakian Gunung
Kerinci dengan menggunakan motor. Sekitar pukul 08.20 WIB kami tiba di pintu
gerbang pendakian Gunung Kerinci. Kami ditemani oleh rekan mas Giyanto bernama
Pak Alex untuk berjaga-jaga karena kami berempat baru pertama kali melakukan
pendakian ke Gunung Kerinci. Usai berfoto di tulisan Taman Nasional Kerinci
Seblat, kami segera berjalan memasuki kawasan pendakian Gunung Kerinci.
Pintu Rimba
Kewaspadaan langsung kami tingkatkan begitu
memasuki pintu rimba karena menurut informasi yang kami dapatkan, Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS) adalah habitat dari harimau Sumatera. Selain itu
gajah liar juga masih banyak ditemukan di kawansan TNKS sehingga kami harus
berhati-hati jika secara mendadak kami bertemu dengan mereka. Rute awal begitu
kami memasuki pintu rimba adalah hutan yang lebat di samping kanan dan kiri
jalur. Kondisi begitu lembap karena di beberapa tempat genangan yang tertutup
oleh bayangan pepohonan yang membuat cahaya matahari terhalang untuk mencapai
tanah. Beberapa tempat juga cukup becek karena hujan masih sering turun di area
Gunung Kerinci sehingga kami harus berhati-hati dalam melangkah untuk menjaga
alas kaki kami agar tetap kering.
Rute Awal
Hutan Hujan Tropis Sumatera
Sekitar satu jam kemudian dari pintu rimba, kami
tiba di pos I Gunung Kerinci. Terdapat tempat duduk di pos ini. Kami juga
bertemu dengan rombongan pendaki lain yang cukup banyak di pos I ini. Hanya sebentar
kami beristirahat di pos I karena kami belum terlalu lelah. Perjalanan kami
lanjutkan kembali menyusuri hutan hujan tropis Gunung Kerinci. Rute pendakian
masih sama dengan sebelumnya yaitu dengan hutan yang lebat di sisi kanan dan
kiri jalur dan kondisi yang begitu lembap. Sekitar satu jam kemudian kami tiba
di pos II Gunung Kerinci. Pos II Gunung Kerinci cukup sederhana dengan hanya
berupa tanah datar dengan plang penanda bahwa itu adalah pos II Gunung Kerinci.
Bung @aiipsrude, @rezha_anwar, @beardpacker
Kami beristirahat di pos II sekitar 15 menit
sebelum akhirnya kembali melangkahkan kaki menuju pos selanjutnya. Rute mulai
menanjak usai pos II sehingga cukup membutuhkan usaha lebih untuk melaluinya.
Kondisi jalur juga masih becek di beberapa titik sehingga kaki masih harus
berhati-hati dalam melangkah, sementara lembapnya udara membuat air dan tenaga
kami terasa menguap. Cukup cepat kami melangkah karena sekitar setengah jam
kemudian kami sampai di pos III Gunung Kerinci. Pos III Gunung Kerinci berupa
tanah datar dengan shelter dan tempat duduk, di sini kami bertemu dengan
rombongan besar pendaki dari daerah Jawa Barat.
Lanjut
Pos III
Sama seperti pada saat kami ada di pos II, hanya
membutuhkan waktu 15 menit bagi kami untuk beristirahat kemudian berjalan
kembali. Kami melanjutkan perjalanan bersama dengan rombongan dari Jawa Barat
tersebut. Ternyata mereka begitu cepat dalam melangkah sehingga membuat kami
sempat heran, tetapi setelah kami bertanya kepada pemandu mereka ternyata
barang bawaan mereka yang berat dipasrahkan kepada pemandu tersebut sehingga barang
bawaan mereka tidaklah berat. Pantas saja kecepatan mereka begitu tinggi dalam
melangkah. Membutuhkan waktu sekitar 75 menit sampai kami tiba di shelter I
Gunung Kerinci. Perlu diketahui bahwa batas aman untuk berkemah adalah di
shelter I ini karena di bawah shelter I harimau Sumatera dan gajah liar masih
sering berkeliaran.
Kami beristirahat sekitar 15 menit di shelter I
ini. Sekitar pukul 11.43 WIB kami berjalan kembali menuju shelter II. Kondisi
jalur mulai penuh dengan tanjakan usai shelter I. Banyaknya tanjakan lebih dari
saat kami melangkah di area pintu rimba hingga pos III. Cukup melelahkan untuk
melewati tanjakan-tanjakan usai shelter I, bahkan membuat kami harus memakan
cemilan di tengah jalan karena usaha melewati tanjakan membuat kami lapar.
Membutuhkan waktu 4 jam bagi kami untuk melewati tanjakan menuju Shelter II.
Rasanya sangat bersyukur sekali saat kami sampai di shelter II.
Tenda ES di Shelter II
Sebenarnya kami berencana untuk melanjutkan
perjalanan sampai shelter III karena tempat itu adalah yang biasa digunakan
pendaki Kerinci untuk bermalam sebelum melakukan summit attack menuju puncak
Gunung Kerinci. Sayangnya keadaan membuat kami merasa ragu-ragu karena di
langit suara petir terdengar bergemuruh.
Pak Alex menyarankan kami untuk berkemah di shelter II saja untuk mengantisipasi jika turun hujan. Akhirnya kami memilih untuk mengambil amannya saja dengan berkemah di shelter II. Kami mulai mendirikan tenda yang merupakan tenda milik ES yang akhirnya sampai ke tanah Kerinci juga.
Tenda kami dirikan dengan flysheet ganda untuk mengantisipasi dingin dengan flysheet satu lagi milik bang Reza. Setelah tenda berdiri kami segera menata barang-barang dan memasak untuk mengisi perut sebelum tidur. Menu makan kali ini adalah nasi dengan mie rebus dengan sambal kentang yang diberikan mas Giyanto sebelum kami melakukan pendakian.
Cuaca Mendung
Pak Alex menyarankan kami untuk berkemah di shelter II saja untuk mengantisipasi jika turun hujan. Akhirnya kami memilih untuk mengambil amannya saja dengan berkemah di shelter II. Kami mulai mendirikan tenda yang merupakan tenda milik ES yang akhirnya sampai ke tanah Kerinci juga.
Masak
Tenda kami dirikan dengan flysheet ganda untuk mengantisipasi dingin dengan flysheet satu lagi milik bang Reza. Setelah tenda berdiri kami segera menata barang-barang dan memasak untuk mengisi perut sebelum tidur. Menu makan kali ini adalah nasi dengan mie rebus dengan sambal kentang yang diberikan mas Giyanto sebelum kami melakukan pendakian.
Mangan
Setelah makan kami segera tidur untuk mempersiapkan perjalanan menuju puncak yang rencananya akan kami laksanakan pada malam hari.
RABU, 26 AGUSTUS 2015; ATAP VULKANIK REPUBLIK INDONESIA
Sekitar pukul 01.30 WIB kami bangun dan memulai
persiapan Summit Attack menuju puncak
Gunung Kerinci dengan ketinggian 3805 meter di atas permukaan laut. Persiapan
yang kami lakukan terutama adalah mengenai barang bawaan yang akan kami bawa ke
puncak. Tentu saja bawaan yang berat tidak kami bawa. Sama seperti saat akan
melakukan Summit Attack ke puncak
Mahameru di Jawa yang hanya membawa bawaan seperlunya. Malam itu kami membawa
air minum, cemilan, alat elektronik dan bawaan pribadi yang tidak memberatkan
untuk dibawa naik, sementara senter-senter kami sudah siap untuk menerangi rute
pendakian yang gelap.
Sekitar setengah jam kemudian kami mulai
berjalan menuju atap Sumatera. Rute yang menanjak langsung menyambut kami
begitu kami mulai melangkah. Rute menuju shelter 3 semakin menyusahkan saat
kami terus melangkahkan kaki secara perlahan, bahkan seringkali kami harus
berpegangan kepada akar untuk melewati sebuah tanjakan terjal yang bagaikan
dinding di depan kami. Diperlukan wawasan yang luas untuk mencari cara
alternatif melewati tanjakan terjal tersebut karena seringkali pula kami harus
mundur beberapa langkah dari dinding tanjakan di depan kami untuk mencari
pijakan guna melangkah naik melalui tanjakan tersebut. Rute menuju shelter III
berbentuk seperti terowongan alami karena banyak tumbuhan yang tumbuh hingga
membentuk terowongan. Sulitnya rute menuju shelter III ternyata juga membuat
kami sangat bersyukur untuk berkemah di shelter II dan meninggalkan barang
bawaan yang berat di sana. Terbayang betapa susahnya jika kami harus membawa
barang bawaan berat dengan carrier kami melalui rute yang sulit semacam ini.
Sekitar pukul 03.45 WIB kami akhirnya sampai di
shelter III pendakian Gunung Kerinci. Pepohonan sudah tidak tampak lagi di
shelter III ini, yang ada hanyalah rerumputan yang tumbuh di sekitar shelter
terakhir pada rute pendakian Gunung Kerinci ini. Medan mulai terbuka di sini
sehingga jika angin bertiup suhu udara akan mejadi dingin, beruntung karena
angin tidak berembus kencang saat itu sehingga kami tidak kedinginan, walaupun
tentunya tetap saja udaranya dingin. Terdapat beberapa tenda yang dugunakan
oleh pendaki untuk berkemah di shelter III ini, namun kebanyakan belum ada
aktivitas dari dalam tenda.
Malam Seribu Bintang
Photo by: Bang Aiip
Malam itu langit di atas Gunung Kerinci cukup
cerah, walaupun terkadang kami melihat ada beberapa titik awan yang berjalan
dengan samar di tengah gelapnya langit malam. Ribuan bintang berhamburan di
atas kepala kami, sebuah karya agung ciptaan Allah SWT yang sangat luar biasa.
Sesekali angin malam berhembus, menyebabkan suhu udara bertambah dingin,
terlebih kami sedang dalam posisi beristirahat yang mana tidak melakukan banyak
gerakan untuk menghangatkan badan. Indahnya suasana saat itu tentunya tidak
dilewatkan oleh bang Aiip begitu saja yang membawa serta kamera DSLR nya.
Satu-per satu kami berfoto dengan latar belakang hamparan bintang yang
menakjubkan. Sebuah foto kenangan yang tentunya tidak akan pernah terlupakan.
Pak Alex & Bang Tebeh
Photo By: Bang Aiip
Kedua kaki kami mulai melangkah menapaki
terjalnya rute akhir menuju puncak setelah kami puas mengabadikan momen. Rute
selanjutnya adalah rute khas gunung api sebelum puncak yang mana tanjakan
semakin terjal dengan pasir, kerikil, dan bebatuan yang kami tapaki. Tidak ada
lagi tumbuhan di sekitar kami tempat kami berjalan malam itu. Kondisi medan
yang mulai terbuka menyebabkan angin berhembus dengan bebasnya menerpa tubuh
kami, menyebabkan kedinginan saat berhenti beristirahat sehingga mau tidak mau
kami harus terus melangkah naik dan tidak beristirahat terlalu lama. Kondisi
gelap membuat kami harus ekstra waspada dalam memilih pijakan untuk terus
melangkah naik. Lereng yang kami daki saat itu juga cukup luas sehingga kami
harus pintar-pintar memilih sisi mana yang akan dilalui. Beruntung saat itu
kami ditemani oleh pak Alex yang memang sudah berpengalaman dalam melakukan
pendakian ke Gunung Kerinci sehingga beliau memilihkan kami rute yang cukup
mudah untuk dilalui.
Kawasan Tugu Yudha
Langit sudah mulai cerah saat kami sampai di Tugu
Yudha. Tempat ini merupakan dataran luas dengan banyak bebatuan yang
berserakan, agak mirip dengan Pos Pasar Bubrah di Gunung Merapi. Tempat kami
berada saat itu dinamakan Tugu Yudha karena di sana terdapat sebuah memoriam
bertuliskan Yudha Sentika; pendaki Kerinci yang hilang pada tahun 1991 silam.
Memoriam tersebut juga merupakan penanda bagi para pendaki Gunung Kerinci
sebagai jalur pendakian yang benar. Puncak Indrapura Gunung Kerinci membentang
di depan kami, berupa sebuah tanjakan terjal terakhir yang akan kami lalui
sebelum puncak. Kami beristirahat sejenak di sini, menunggu agar langit sedikit
lebih terang lagi karena suhu udara akan sangat dingin di puncak nanti apabila
kami sampai di puncak terlalu pagi.
In Memoriam Yudha Sentika
Mulai Terang
Saat langit sudah dirasa cukup terang, kami
mulai berjalan naik menuju Indrapura. Perlahan tapi pasti langit timur mulai
terang sehingga akhirnya matahari pagi pun menampakkan dirinya dari ufuk timur
di atas langit Pulau Sumatera.
Tentunya sebuah pengalaman tak terlupakan bagi kami semua menyaksikan indahnya matahari terbit dari salah satu titik tertinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sunrise Langit Sumatera
Rest
SANG PENYANGGA LANGIT SUMATERA
Puncak Indrapura, 3805 mdpl
Sekitar pukul 07.40 WIB, akhirnya jiwa dan raga
ini sampai juga di puncak gunung berapi tertinggi di tanah Merah-putih. Rasanya
sungguh luar biasa, sebuah pencapaian yang tidak bisa diungkapkan dengan
kata-kata; bagaimana perjalanan yang sebelumnya serasa mustahil untuk dilakukan
akhirnya bisa terwujud.
Rasanya benar-benar masih sulit dipercaya walaupun kedua mata ini sudah melihat plang penanda bahwa tempat tersebut adalah puncak Gunung Kerinci; atap vulkanik NKRI. Tentu saja yang utama adalah rasa syukur atas berkah dan karunia Allah SWT; Tuhan semesta alam yang telah membuat jiwa dan raga ini sampai ke Puncak Indrapura.
Saat itu masih sulit untuk percaya bahwa tanah berpasir yang ada di bawah sepatu ini memiliki ketinggian 3805 meter di atas permukaan laut. Entah apa yang bisa membuat jiwa dan raga ini percaya bahwa saat itu berada di atap Pulau Sumatera sekaligus atap vulkanik Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Timur
Rasanya benar-benar masih sulit dipercaya walaupun kedua mata ini sudah melihat plang penanda bahwa tempat tersebut adalah puncak Gunung Kerinci; atap vulkanik NKRI. Tentu saja yang utama adalah rasa syukur atas berkah dan karunia Allah SWT; Tuhan semesta alam yang telah membuat jiwa dan raga ini sampai ke Puncak Indrapura.
Alhamdulillah
Saat itu masih sulit untuk percaya bahwa tanah berpasir yang ada di bawah sepatu ini memiliki ketinggian 3805 meter di atas permukaan laut. Entah apa yang bisa membuat jiwa dan raga ini percaya bahwa saat itu berada di atap Pulau Sumatera sekaligus atap vulkanik Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tepi Langit
Atap puncak Gunung Kerinci berupa lubang kawah
yang menganga luas tepat di samping tempat kami berpijak. Dasar kawah tidak
tampak karena saking dalamnya ditambah kondisi kawah yang mengeluarkan asap
belerang semakin menghalangi pandangan ke arah dasar kawah.
Pemandangan terbuka tersaji di ujung Sumatera, akan tetapi cuaca yang cukup berawan membuat pandangan tidak bisa jauh ke ujung cakrawala. Beberapa awan hujan dengan kilatan petirnya tampak dari kaki langit arah selatan, barat, dan barat laut mengelilingi Gunung Kerinci sehingga membuat kami khawatir jika akan terjadi badai. Cuaca yang cukup berawan bukan berarti membuat pemandangan tidak indah, keelokan hamparan pemandangan terbuka dari berbagai sisi tetap tersaji di depan mata kami.
Jauh di sis timur tampak jajaran Gunung Tujuh yang mana di sana
terdapat Danau Gunung Tujuh; danau tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Terlihat
di sekeliling gunung masih terselimuti hutan yang lebat, sementara pemandangan
perkotaan tidak tampak dari puncak Kerinci. Hal tersebut menandakan bahwa Taman
Nasional Kerinci Seblat sangatlah luas; yang mana merupakan habitat alami bagi harimau
sumatera, gajah sumatera, serta flora dan fauna lainnya. Semoga kelestarian
alamnya akan terus terjaga hingga kapanpun.
Perjalanan menuju puncak
Kerinci yang menurut kami tidak sesulit perjalanan menuju puncak Mahameru
membuat kami sempat berpikir bahwa perjalanan turun akan mudah. Sayangnya
pemikiran kami tersebut salah karena medan berupa batuan, kerikil, serta pasir
halus membuat medan yang kami lalui cukup licin sehingga seringkali membuat
kami terpeleset beberapa kali. Kondisi medan yang licin diperparah dengan
struktur batuan di sekitar yang merupakan batuan tajam. Bahkan saat tangan
mencoba untuk ikut menopang berat badan saat melangkah turun, batuan tajam
tersebut cukup membuat tangan perih, terlebih jika sampai terpeleset dan jatuh
di atas batuan tajam tersebut pasti jelas rasanya akan begitu menyakitkan.
Perjalanan turun dari puncak Kerinci juga membutuhkan wawasan dan kewaspadaan
tinggi mengenai rute turun yang benar karena jalan turun yang benar adalah yang
melewati Tugu Yudha kembali; sebagai patokan jalan turun yang benar.
Usai melewati Tugu Yudha, perjalanan menuju Shelter III juga masih sama, kewaspadaan hingga kecermatan tinggi wajib dimiliki oleh pendaki karena rute yang benar adalah sedikit ke arah kanan. Beruntung saat itu tenda-tenda di Shelter III terlihat sehingga kami bisa menentukan arah turun kami.
Jika sampai salah mengambil jalur maka bukannya akan tiba di Shelter III Gunung Kerinci, tetapi akan sampai di tempat yang dinamakan Lembah Dewa. Kedengarannya memang seperti tempat yang indah, tetapi itu adalah salah satu jalan buntu di mana pendaki bisa tersesat.
Kawah Kerinci
Pemandangan terbuka tersaji di ujung Sumatera, akan tetapi cuaca yang cukup berawan membuat pandangan tidak bisa jauh ke ujung cakrawala. Beberapa awan hujan dengan kilatan petirnya tampak dari kaki langit arah selatan, barat, dan barat laut mengelilingi Gunung Kerinci sehingga membuat kami khawatir jika akan terjadi badai. Cuaca yang cukup berawan bukan berarti membuat pemandangan tidak indah, keelokan hamparan pemandangan terbuka dari berbagai sisi tetap tersaji di depan mata kami.
Sujud Syukur
Cukup lama kami menghabiskan waktu di puncak
Kerinci. Wajar saja karena kapan lagi kami bisa melakukan hal tersebut.
Bagaimanapaun juga kesempatan untuk bisa berdiri di atas ketinggian 3805 meter
di atas permukaan laut itu adalah kesempatan yang langka bagi kami. Matahari
semakin lama semakin naik dari ujung ufuk timur, sebenarnya kami masih ingin
berlama-lama berada di puncak, akan tetapi kami khawatir jika hujan akan turun
karena banyaknya awan hujan di sekeliling gunung. Kamipun akhirnya turun
sekitar pukul 08.30 WIB, cukup berat rasanya untuk meninggalkan puncak karena
mungkin membutuhkan waktu lama bagi kami untuk kembali ke sana lagi. Ucapan
syukur sekali lagi kami ucapkan, sekaligus ucapan selamat tinggal kepada Puncak
Indrapura yang merupakan tujuan sebagian pendaki di tanah berkibarnya bendera
merah-putih ini.
SAMPAI JUMPA LAGI INDRAPURA
Down The Indrapura
Pakai Toga
Usai melewati Tugu Yudha, perjalanan menuju Shelter III juga masih sama, kewaspadaan hingga kecermatan tinggi wajib dimiliki oleh pendaki karena rute yang benar adalah sedikit ke arah kanan. Beruntung saat itu tenda-tenda di Shelter III terlihat sehingga kami bisa menentukan arah turun kami.
Menuju Atap Sumatera
Jika sampai salah mengambil jalur maka bukannya akan tiba di Shelter III Gunung Kerinci, tetapi akan sampai di tempat yang dinamakan Lembah Dewa. Kedengarannya memang seperti tempat yang indah, tetapi itu adalah salah satu jalan buntu di mana pendaki bisa tersesat.
Shelter III lagi
Medan turun masih sulit bahkan usai sampai di
Shelter III yang merupakan batas vegetasi dan medan khas menuju puncak gunung
api. Medan menuju Shelter II yang kami lewati semalam ternyata cukup sadis
untuk dilalui turun. Resiko terpeleset masih ada karena walaupun medan yang
kami lalui sudah berupa tanah, kondisinya basah sehingga cukup licin.
Jalan yang kami lalui saat itu begitu terjal untuk dituruni. Kondisi jalur berupa hutan yang cukup rapat, walaupun tinggi pohonnya tidak seberapa, bahkan di beberapa titik terdapat jalur yang tampak seperti terowongan gelap karena pepohonan tumbuh melingkar di atas jalur pendakian. Pantas saja keadaannya becek karena selain masih sering diguyur hujan, tumbuhan yang menutupi permukaan tanah menghalangi penguapan air. Keterjalan jalur turun juga membuat kami berulang kali menyiksa lutut dengan memaksa melompat turun dari ketinggian yang bahkan lebih tinggi dari badan kami.
Tentunya kami tetap berhati – hati serta tetap berusaha untuk mengukur kemampuan fisik ini mengenai setinggi apa turunan yang kami lompati. Jelas saja, kami tidak ingin sampai cedera akibat melompat dari tempat yang terlalu tinggi. Kami akhirnya tiba di shelter II; tempat tenda kami berada sekitar pukul 11.00 WIB, kami beristirahat dahulu di sini dengan berbaring, makan, hingga menjemur pakaian kami yang basah.
Jalur Pendakian Shelter III-Shelter II
Jalan yang kami lalui saat itu begitu terjal untuk dituruni. Kondisi jalur berupa hutan yang cukup rapat, walaupun tinggi pohonnya tidak seberapa, bahkan di beberapa titik terdapat jalur yang tampak seperti terowongan gelap karena pepohonan tumbuh melingkar di atas jalur pendakian. Pantas saja keadaannya becek karena selain masih sering diguyur hujan, tumbuhan yang menutupi permukaan tanah menghalangi penguapan air. Keterjalan jalur turun juga membuat kami berulang kali menyiksa lutut dengan memaksa melompat turun dari ketinggian yang bahkan lebih tinggi dari badan kami.
Jalur Pendakian Shelter III-Shelter II
Tentunya kami tetap berhati – hati serta tetap berusaha untuk mengukur kemampuan fisik ini mengenai setinggi apa turunan yang kami lompati. Jelas saja, kami tidak ingin sampai cedera akibat melompat dari tempat yang terlalu tinggi. Kami akhirnya tiba di shelter II; tempat tenda kami berada sekitar pukul 11.00 WIB, kami beristirahat dahulu di sini dengan berbaring, makan, hingga menjemur pakaian kami yang basah.
Setelah dirasa cukup beristirahat, kami mulai
mengemasi barang-barang dan juga melipat tenda. Tidak butuh waktu lama, kami
segera melanjutkan perjalanan turun setelah itu. Kondisi jalur pendakian sudah
tidak lagi menyusahkan seperti sebelumnya, akan tetapi jalur dari shelter II ke
shelter I inilah yang paling panjang di mana saat kami naik kemarin membutuhkan
waktu sekitar 4 jam sehingga tetap saja melelahkan. Jika saat naik kami
membutuhkan waktu sekitar 4 jam, maka untuk menuruninya kami membutuhkan waktu
sekitar 2 jam. Kira-kira pukul 13.30 WIB kami sampai di shelter I, jelas saja
kami langsung beristirahat dan tidak lupa sholat dzuhur. Ada banyak orang di
shelter I ini, kebanyakan mereka sedang dalam perjalanan naik. Beberapa orang
bertanya kepada kami berapa lama lagi jarak menuju shelter selanjutnya, kami
pun menjawabnya dengan jujur bahwa masih 4 jam lagi dengan kecepatan sedang,
tidak lupa pula dengan beberapa kalimat penyemangat.
Bang Tebeh & Bang Aiip di Shelter I
Kami mulai berjalan saat merasa sudah cukup
beristirahat. Kembali kami melewati rute hutan hujan tropis Sumatera di mana
udara lembap dan pepohonan berdiri lebat di samping kiri dan kanan kami.
Sesampainya di sini, kami dihantui oleh perasaan was - was jika bertemu dengan
binatang buas seperti harimau atau gajah Sumatera liar. Jika ada suara dari
balik semak kami langsung waspada, padahal suara itu ditimbulkan oleh tupai.
Beruntung kami tidak bertemu dengan binatang buas tersebut sampai akhirnya kami
tiba kembali di pintu rimba sekitar pukul 17.00 WIB.
Sampai Bawah Lagi
Sesampainya di pintu rimba, kami agak sedikit
bingung untuk menghubungi mas Giyanto kalau kami sudah sampai kembali.
Beruntung akhirnya kami bisa menghubungi beliau, akan tetapi kami harus
menunggu cukup lama karena hujan tiba – tiba turun dengan derasnya. Mungkin mas
Giyanto juga kesulitan untuk memilih alat transportasi untuk kami saat hujan
seperti ini karena setahu kami hanya ada pick up dan motor yang digunakan untuk
mengantar kami dari pos registrasi kemarin. Perbedaan cuaca dengan di Pulau
Jawa terasa saat ini, yang mana saat cuaca di Jawa sedang kering dan rawan
kebakaran hutan, cuaca di Kerinci malah hujan deras seperti ini.
Hujan Deras
Setelah menunggu sekitar 45 menit, mas Giyanto
tiba dengan mobil rekannya bersamaan dengan redanya hujan. Kami pun akhirnya
masuk ke dalam mobil yang usai digunakan untuk mengantarkan sayuran ke Kota
Bangko. Kami sedikit bercerita tentang perjalanan kami di Gunung Kerinci yang
baru saja berlalu di dalam mobil tersebut. Perjalanan dengan mobil kembali ke
rumah mas Giyanto tidaklah lama, hanya sekitar 15 menit kemudian kami sampai
kembali di sana. Kami langsung meletakkan barang-barang kami begitu tiba dan
meluruskan kaki - kaki yang baru saja dihajar oleh terjalnya track Gunung
Kerinci. Syukurlah akhirnya kami bisa turun dengan selamat, tanpa mengalami
kecelakaan. Satu – per satu dari kami langsung mandi dengan air yang dinginnya
seperti es di kulkas. Suatu tantangan tentunya untuk mandi dengan air yang
sangat dingin, bahkan tubuh ES mengeluarkan asap usai mandi dengan air dingin
tersebut.
ISTIRAHAT KEMBALI
Malam harinya sebelum tidur, kami makan malam
bersama di depan perapian sambil saling bercerita tentang pendakian kami di
Gunung Kerinci. Melalui obrolan dengan mas Giyanto, kami menjadi tahu banyak mengenai
hal – hal seputar Gunung Kerinci; mulai dari proses pencarian pendaki asal
Bekasi yang hilang bernama Setiawan Maulana, cerita saat beliau bersama anggota
TNI melakukan pemantauan habitat harimau Sumatera, hingga cerita saat ada
harimau Sumatera yang nangkring di atas pintu rimba. Benar – benar cerita yang
menarik karena tentu saja pengetahuan kami semakin bertambah pula. Malam itu
kami kembali tidur di ruang tamu dengan selimut tebal pemberian mas Giyanto.
Istirahat yang nyaman bagi kami mengingat betapa pegalnya kaki – kaki kami,
berharap supaya rasa pegal itu segera hilang pada keesokan harinya karena
perjalanan kami belum usai...
Posting Komentar
Posting Komentar